Sabtu, 25 Juni 2011

Jiwa Di Taman Lawang

oleh SeNja Hidayat pada 24 Juni 2011 jam 16:10

lawang-lawang

Hari masih senja, sedang aku telah sibuk dengan segala urusanku yang dapat memuaskan semua jiwa ini. Setelah kuselesaikan cucianku yang sedari tadi kurendam saja, kini aku sibuk mencuci duhai parasku yang elok kutatapkan cermin. Sesekali aku mengulum senyum sambil menenteng gincu merah membara seolah gadis desa dibuai asmara. Di sisi kiri dan kanan pipiku, kubalut dengan bedak perindu, alisku yang melirit-kerik kutajamkan dengan tinta merona membiaskan candu asmara, lentik jemari yang kaku ku tata sesekali dengan kutek abal-abal dari pasar kembang, bulu mata yang lentik menjulang bak cemara yang doyong ke penjuru laut ku kibas-kibaskan dengan cat warna-warni sebagai bumbu perinduku. Aku pun harus memilih gaun yang serasi dengan mackup­ yang aduhai ini. Telah kupilih dan kupilih dari ke-sekian gaun dari pasar gencrot yang kupunyai, ya inilah! Kurasa yang paling cocok untukku saat ini. Warnanya merah membara, cocok sangat dengan wajahku yang berbinar meronakan gadis desa. Lalu kupantaskan dulu dengan berliak-liuk beradu pendapat dengan cermin lusuh milik mendiang nenekku. Seraya berkata ya, cocok! Segera ku percepat laju tingkahku dengan merapikan gaun-gaun yang tercecer dan ku masukkan beberapa kosmetik ke dalam tas kecilku, tak lupa sebuah korek api khas jiwaku, sebungkus rokok tak bercukai dan yang paling penting, pisau kecil berguna sekali menakuti pelanggan yang nakal.



Hampir setengah jam aku menunggu kereta kudaku datang. Gila, tak sadarkah ia! Mackupku telah nampak luntur, sesekali ku tebalkan lagi. Dan, hampir sepuluh batang putung rokok tercecer di tanah dekat sepatu jinjit yang meronakan jempol-jempol kakiku. Terhentak aku kaget seketika, ternyata aku lupa mencukur bulu-bulu halus yang hinggap di kaki. Untunglah telah kusadari sebelum pelangganku tunggang-langgang meninggalkan jiwaku kesepian. Segera aku cukur dengan pisau kecil yang sedianya selalu kubawa dan jangan pula heran pisau ini termatlah tajam, sangat tajam. Jadi jangan macam-macam dengan aku yang lembut juga garang. Akhirnya keretaku datang juga, setelah kepenatanku lama merajam. “Huft...! sudah lama aku tunggu kau datang sayang. Kemana saja? Janganlah lama ngetem-nya, kaki-kakiku kan pegal menunggumu” rintih geramku pada si Roy, sopir angkot langgananku. Ia adalah lelaki garang, perawakannya dempal dan perutnya berbidang-bidang. Sayang ia nampak dekil, lusuh, baunya itu sangat tengik bercampur kecut dan yang paling tidak aku sukai ia seorang lelaki tulen. Terbukti sudah berapa kali cintaku dihempasnya di peraduan pintu angkot.



“Hey, aku ini tadi habis dapat carteran dari tetangga kampung untuk mengantarkannya pergi ke acara perkawinan anaknya, itu si Parto. Pria yang kau taksir dulu, sekarang telah menikah dia dengan gadis asal Wonogiri. Untung aku masih ingat kebaikanmu dulu, yang menolongku waktu mlarat. kalau tidak, sudah tak narik lagi aku, capeknya aku ini.” Sahutnya dengan logat Batak, aseli marganya.



“benarkah? Ya sudahlah, toc aku sudah dapat menikmati tubuhnya sebelum ia dinikmati oleh isterinya.”



“iyalah! Kau pikir aku berdusta padamu. Buat apapula bapaknya tadi mencarter mobilku, kalau bukan kawinkan anaknya tersayang itu. Memangnya dengan cara apa kau bisa menidurinya? Kau bius kah dia dengan alkohol? Atau kau pergi ke dukun minta mantera-mantera pengasih? Ha... kau itu memang banci kurang ajar!”



“bukan Darwanto alias Wanti namanya, kalau tidak bisa luluhkan hati pria brekasaan seperti Parto itu. Lagi pula jangankan parto kau pun dapat kubuat tunggang – langgang mendambaku. Sayangnya aku kasihan dengan isteri dan anakmu.”



“apapula kau ini, bisa-bisa ku bogem kau hingga babak-belur. Hehehe.... sudah! Sudah sampai ini di tempat peraduanmu, Taman Lawang. Carilah pria yang kesepian dan ambillah uangnya sebanyak kau bisa lalu bayar hutangmu. Sudah sebulan lebih kau tak bayar angkotku ini. ”



“ala-ala mas Roy ini, punya utang cepek aja dinanti-nanti. Besok-besok saja kalau aku dapat uang togel. hehehe” elusku dengan rayu dipundaknya.



“isteriku itu tanyakan terus! Ya sudah, sekarang turunlah kau. Ini penumpangku menunggu kau lekas pergi.”



Kususuri jalan setapak menuju negeri para kaumku, taman lawang. Aku merasa sudah berpuluh-puluh pria kesepian yang menunggu kedatanganku. Sesekali kukibas-kibaskan rambut palsuku, ke kanan dan ke kiri. Menyapu debu di pundak tukang becak yang menanti pelanggan yang minta diantar. Ku tebarkan parfum khas tubuhku ke seluruh penjuru lelaki kesepian. Tetapi aku merasa ada yang lain, Seketika aku terhenti sejenak, ku palingkan wajahku ke salah satu sudut kiri di bawah pohon cermai. Kulihat itu salah satu sejawatku yang duduk termangu seolah menahan derita jiwa tiada tara. Hatiku merasa lalu-lalang menerka, ada apa dengannya? Lalu kuhampirinya yang sedang sendirian bak bidadari di kesunyian. “Ada apa hey kau manisku? Tak biasanya kau duduk termangu sendiri di sini? Tak biasanya rautmu seperti ini, ada apa hey cantikku?”



Tak terduga! Belum ia sempat menjawabnya, segera ia mendekapku dan tangisnya pun pecah bak balon yang terisi air mendidih, maka meleleh dan meluber membanjiri pundakku. Isak tangisnya tak terhenti pula, hingga seluruh bau semerbak harumku menjadi keringat pilu. Sesekali ku usap keningnya yang penuh keringat lara dan ku benahkan rambutnya yang menjuntai indah. Aku hanya dapat terdiam terpaku menunggu air matanya kering di telan dahaga pilu.



Setelah lebih dari tiga puluh menit ia membanjiri gaunku, Sutoyo alias Sinta mencoba tegakkan kepalanya seraya mengadu pilu ia merintih berkata “Wan, apakah aku se-hina ini? Apakah nasibku senista ini? Apakah tuhan menerima keputusan jiwaku ini?”



“apa yang membuat engkau berbicara seperti ini hay... cantikku, sinta?”



“ini gara-gara si perempuan jalang itu, tetanggaku di kampung. Sebulan yang lalu ia melihatku sedang mangkal di sini, Taman Lawang. Lalu, ia bicarakan ini dengan kedua orangtuaku yang sedari dulu belum mengetahui aku bekerja seperti ini. Aku tahu, karena kemarin aku pulang berniat menjenguk dan memberikan sedikit uang untuk ayah-ibuku. Tetapi tak kusangka, dibuangnya uang itu ke tanah lalu diinjak-injaknya seraya menunjuk tepat di muka dan memaki-maki “hay... anak jalang kau, dibesarkan dan dididik ternyata hanya untuk menjadi seperti ini kau rupanya, menjadi banci Taman Lawang. Sekarang engkau minggatlah, kau bukan lagi anak kami. Dan bawa uang haram itu.” Tak kurang itu, mereka mengusirku dengan hujaman ludah dan nestapa uang haram lusuh terinjak-injak. Apakah ini deritaku datang dari jiwaku yang bejat ini kawan? Aku sudah tak pantas meneruskan jiwa ini di ladang gersang fana ini kawan! Lebih baik aku mati saja dimakan setan yang menanti kedatanganku. Aku lebih baik mati saja kawan!”



