![]() |
Sumber foto flickr.com: Penjual sayur keliling adalah sebagain kecil dari potensi positif ekonomi mikro yang kurang diperhatikan pemerintah. |
Tidak dipungkiri
lagi, persoalan merosotnya jumlah pengunjung pasar tradisional di berbagai
tempat tidak terlepas dari banyaknya jumlah swalayan di Indonesia. Menjamurnya
minimarket yang dikuasai oleh corporate ini bisa menjadi masalah tersendiri
bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan global, khususnya Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015.
Dari data yang
dipaparkan Retail Measurement Service (RMS) pada 2011 silam jumlah pertokoan di
Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia setelah India. Diperkirakan ada 2,5
juta toko modern dan tradisional yang beredar di seluruh Indonesia. Jumlah ini
diperkirakan terus bertambah, seiring menggeliatnya sektor retail.
Retail modern di
Indonesia pun meningkat tajam dari tahun ke tahun. Pada 2009 jumlah minimarket
di Indonesia baru sekitar 16 ribu toko dan hanya butuh waktu dua tahun saja
untuk mendongkrak jumlah minimarket menjadi 18.152 toko. Rata-rata per tahun,
jumlah minimarket meningkat 30 hingga 38 persen yang mempunyai target
daerah-daerah kawasan dan pinggiran kota.
Sementara itu, nasib
pasar tradisional justru mengenaskan. Pasar rakyat ini terus mengalami
kemerosotan baik dalam jumlahnya maupun kualitas pelayanannya. Dari data yang
dihimpun Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyebutkan jumlah pasar tradisional
di seluruh Indonesia turun drastis dari 13.540 pasar tradisional menjadi 9.950
pasar dalam waktu 4 tahun. Dari periode 2007 hingga 2011 ini pasar tradisional
sudah mengalami penurunan jumlah hingga 3 ribu unit (dikutip dari Bisnis
Indonesia).
Hal yang sama juga
dibeberkan oleh survei AC Nielsen pada tahun 2013. Jumlah pasar tradisional
atau pasar rakyat di Indonesia dikatakannya mengalami penurunan. Sementara
perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis.
Perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis,
dimana pasar rakyat justru minus -8,1 persen sementara pasar modern mengalami
pertumbuhan 31,4 persen per tahun.
Salah satu penyebab
tidak berkembangnya pasar rakyat saat ini ditengarai lantaran kondisi fisik
pasar itu sendiri. Seperti bau, pengap, berantakan, becek, dan jorok. Kenyataan
itu dinilai membuat para pengunjung pasar rakyat beralih memilih pasar modern
yang menawarkan kelengkapan dan kenyamanan berbelanja.
Selain itu, ciri khas
pasar rakyat sebagai penyedia barang dengan harga murah juga tidak populer.
Pasar rakyat yang identik dengan tawar-menawar dinilai sudah tidak menarik.
Sebab, pasar modern menawarkan barang dengan harga murah bahkan memberi diskon.
Kenyataan ini yang membuat para konsumen melupakan pasar rakyat.
Kelemahan ini, bukan
berarti menjadikan pasar tradisional lumpuh dan bangkrut. Ada sejumlah
komoditas retail yang tidak bisa dimiliki oleh minimarket. Seperti halnya
dengan sayur-mayur yang lebih fresh dengan harga terjangkau tidak pernah
dimiliki oleh para pengembang swalayan. Kebanyakan minimarket hanya
mengandalkan komoditas hortikultura yang bisa disimpan dalam beberapa hari
menggunakan pendingin.
Inilah keunggulan
pasar tradisional yang belum banyak dioptimalkan. Penyediaan komoditas
holtikultura mulai dari cabai, kentang, sayur-mayur, hingga bawang tidak bisa
disediakan oleh pasar modern dengan harga yang terjangkau dan dengan kualitas
baik.
Terlebih saat
masyarakat sudah berbondong-bondong dengan sendirinya menciptakan infrastruktur
penunjang berupa penjual sayur keliling. Hal ini dirasa menjadi solusi
pendongkrak perputaran uang di pasar tradisional. Karena, meski masyarakat
tidak bisa pergi ke pasar karena berbagai kesibukan, toh ada penjual sayur
keliling yang menawarkan berbagai komoditas pasar tradisional dengan harga yang
cukup terjangkau dibandingkan swalayan.
Namun secara pasti
belum ada data konkret terkait jumlah penjual sayur keliling di Indonesia.
Kalau digunakan rata-rata saja, setiap penjual sayur keliling melayani 2 Rukun
Tetangga, maka sedikitnya ada sekitar 60 sampai 100 kepala rumah tangga yang
bisa dijadikan pasar yang cukup strategis. Dalam sehari perputaran uangnya pun
lumayan besar, mulai dari Rp 200 hingga Rp 500 ribu per harinya.
Kalau sektor dan
komoditas ini digenjot oleh pemerintah melalui program ekonomi Usaha Kecil
Menengah (UKM), maka bukan tidak mungkin ini akan bisa mengalahkan minimarket
yang sudah marajai pasar retail. Pemerintah maupun pihak pengelola pasar
tradisonal harus menambah investasi untuk memberikan sarana dan infrastruktur
berupa kendaraan dan branding terhadap penjual sayur keliling.
Solusi ini dianggap
bisa membangkitkan ekonomi kecil di Indonesia yang jauh lebih riil dibandingkan
dengan upaya pemerintah untuk menahan laju perizinan minimarket. Karena seperti
halnya dengan hukum ekonomi klasik, di mana ada permintaan di situ pasti ada
penawaran. Pemerintah harus berani memberi problem solving dengan menjembatani
ekonomi kecil untuk bangkit sebelum potensi pasar ini diambil perannya oleh
retail modern seperti minimarket.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar