Selasa, 24 Februari 2015

Dolly Ditutup, Prostitusi Online Semakin Menjamur


Sumber Foto Blogspot: Aquarium tempat memajang perempuan malam di Dolly yang telah ditutup. Permasalahannya justru tempat prostitusi semakin meluas di dunia maya, atau istilahnya E-Dolly.

Prof Nur Syam mengakui Dolly tidak bisa ditutup. Hanya mentransformasi diri lebih tertutup dan elegan. Lebih tepatnya, mengontruksikan diri menjadi simbol harmoni di tengah-tengah perbedaan masyarakat. Sekarang pasca penutupan Dolly konvensional lahirlah istilah lain yakni E_Dolly.

Kemudahan ini bisa didapatkan tanpa harus blusukan mencari senter (sentolop) layaknya cara lawas. Meskipun begitu, ada beberapa PSK yang belum mengerti revolusi industri pelacuran di tanah air. Banyak juga PSK di atas usia produktif yang masih mengandalkan cara-cara konvensional.

E_Dolly sendiri bukan hal yang baru di dunia maya. Meski tidak ada situs resmi yang benar-benar menawarkan bisnis prostitusi, namun melalui sosial media, e_dolly sudah berjalan sejak beberapa tahun yang lalu. Terlebih pasca ditutupnya dolly konvensional, praktis para PSK yang paham akan fungsi sosial media beralih ke cara-cara yang dianggap lebih efektif.

Dengan hanya berselancar di dunia maya seperti akun sosial media Twitter dan Facebook para pengguna e_dolly mendapatkan banyak kemudahan. Seperti slogan di situs jual beli online, 'tinggal klik, deal lalu ketemuan'.

Tidak dipungkiri jaringan E_Dolly ini akan jauh lebih besar ketimbang perputaran uang yang terjadi di kawasan kelurahan Putat Jaya dulu. Artinya pergerakan indutri pelacuran lewat dunia maya ini dianggap lebih efektif untuk menyentuh pasar menengah ke atas.

Terlebih jika para PSK telah mengerti kelebihan dari pasar online. Memanfaatkan ini, tidak dipungkiri jika suatu saat bisnis travel and tour akan menjadi wadah prostitusi secara online. Jaringan-jaringan di daerah akan dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan yang sedang menikmati wisata atau kunjungan dan lain sebagainya. Why not?