Segera aku hanya dapat menutup rapat mulutnya yang bicara ngelantur tentang kematian. Sedang, aku tak bisa menjawab keluh-kesahnya, bebannya, pertanyannya yang bertubi. Karena bagiku pertanyaan itu tak dapat aku jawab biarpun seribu buku pun telah ku baca. Aku hanya dapat menelan ludah dan membasahi tenggorokanku yang kering mendengar rintihannya, serta kupeluk erat dia seraya membantu dan menjawab dari jiwanya yang dirajam ketidak-adilan. Aku pula ikut merintih dalam hati kenapa jiwaku tak dapat diterima oleh orang? Kenapa jiwa kami harus berakhir tragis dengan keluh kesah pilu disingkir dari lingkungan? Kami seolah baju yang dibuang karena kusam berganti warna, seolah binatang paling jalang dari sekumpulan binatang jalang.



Seketika aku tepis rintihanku itu, aku takut airmataku menjadi beban lagi bagi sinta “sudahlah cantik, tak usah pikirkan lagi, mari aku antar kau pulang atau kau tidur saja di rumah kosku. Lagi pula aku juga tak berniat lagi untuk mangkal, mari cantik. Hentikan tangsimu, banyak orang melihatmu.”



Ternyata tuhan bicara lain, handphoneku berulang kali berdering-dering. Ku lihat itu telepon dari kekasihku, pikirku mungkin minta jatah. Segera aku rijeck dan kumatikan telepon genggamku. Tak diduga, ternyata pria itu sudah menemukanku sebelum aku pergi menghilang. Ia di seberang jalan dan melambaikan tangan penuh api asmara nafsu. Setelah menunggu jalan menjadi sepi oleh lalu-lalang kendaraan, pria itu menghampiriku dengan memicingkan mata dengan guratan nafsu berkeliaran di paras tampannya.



“kenapa hey... kekasih kau tak menjawab teleponku dan lalu akan pergi meninggalkanku bersama temanmu itu? Apa kau sudah tak cinta lagi denganku? Aku telah menunggumu sedari tadi. Apakah engkau akan menghianatiku dengan temanmu ini kekasih?” tanyanya dengan menggebu cerca, seolah meradang berbias nafsu binal.



“tidak! Tidak seperti yang kau fikir sepicik itu sayang. Biarpun aku dijamah beribu lelaki engkau tetap dihatiku, tetap kekasihku satunya. Karena ini memang pekerjaanku cinta. Dan, ini temanku sedang membutuhkan aku, wahai kekasih. Ia sedang dilanda pilu yang merajam jiwanya. Kumohon mengertilah.”



“alah... engkau berdusta padaku! Aku tidak percaya denganmu” sembari menarik tanganku dengan brutal pria itu mendekap dengan aroma alkohol yang tajam menyengat hidung.



“sudahlah! Ikutlah dengannya Wan. Ia kekasihmu, ia yang lebih butuh kamu dari pada aku. Biarlah kesedihanku kuredam sendiri bersama penutup malam wahai temanku yang baik, Wanti.” Lirih pasrah Sinta menjelma suram hilang rona-nya yang cantik.



“tidak sinta, jangan bicara seperti itu. Aku akan menemanimu malam ini.”



“benar sayang! Lagi pula si-temanmu Sinta sedang tak ingin diganggu gitu kok. Biar ia ditemani malam dan engkau yang menemaniku, OK!” sahut kekasihku dan dengan tangannya ia menyeret aku ke dalam ruang penuh asmara dan nafsu dengan gelora yang membabi-buta Taman Lawang. Sekejap aku seperti terbius oleh rintihnya kekasihku dan membiarkan Sinta yang pergi dengan beban yang teramat dalam di jiwanya.



