Minggu, 02 Agustus 2015

Teknologi Nasional dan Konsumtivisme Bangsa

sumber foto Tempo.co

Tidak akan kita pungkiri, transformasi teknologi dan informasi dewasa ini membentuk kelas tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Namun apa penyebabnya? Pada dasarnya, setiap era memiliki budayanya tersendiri. Mengutip Goerge Ritzer mempunyai definisi tersendiri terkait fenomena ini. Dia menggambarkan bahwa teori-teori sosial menjadi cikal dari perubahan era di dalam masyarakat.
Dalam pergeseran era tersebut pasti ditandai oleh berbagai elemen penunjang. Faktornya bisa terjadi karena pelbagai permasalahan yang terjadi di lingkup masyarakat. Seperti yang terjadi pada awal abad ke-21 ini, peran teknologi telah menggeser kebudayaan dan bahkan sosial politik masyarakat. Satu indikasi yang sederhana adalah ketergantungan manusia akan ponsel. Dalam perkembangannya, alat komunikasi ini bahkan telah menjelma sebagai piranti gaya hidup, life style.
Intelektual biasanya menyebut sebagai konsumtivisme modern. Adam Smith menggambarkan bahwa komoditas yang dibutuhkan masyarakat memiliki karakterial material yang sanggup memenuhi kebutuhan manusia. Ini biasanya digunakan untuk mengekspresikan eksploitatif di antara orang sebagai obyek relasi di antara obyek-obyek.
Tidak heran jika dewasa ini berbagai produk teknologi sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Perkembangan kecanggihan gadget, kendaraan, dan berbagai teknologi aplikatif lainnya bukan hanya sebagai kebutuhan semata, melainkan hedonisme. Industri memanfaatkan ini sebagai pangsa pasar yang potensial. Jika begitu, jangan terkejut jika kita merasa masyarakat membeli mobil atau ponsel karena kecanggihan tawaran fiturnya.
Data dari Kementerian Perindustrian 2012 lalu mencatat bahwa penjualan mobil setiap tahunnya lebih dari sejuta kendaraan. Ditambah penjualan motor yang membumbung hingga 8 juta kendaraan per tahun. Belum lagi bicara tentang gadget, hampir dalam setahun ada beberapa kali keluaran produk baru yang diburu masyarakat.
Sayangnya angka yang fantastis ini belum bisa mengangkat perekonomian masyarakat. Justru ini menjadi beban karena hanya menjadikan masyarakat yang konsumtif. Meminjam orasi Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dalam setiap kesempatan, masyarakat hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Kita sempat takjub saat Mantan Presiden Ke-3, Profesor B.J. Habibie pada 10 Agustus 1995 silam membuat langkah berani dengan membuat pesawat. Pesawat yang dinamakan N-250 Gatotkaca ini menjadi momentum dimulainya Kebangkitan Teknologi Nasional. Pada awalnya, penetapan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional dimaksudkan untuk menekankan dan menanamkan kesadaran bangsa sejak usia dini akan pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuannya pasti untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Dalam artian, berdikari secara ekonomi. Mampu menjadi tuan di negeri sendiri, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mewadahi kreativitas anak bangsa untuk mengembangkan teknologi. Ini adalah satu di antara indikator pencapaian kesehjateraan masyarakat.
Hematnya, ini yang menjadi pemikiran para intelektual kita sampai saat ini. Dalam beberapa kesempatan, fakta ini memang sudah menjadi ‘makanan’ ringan dalam pengantar sebuah diskusi. Pada akhirnya, kritik-kritik yang berkembang kebanyakan hanya menjadi hegemoni dalam kelas program studi masing-masing disiplin ilmu.
Kita berharap permasalahan ini bisa terpecahkan dengan cara sinergitas. Mengajak berbagai elemen masyarakat baik pemerintah maupun kaum intelektual berpikir dalam satu meja. Kemudian merumuskan dan menganalisa segala kemungkinan yang akan berkembang di kemudian hari. Diskusi ini, kami anggap lebih efektif jika insan pers dilibatkan untuk ikut tercenung dalam berpikir.

Karena bagaimana pun itu, pers bisa dikatakan adalah salah satu tolok ukur dari entitas sebuah bangsa. Kami yakin bahwa realitas pemberitaan yang tidak berbobot akan berdampak masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh: sudut pandang insan pers yang pragmatis saat melaporkan tren selvie di masyarakat cukup memiriskan. Karena dampaknya membuat masyarakat memiliki kecenderungan untuk konsumtif yang diciptakan dari hegemoni bahwa selvie adalah bagian dari gaya hidup.

Translate