Senin, 23 Februari 2015

Sejarah Pers Indonesia: Pra-Kemerdekaan Hingga Masa Demokrasi

Sumber Foto Kompas: Bapak Pers Nasional, Rosihan Anwar memangku satu di antara senjata andalannya, mesin ketik kuno semasa masih hidup.
Sejak lahirnya pers pertama di Indonesia, pada tahun 1712, koran pertama di Indonesia, dinamai De Heeren Zeventien.Namun koran yang digagas oleh para direktur VOC itu ternyata harus kandas sebelum diterbitkan lantaran kekuatiran pemerintah VOC masa itu. (Atmakusumah 2009 : 1-18) mencatat baru 32 tahun kemudian, tepatnya pada 7 Agustus 1744 surat kabar pertama yang dinamai Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) diterbitkan sebagai surat kabar mingguan oleh saudagar di Batavia. 
Namun sayangnya, dua tahun kemudian surat kabar tersebut dilarang terbit oleh gubernur atas perintah direktur VOC di Belanda karena dianggap membahayakan. Koran itu di tutup pada 20 Juni 1746 karena VOC khawatir para pesaing dagangnya akan memperoleh keuntungan dari berita di surat kabar tersebut.
Pada pertengahan abad ke 18 itu, cikal bakal lahirnya pers di Indonesia dimulai. Namun, selama lebih dari seratus tahun berikutnya rakyat pribumi belum bisa mengonsumsi media massa kala itu.Ini terjadi lantaran kebanyakan koran diterbitkan hanya untuk saudagar VOC bukan untuk rakyat pribumi. Di samping itu khalayak pribumi juga belum banyak yang mengenal baca-tulis.
Kemudian, 30 tahun setelah ditutupnya koran pertama, VOC kembali menerbitkan koran kedua, Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang) yang memuat berbagai informasi pelelangan yang diselenggarakan VOC. Surat izin terbit diberikan kepada L. Dominicus, Juru Cetak di Batavia. Namun surat kabar itu harus disensor ketat.
Menyadari kebutuhan informasi yang sangat berperan dalam dunia usaha perdagangan mereka. Jauh setelah itu, pada tahun 1856 pemerintah VOC kemudian membuat undang-undang pers (Drukpersreglement) atau lengkapnya disebut Reglement op de Drukwerken in Nederlands-Indie (Peraturan Barang Cetak di Hindia Belanda). Sayangnya, kebijakan tersebut justru yang makin membatasi, merintangi independensi kebijaan redaksi media pers secara preventif.Pasalnya, setiap produk pers diwajibkan untuk memberikan tembusan kepada tiga pejabat pemerintahan masa itu sebelum koran itu diterbitkan. Karena itu undang-undang pers kemudian diperbarui pada 1906 dengan agak melonggarkan pembatasan terhadap pers melalui pengawasan represif. Tidak lagi pengawasan preventif. Namun media pers masih tetap harus mengirimkan tembusan pasca-cetak kepada pejabat pemerintahan VOC dalam waktu 24 jam sesudah diterbitkan dan diedarkan.
Ratusan tahun pers dikuasai oleh para konglomerat VOC, barulah pada tahun 1907 surat kabar pertama Medan Prijaji, yang digagas dan diproduksi seluruhnya oleh orang-orang pribumi sebagai alat propaganda kemerdekaan menjadi cikal-bakal terbentuknya pers di Indonesia secara independen.Koran yang dipelopori oleh Tirto Adhi Surjo (TAS) itu memberikan sajian yang kritis dimana tak hanya memberikan informasi semata, melainkan menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan. Namun di tahun berikutnya, untuk menekan kebebasan pers dan membungkam suara pribumi yang ramai dari koran bawah tanah (gerakan pers partisan) dalam menyuluhkan kemerdekaan, pembatasan karya jurnalistik semakin dikuatkan dengan ditelurkannya undang-undang pembredelan pada tahun 1931, (Persbreidel Ordonnantie). Pembredelan dilakukan lantaran gubernur jenderal VOC menganggap pers yang kritis hanya sebagai pengganggu ketertiban umum. Apabila masih dianggap mengganggu, masa pembredelan akan diperpanjang kembali.
Pasca runtuhnya VOC atas penjajahan Jepang di Indonesia pun sama seperti,pers “masih mati suri”. Pada tahun 1942 hingga 1945 Jepang memberlakukan undang-undang dengan mewajibkan setiap media pers memiliki surat izin terbit. Atmakusumah (Tuntutan Zaman, Kebebasan Pers 2009 : 19) dalam bukunya menceritakan, Jepang menempatkan penasihat di kantor surat kabar, seperti surat kabar milik saudagar belanda, milik orang indonesia yang anti-Jepang, dan surat kabar Tionghoa yang menentang agresi Jepang ke Indonesia.