Kami menggeliat beradu cinta seolah riang ini tak pernah habis dikikis waktu. Ia mencumbu sedari umbun hingga tumitku, merayap-rayap bak cicak menerkam nyamuk yang hinggap, dikecupnya satu persatu dari penjuru tubuhku. Tapi fikiranku ternyata tidak lepas dari sosok Sinta yang menderita, fikiranku bergelayut kekhawatiran yang mendera terus-menerus sampai aku tak dapat merasa kasih yang diberikan oleh kekasih pujaanku. Sampai terakhir tetesan air pekat dari kekasih yang membanjiri sekujur tubuh ini pun tak terasa nikmat, se-nikmat biasanya. Setelah selesai aku bercinta dengannya atau sekitar satu setengah jam yang lalu, aku bergegas meninggalkannya tergeletak melepas nikmat, bergegas meninggalkan Taman-Lawang untuk segera melaju ke rumah Sinta. Dalam perjalanan aku berdesas-desus berdoa mengharap ia tidak rebah oleh lara jiwanya. Empat puluh lima menit setelah melalui perjalanan dengan dua kali naik angkot tibalah aku di depan rumah kontrakan Sinta. Langsung saja, aku ketok pintu berulang kali dan menyebut namanya. Tapi ia juga tak membuka pintu atau menjawabku. Lalu ku-ulangi entah keberapa kali, hingga aku berfikir untuk mencari jalan lain. Ku lihat jendela di samping rumahnya nampak masih terbuka, dengan tenaga seorang lelaki yang berniat maling aku meloncati jendela rapuh itu dengan lincah nan gesit. Tapi aku

tak menjumpai apapun selain gelap dan sunyi tak ada tanda kehidupan. Tapi aku masih punya handphone yang sedari tadi kumatikan. Lalu, kunyalakan dan sinarnya ku fungsikan sebagai pencari tombol lampu rumahnya guna terang benderang semua alam ini – rumah ini. Setelah lampu menyala, ternyata aku berada di ruang tamu yang berantakan. Terlihat banyak botol bir yang kosong, rokok yang berhamburan tercecer, handphone yang tergeletak di meja dan beberapa coretan di kertas yang basah akan luberan bir, tapi tak dapat kubaca karena terlalu basah sehingga aku putuskan untuk mencari Sinta di ruang lain, dengan memanggil-manggil namanya berulang-ulang kali. Sampailah aku terhenti pada ruang kamarnya dan betapa terkejutnya aku melihat kakinya yang mengambang di atas tanah. Seketika aku terhempas ketakutan, campur sedih dan kaget melihat ia dengan seutas tali tampar yang menjulang ke kusen rumah, lalu dikalungkannya tepat dileher dengan lidah yang menjulur keluar. Sedihku tak dapat dikisahkan oleh tangis karena melihat sinta dengan mukanya yang membiru seolah dirajam sakit lalu aku hanya dapat berteriak sekuat-kuatnya. Mencoba bangunkan tetangganya yang nyenyak tidur, mencoba menyibak paribaan yang menghujam temanku. Beberapa menit kemudian beberapa orang datang dan mendobrak pintu yang semula terkunci serta hanya meratapi mayat Sinta yang terbujur kaku melotot, menjulurkan lidah bergelantungan seolah Tarzan yang putus asa tinggal di hutan. Tak kulihat rona kesedihan dinampakkan oleh para tetangga Sinta. Sebaliknya, sembari mengiringi tangisku yang mulai pecah mereka satu sama lain saling berbisik mengolok-olok dan bersyukur atas kematian temanku itu “biar saja, biar lepas kampung ini dari dosa-dosa. Karena salah satu penyebab neraka telah sirna dengan mati bersimbol neraka pula!” salah satu orang menyeruak bisik yang sangat membuat kupingku resah mendengarnya.



Lima jam hanya berlalu saja, tanpa dzikir, tanpa isak tangis bahkan tanpa salah satupun keluarga sinta yang datang. Beberapa tetanggapun lalu-langgang pergi meninggalkan mayat Sinta tak terurus, dibiarkannya oleh kesibukan bekerja. Aku mencoba mencari-cari keluarga Sinta dari nomor ponselnya. Setelah ku dapat salah satu nomor yang menurutku itu nomor keluarganya, segera aku telepon dan memberi tahu kabar buruk ini, tak lupa memberikan alamat kontrakan Sinta yang jelas.