Masa-masa sulit pers Indonesia juga terjadi pasca era kemerdekaan tepatnya pada orde lama dan orde baru. Pada era tersebut pers masih dibungkam kebebasannya dengan diwajibkan setiap media massa memilki surat izin terbit. Pemerintah tidak segan membredel media massa yang tidak sejalan dengan prgram pemerintahan. Bahkan kerap melakukan intimidasi dan penculikan terhadap wartawan.
Barulah pada era reformasi, pers dapat menghirup kebebasan berpikir dan bersuara. Tentunya, hal tersebut sangat dipengaruhi lahirnya undang undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Dalam realitas kini, media massa tidak lagi ketakutan akan dibredel dan disensor. Media massa sekarang bukan sekedar sebagai sumber informasi kepada khalayaknya. media massa sudah menjadi bagian dari masyarakat dalam mengontruksikan realitas ke dalam sebuah wacana.
Wakil direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Suka pada harian Jakarta Post April 2008 bahkan menegaskan bahwa paska lahirnya kebebasan pers, Indonesia menjadi satu-satunya negara bebas di Asia Tenggara. “Demokrasi Indonesia sangat berutang kepada eksistensi media pers yang bebas. Tanpa kebebasan pers, demokrasi kita akan mati sejak awal. Kita harus mengingatkan diri sendiri, bahwa pers adalah benteng dari demokrasi,” ujarnya.
Seperti yang tertuang dalam undang undang dasar 1945 pasal 28 tentang kebebasan untuk berpikir dan bersuara. Oleh karena itu undang undang pers 1999 juga mengatur tentang kebebasan wartawan memiliki hak tolak. Selain itu yang terpenting adalah kebebasan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi. Lalu sebagai orang yang bebas, wartawan diperkenankan secara bebas untuk memilih dan membuat organisasi wartawan.
Hal tersebut menandai sebagai awal dari proses jurnalisme yang mengedepankan kepentingan masyarakat di Indonesia. Kemudian seperti yang pernah ditulis oleh (Schramm dalam Werner dan James 2009 : 373) tentang empat teori pers.Seiring berjalannya waktu, kebebasan pers di Indonesia menentukan dirinya sebagai pers yang bertanggung jawab pada sosial dan sebagai pers liberal. Dan dapat terlibat secara langsung dalam mengontruksikan wacana antara komunikasi pemerintah ke masyarakat, maupun sebaliknya: komunikasi masyarakat ke pemerintah.
Dalam pengelompokan sistem pers yang terkenal di dunia itu, Schramm lebih rinci membuktikan bahwa setelah abad dua puluh ada gagasan dari para praktisi pers akan teori tanggung jawab sosial. Teori tersebut memberikan ruang bagi publik untuk lebih bebas bersuara. Bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum. Di sini media massa secara penuh dikontrol oleh masyarakat itu sendiri, Schramm dalam Werner dan James (2009 : 377).
Sedangkan teori liberal menurut Schramm adalah dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak-hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Pers liberal menemukan dirinya sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan (Werner dan James 2009: 374).
Namun seperti halnya pedang, meskipun pers di Indonesia sudah jelas memilih sistem pers yang bertanggung jawab terhadap sosial dan berdasar pada teori liberalisme, namun secara harfiah pers tetaplah pers. Media massa juga membentuk dirinya sebagai citra berdasarkan informasi yang setiap saat disajikannya. Dikatakan oleh (Jalaluddin Rakhmat 2009 : 224), bahwa setiap realitas yang ditampilkan media adalah realitas yag sudah diseleksi. Realitas tangan kedua (second hand reality). Ia mencontohkan, televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lainnya. Begitu pun dengan koran dengan melalui proses gatekeeper, menapis berbagai berita kemudian memuat berita tentang darah dan dada (blood and breast).

Sabtu, 21 Februari 2015

Penjual Sayur Masa Depan Penggeser Swalayan

Sumber foto flickr.com: Penjual sayur keliling adalah sebagain kecil dari potensi positif ekonomi mikro yang kurang diperhatikan pemerintah.



Tidak dipungkiri lagi, persoalan merosotnya jumlah pengunjung pasar tradisional di berbagai tempat tidak terlepas dari banyaknya jumlah swalayan di Indonesia. Menjamurnya minimarket yang dikuasai oleh corporate ini bisa menjadi masalah tersendiri bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan global, khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Dari data yang dipaparkan Retail Measurement Service (RMS) pada 2011 silam jumlah pertokoan di Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia setelah India. Diperkirakan ada 2,5 juta toko modern dan tradisional yang beredar di seluruh Indonesia. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah, seiring menggeliatnya sektor retail.
Retail modern di Indonesia pun meningkat tajam dari tahun ke tahun. Pada 2009 jumlah minimarket di Indonesia baru sekitar 16 ribu toko dan hanya butuh waktu dua tahun saja untuk mendongkrak jumlah minimarket menjadi 18.152 toko. Rata-rata per tahun, jumlah minimarket meningkat 30 hingga 38 persen yang mempunyai target daerah-daerah kawasan dan pinggiran kota.
Sementara itu, nasib pasar tradisional justru mengenaskan. Pasar rakyat ini terus mengalami kemerosotan baik dalam jumlahnya maupun kualitas pelayanannya. Dari data yang dihimpun Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyebutkan jumlah pasar tradisional di seluruh Indonesia turun drastis dari 13.540 pasar tradisional menjadi 9.950 pasar dalam waktu 4 tahun. Dari periode 2007 hingga 2011 ini pasar tradisional sudah mengalami penurunan jumlah hingga 3 ribu unit (dikutip dari Bisnis Indonesia).
Hal yang sama juga dibeberkan oleh survei AC Nielsen pada tahun 2013. Jumlah pasar tradisional atau pasar rakyat di Indonesia dikatakannya mengalami penurunan. Sementara perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis. Perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis, dimana pasar rakyat justru minus -8,1 persen sementara pasar modern mengalami pertumbuhan 31,4 persen per tahun.
Salah satu penyebab tidak berkembangnya pasar rakyat saat ini ditengarai lantaran kondisi fisik pasar itu sendiri. Seperti bau, pengap, berantakan, becek, dan jorok. Kenyataan itu dinilai membuat para pengunjung pasar rakyat beralih memilih pasar modern yang menawarkan kelengkapan dan kenyamanan berbelanja.
Selain itu, ciri khas pasar rakyat sebagai penyedia barang dengan harga murah juga tidak populer. Pasar rakyat yang identik dengan tawar-menawar dinilai sudah tidak menarik. Sebab, pasar modern menawarkan barang dengan harga murah bahkan memberi diskon. Kenyataan ini yang membuat para konsumen melupakan pasar rakyat.
Kelemahan ini, bukan berarti menjadikan pasar tradisional lumpuh dan bangkrut. Ada sejumlah komoditas retail yang tidak bisa dimiliki oleh minimarket. Seperti halnya dengan sayur-mayur yang lebih fresh dengan harga terjangkau tidak pernah dimiliki oleh para pengembang swalayan. Kebanyakan minimarket hanya mengandalkan komoditas hortikultura yang bisa disimpan dalam beberapa hari menggunakan pendingin.
Inilah keunggulan pasar tradisional yang belum banyak dioptimalkan. Penyediaan komoditas holtikultura mulai dari cabai, kentang, sayur-mayur, hingga bawang tidak bisa disediakan oleh pasar modern dengan harga yang terjangkau dan dengan kualitas baik.
Terlebih saat masyarakat sudah berbondong-bondong dengan sendirinya menciptakan infrastruktur penunjang berupa penjual sayur keliling. Hal ini dirasa menjadi solusi pendongkrak perputaran uang di pasar tradisional. Karena, meski masyarakat tidak bisa pergi ke pasar karena berbagai kesibukan, toh ada penjual sayur keliling yang menawarkan berbagai komoditas pasar tradisional dengan harga yang cukup terjangkau dibandingkan swalayan.
Namun secara pasti belum ada data konkret terkait jumlah penjual sayur keliling di Indonesia. Kalau digunakan rata-rata saja, setiap penjual sayur keliling melayani 2 Rukun Tetangga, maka sedikitnya ada sekitar 60 sampai 100 kepala rumah tangga yang bisa dijadikan pasar yang cukup strategis. Dalam sehari perputaran uangnya pun lumayan besar, mulai dari Rp 200 hingga Rp 500 ribu per harinya.
Kalau sektor dan komoditas ini digenjot oleh pemerintah melalui program ekonomi Usaha Kecil Menengah (UKM), maka bukan tidak mungkin ini akan bisa mengalahkan minimarket yang sudah marajai pasar retail. Pemerintah maupun pihak pengelola pasar tradisonal harus menambah investasi untuk memberikan sarana dan infrastruktur berupa kendaraan dan branding terhadap penjual sayur keliling.
Solusi ini dianggap bisa membangkitkan ekonomi kecil di Indonesia yang jauh lebih riil dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk menahan laju perizinan minimarket. Karena seperti halnya dengan hukum ekonomi klasik, di mana ada permintaan di situ pasti ada penawaran. Pemerintah harus berani memberi problem solving dengan menjembatani ekonomi kecil untuk bangkit sebelum potensi pasar ini diambil perannya oleh retail modern seperti minimarket.