Tujuh jam telah berlalu dari semenjak aku menemukan Sinta yang ber-gelantungan dengan tali jemuran dan mayatnya masih terbujur kaku di ranjang tidurnya dengan busana yang ia kenakan tadi malam, gaun perempuan. Beberapa menit kemudian terdapat deru mobil yang datang dengan diiringi empat orang yang lalu lalang menahan sedih. Aku melihat ada tiga lelaki tampan nan menawan, lalu di sampingnya terdapat seorang perempuan parubaya yang menahan deru air mata. Pikirku itu ibunya, Benar saja, setelah tiba dan melihat sosok Sinta, perempuan yang berambut ikal penuh uban ini lalu memecah kesunyian dengan tangis yang menggema di penjuru ruang meratapi nasib putranya yang menjadi perempuan jadi-jadian dan kini menjadi mayat. Mayat mati karena penderitaan. Tidak menunggu waktu yang lama, tiga pemuda tadi lalu menggotong mayat Sinta seolah menggotong dua karung beras yang ditumpuk secara bersamaan.



Kemudian, semenjak hari itu aku tak tahu lagi bagaimana nasib mayat Sinta dan kepedihan jiwanya yang dibawa mati, aku tak pernah tahu lagi kesedihan yang dipancarkan oleh ibunya. Kini aku kembali dalam kehidupanku lagi. Menjadi seorang waria di Taman Lawang, menjajah cinta pada manusia yang hilang akal dan sesekali mengaduh kasih dengan teman kencanku, kekasihku yang membuat Sinta bunuh diri. Terkadang ada rasa penyesalan di hati, kenapa waktu itu aku tak berontak saja untuk menahan ajakan kekasihku bercinta dan pergi menemani sinta agar ia tak mengakhiri hidupnya setragis itu. Tapi penyesalanku hanyalah sia-sia saja.



Terkadang aku meratapi nasib Sinta, ku terka-terka dan ku biaskan pada nasibku. Masih ku ingat rintihnya sebelum kematian menjemputnya. “Apakah ini deritaku datang dari jiwaku yang bejat ini kawan? Aku sudah tak pantas meneruskan jiwa ini di ladang gersang fana ini kawan! Lebih baik aku mati saja dimakan setan yang menanti kedatanganku. Aku lebih baik mati saja kawan!” masih saja terasa menggaung-gaung kalimat itu di ujung ubun-ubun. Lalu, bagaimana dengan aku kelak atau aku besok, sedang beberapa penyakit telah lama menggerogoti tubuh ini. Mulai dari sipilis, radang paru juga pernah dulu aku menderita TBC dan infeksi tenggorokan. Mungkin ke-semua penyakitku itu sebab dari kecerobohanku. Ceroboh memilih jiwa yang membuat aku terajam sendiri. Apakah nanti setelah kematianku tuhan akan menerimanku, ada orang yang bersedia menguburku sedang keluargaku tak pernah tahu keberadaanku. Aku seperti berada di dunia anta-belantara yang siap dimangsa alam semesta. Keluarga yang telah mengusirku seperti si-sinta yang diludahi keluarganya, sebentar lagi pun pasti kekasihku meninggalkan aku karena aku yang tua bangka peyot dirajam penyakit. Kalau begini, aku jadi teringat puisinya bang Chairil Anwar.

“Kawan, jika usia kelak

Meloncer kita sampai habis-habisan,

Jika tubuh seluruh, pehong lagi bengkok

Hanya encok tinggal menentu kemudi,

Menyerah: sampai sini sajalah....!”



S
ampai saat ini aku pun masih mencari jiwa yang dapat membawaku pada perdamaian jiwa, keabadian serta sebait doa yang menjulur meminta pada yang kuasa. Agar aku kekal bukan karena kesenangan melainkan atas cinta kasih tuhan terhadap hambanya.

Translate