Selasa, 17 Februari 2015

Mungkinkah Wartawan Profesional dan Lepas dari Swa-Sensor?

 
Sumber foto Antara: Permasalahan kebebasan pers saat ini bukan dari luar, tapi dari dalam diri perusahaan pers dan wartawannya. Ini yang disebut Atmakusumah sebagai Swa-Sensor.


Lahirnya UU No 40 Tahun 1999 tentang pers adalah suatu penghargaan besar atas jerih payah para praktisi pers di era Orde Baru untuk mendapatkan kebebasan. Tidak diragukan lagi, dibredelnya Tempo, Detik, Editor, dan sejumlah media massa naional lainnya seolah menjadi cikal dari implementasi UUD 1945 pasal 28 yang sepertinya terbendung selama beberapa dekade.

Tentunya itu tidak didapat dari bonus kedermawanan Soeharto maupun kebaikan Orde Baru. Mereka mencarinya sendiri. Mendengungkan kebebasan dengan resiko dibungkam. Memastikan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak setiap manusia, meski itu diperoleh dengan cara ditendang dan menendang.

Wakil direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Suka pada harian Jakarta Post April 2008 bahkan menegaskan bahwa paska lahirnya kebebasan pers, Indonesia menjadi satu-satunya negara bebas di Asia Tenggara. “Demokrasi Indonesia sangat berutang kepada eksistensi media pers yang bebas. Tanpa kebebasan pers, demokrasi kita akan mati sejak awal. Kita harus mengingatkan diri sendiri, bahwa pers adalah benteng dari demokrasi,” ujarnya.

Hematnya, di tahun-tahun setelahnya, uforia tentang kebebasan pers pun mendengung ke angkasa. Dengan hanya berlandaskan UU Pers 1999 pun berbagai elemen masyarakat dan konglomerat dapat dengan mudah menjadi digdaya atas nama kebebasan. Sekejap pun ribuan media massa menjamur. Di sepanjang sejarah peradaban pers Indonesia, Jumlah ini media saat itu sangat fantastis dibanding sebelumnya.

Dikutip dari Antara, sedikitnya ada lima media massa baru yang terbit dalam sehari. Akibatnya, pada 2008 saja jumlah media cetak melonjak drastis. Padahal di era Orde Baru hanya 289 media cetak saja yang berdiri, tiba-tiba melonjak drastis menjadi 1.687 media cetak dalam beberapa tahun saja.

Ini hanya contoh jumlah media cetak saja, karena di saat yang sama juga terjadi lonjakan jumlah media radio, televisi, online, televisi kabel, dan sejumlah media massa jenis lainnya. Artinya dalam setahun Dewan Pers mencatat ada pertumbuhan rata-rata 1.389 media massa baru. Jika dihitung dalam bulan, maka ada sedikitnya 140 media massa baru yang berdiri.

Dari jumlah media massa yang sebanyak itu, logikanya butuh wartawan seberapa banyak untuk terus menyuplai berita setiap saat? Dari perkiraan Pengamat Masalah Pers Nasional, Atmakusumah dalam tulisannya pada 1997, di Indonesia saat Orde Baru jumlah wartawannya hanya 7.000 jiwa saja. Jumlah ini pun terbagi atas wartawan paro waktu dan penuh waktu.

Namun setelah diundangkannya UU tentang Pers dan digelorakannnya kebebasan pers, sejak era reformasi hingga saat ini jumlah wartawan di Indonesia terus meningkat. Bahkan diperkirakan saat ini tengah ada sedikitnya 100 hingga 150 ribu wartawan di seluruh Indonesia. Sayangnya, hanya 20 ribu saja yang terdaftar dan tersertifikasi di Dewan Pers. Jumlah ini jauh dibanding negara maju seperti Jerman yang memiliki sedikitnya 60 ribu wartawan yang sudah tersertifikasi.

Artinya meski jumlah media di tanah air menjamur, akan tetapi tidak menjadi jaminan bahwa kualitas wartawan juga semakin meningkat. Kompetensi dan kemampuan profesionalisme seorang wartawan hanya menjadi hierarki antara perusahaan dengan wartawan dan masyarakat pun tidak tahu bagaimana prosesnya itu. Sebaliknya, standar profesi yang disuarakan oleh Dewan Pers hanya sebatas wacana kritis semata dan tidak pernah jelas bagaimana implementasinya.

Bahkan hal ini pernah mengusik orang nomor satu di Kompas Gramedia, Jakob Oetama yang mengakui bahwa wartawannya banyak yang belum bisa menulis. Hal lebih menyayat bahkan diungkapkan oleh salah satu pendiri Tempo, Goenawan Mohamad bahwa selama 30 tahun menjadi redaktur pria yang saat ini sibuk di Salihara ini mengaku hanya memiliki tidak lebih dari 10 penulis saja. Lalu selebihnya itu?

Tidak heran jika jumlah pelanggaran kode etik jurnalistik yang berhasil dihimpun oleh Dewan Pers sangat fantastis. Dewan Pers menyebutkan setidaknya terjadi 98 kasus pelanggaran kode etik pada 2010, lalu naik menjadi 101 kasus pelanggaran pada 2011, dan menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun menjadi 167 kasus pada 2012 lalu (Laporan Tahunan Dewan Pers Periode 2011-2012).

Disebutkan pula oleh Dewan Pers, bahwa pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang paling banyak terjadi lantaran ketidakberimbangan pemberitaan, menghakimi, memihak, tidak melakukan verifikasi, tidak akurat, dan karena mencampurkan fakta serta opini menghakimi. Fakta ini menjadi tamparan bagi industri pers tanah air saat ini.

Sayangnya, bukannya justru ditempa dan dididik untuk menjadi jurnalis yang kompeten, kebanyakan media massa justru tidak menuntut wartawannya agar bisa profesional. Hanya sedikit saja media massa yang melihat ini sebagai perilaku buruk yang harus diperbaiki. Tentunya sebagian besar lainnya, hanya bisa berupaya menuntut praktisinya untuk menampilkan berita yang menarik perhatian publik dengan pengeluaran yang seminimal mungkin.

Kenyataan ini terbukti ketika menjamurnya budaya amplop hingga wartawan bodreks di Indonesia. Bukan tidak mungkin, lantaran kesehjateraan yang tidak terjamin menjadi imbas seorang wartawan melakukan hal itu. Pun sebaliknya, dengan alibi tidak adanya standar kompetensi jelas, membuat perusahaan media massa semena-mena dalam menentukan kesehjateraan seorang wartawan.

Seperti rantai makanan setan, semua pihak hanya saling menyalahkan tanpa melihat akar permasalahan yang konkret. Di satu sisi wartawan selalu menuntut profesionalisme dengan upah yang layak, tapi di sisi yang lain wartawan tidak menyadari bahwa selayaknya profesi harus mempunyai standar tolok ukur agar bisa disebut sebagai wartawan.

Akhirnya celah ini dimanfaatkan oleh perusahaan media massa untuk memanfaatkan sumber daya manusia dari wartawan yang lemah. Hanya dengan gaji murah, bahkan hanya diberikan selembar kartu pers tanpa digaji perusahaan pers bisa berkuasa banyak untuk mendekte wartawannya dan mengendalikan berbagai isu nasional.

Ini yang disebut Jalaluddin Rakhmat bahwa media massa selalu membentuk dirinya sebagai citra berdasarkan informasi yang setiap saat disajikannya. Setiap realitas yang ditampilkan media adalah realitas yag sudah diseleksi. Realitas tangan kedua (second hand reality). Ia mencontohkan, televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lainnya. Begitu pun dengan koran dengan melalui proses gatekeeper, menapis berbagai berita kemudian memuat berita tentang darah dan dada (blood and breast).

Jika kita sadari, hal tersebut adalah pembodohan dan pemerasan terhadap cara berpikir wartawan. Dengan atas dasar kebebasan pers, wartawan dengan legawanya bersedia diperas oleh konglomerat pers. Kita contohkan saja saat Pemilu Presiden 2014 silam, bagaimana media massa membentuk dirinya untuk membuat propaganda seolah-olah berita yang mereka sajikan adalah hasil buah pemikiran wartawannya. Antara satu media dengan media yang lainnya tiba-tiba saling menyudutkan calon presiden yang tidak sejalan dengan kepentingan praktisnya.

Dan apa yang bisa dilakukan oleh wartawan? Padahal mereka sadar bahwa saat itu kemerdekaannnya untuk berpikir telah dikebiri. Bahwa kebebasan pers yang saat ini ada, hanya milik segelintir orang saja. Ini yang disebut oleh Atmakusumah, bahwa tantangan pers Indonesia ke depan adalah swa-sensor dan profesionalisme.

Tidak heran meski jumlah media massa di Indonesia ada ribuan tapi toh ternyata hanya dikuasai oleh 14 grup korporasi swasta raksasa saja. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings (Lippo Group), Media Group, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media, serta Media Bali Post Group (KMB), dan Cipta Prima Pariwara (CPP) Radionet. Dikatakan Nugroho, Putri, dan Laksmi konglomerasi kepemilikan industri media terjadi sebagai konsekuensi logis yang tak dapat terelakkan dari kepentingan para pemilik modal dalam mendorong perkembangan industri media di Indonesia.

bersambung.

Senin, 09 Februari 2015

Dolly Tutup, Prostitusi Berkedok Mancing Menggeliat

Sumber Foto Tempo: Imbas ditutupnya eks lokalisasi Dolly berdampak menyebarnya protitusi ke sejumlah daerah di Jawa Timur dan luar pulau di Indonesia.
Ditutupnya lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Dolly tidak membuat praktik prostitusi di Kota Surabaya berhenti begitu saja. Justru sebaliknya, prostitusi semakin sporadis terjadi di sejumlah kawasan, salah satunya seperti yang terlihat di kawasan Kampung Baru, dekat pintu air Jagir Wonokromo dengan berkedok menyasar para pemancing.

______

Sekilas, tidak ada pemandangan yang berbeda antara tempat pemancingan di kawasan sungai Jagir Wonokromo dengan spot pemancingan lainnya di Surabaya. Perbedaannya hanya satu, di tempat pemancingan Sungai Pintu Air Jagir Wonokromo ternyata tidak hanya menawarkan ikan untuk dipancing, tapi juga ratusan perempuan telah berderet di sepanjang jalan di Kampung Baru untuk menjajahkan pancingan cinta semalam.

Dari pantauan enciety.co Minggu (8/2/2015) malam, debit air di sepanjang sungai Brantas tersebut sedang tinggi, hingga melampaui batas normal. Di antara kebisingan lalu lintas sepanjang jalan Jagir Wonokromo, gemuruh deburan air membuat telinga terasa bising.

Alih-alih mendapatkan ikan, karena luapan air yang sedang tinggi, untuk mengambil sampah pun tidak akan bisa. Tapi anehnya, jumlah pemancing di kawasan itu cukup banyak. Ternyata mereka berduyun-duyun semakin banyak ketika malam semakin larut, tapi bukan untuk memancing ikan, melainkan memancing penjajah seks.

Selepas pukul 21.00 WIB, di sisi utara Pintu Air pun telah berderet kupu-kupu malam yang siap untuk dipancing. Di sepanjang jalan berbatu yang gelap mereka berjejer menawarkan cinta kepada para hidung belang yang datang. Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan berbagai usia dan pengalaman ini pun mencegat satu per satu pria hidung belang yang hilir-mudik mencari pasangan.

Prostitusi terselubung tersebut semakin menggeliat pasca-penutupan Eks Lokalisasi Dolly setahun yang lalu. Tidak heran, jika ada ratusan PSK di kawasan Kampung Baru tersebut, hasil pelarian dari Dolly dan sejumlah tempat prostitusi lainnya di Surabaya maupun dari luar kota.

Dari penelusuran enciety.co, para pemancing biasanya mendapat tawaran dari sejumlah calo PSK yang juga menjadi pedagang kelontong di kawasan tersebut. "Mas mau mancing ikan apa mau mancing ikan duyung? Kalau mau mancing ikan duyung ayo saya anterin," rayu salah seorang calo kepada calon pelanggan.

Dengan memasang tarif murah, tidak sedikit yang membuat para hidung belang kepincut untuk mencoba bisnis esek-esek meski berada di kawasan kumuh. Ini karena para PSK menawarkan tarif yang sangat murah. Mulai dari Rp 35 ribu hingga Rp 150 ribu untuk sekali bercinta.

Para pelangan seks di kawasan tersebut cukup variatif. Mulai dari pelajar SMA, mahasiswa, bapak-bapak, hingga aki-aki yang doyan jajan. Hanya saja, mayoritas para pencari ikan duyung ini didominasi kalangan kelas bawah.

Di kampung baru tersebut, prostitusi terselubung buka hingga 24 jam. Seperti sudah terorganisir, mereka yang beroperasi pun seolah mempunyai jadwal tersendiri. Saat siang hari para PSK yang mangkal didominasi ibu-ibu hingga usia lanjut dengan jumlah terbatas. Sedangkan saat malam hari, suasana jauh berbeda, ada puluhan PSK yang beroperasi, mulai dari usia 26 tahun sampai 40-an tahun.

Bantaran sungai tersebut seketika mirip sebuah kampung prostitusi mini yang dikuasai oleh seorang mucikari dengan jumlah anak buah yang mencapai seratus PSK. Di tempat itu juga ada sebuah warung karaoke dangdut dengan berbagai jenis minuman alkohol kelas bawah yang selalu menyajikan alunan musik dangdut koplo.

Untuk mengalihkan prostitusi terselubung tersebut, mucikari juga membuka sebuah warung kopi sekaligus toko kelontong yang menjual aneka kebutuhan rumah tangga. Namun, di sela-sela rumah hunian tidak permanen itu, ada sekitar 10 bilik kamar dengan masing-masing kamar berukuran satu kali dua meter.

Saat masuk ruangan berbilik-bilik tersebut, ada satu kaca besar yang sudah buram. Di sampingnya ada beberapa drum besar yang kosong dan tumpukan kondom yang ditaruh di atas rak. Para PSK biasanya mengambil kondom sebelum mereka bertransaksi.

Di ruangan satu kali dua meter itu terasa pengap dan gelap. Masing-masing bilik terdapat satu kasur lipat, bantal, dan sprei yang terlihat kusut dan acak-acakan. Tidak ada kunci pintu di setiap kamarnya, hanya saja untuk menandakan bahwa kamarnya sudah terisi, setiap PSK memberi tanda dengan sehelai kain untuk diganjalkan di pintu kamar.

Selesai bertransaksi, biasanya para PSK akan mencuci dan merapikan diri di sudut ruangan lainnya. Di ruangan tak berbilik itu ada banyak gentong berisi air kotor yang diambil dan diendap sebelum digunakan.

Seperti yang dilakukan sebut saja Melati (26), yang sudah menjalani kehidupan seperti itu selama dua tahun terakhir karena faktor ekonomi keluarga. Suaminya yang tidak bekerja, terpaksa membuat ibu dua anak ini menjalani profesinya sebagai seorang PSK.

"Kerja lainnya juga nggak cukup uangnya untuk kebutuhan hidup. Karena itu saya pilih kerja di sini saja. Semalem biasanya dapat banyak pelanggan, 20 sampai 30 lah," akunya lalu menambahkan bahwa PSK dari Dolly dan tempat lainnya juga banyak yang beroperasi di tempat tersebut.

bersambung.

Translate