Sabtu, 21 Februari 2015

Penjual Sayur Masa Depan Penggeser Swalayan

Sumber foto flickr.com: Penjual sayur keliling adalah sebagain kecil dari potensi positif ekonomi mikro yang kurang diperhatikan pemerintah.



Tidak dipungkiri lagi, persoalan merosotnya jumlah pengunjung pasar tradisional di berbagai tempat tidak terlepas dari banyaknya jumlah swalayan di Indonesia. Menjamurnya minimarket yang dikuasai oleh corporate ini bisa menjadi masalah tersendiri bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan global, khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Dari data yang dipaparkan Retail Measurement Service (RMS) pada 2011 silam jumlah pertokoan di Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia setelah India. Diperkirakan ada 2,5 juta toko modern dan tradisional yang beredar di seluruh Indonesia. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah, seiring menggeliatnya sektor retail.
Retail modern di Indonesia pun meningkat tajam dari tahun ke tahun. Pada 2009 jumlah minimarket di Indonesia baru sekitar 16 ribu toko dan hanya butuh waktu dua tahun saja untuk mendongkrak jumlah minimarket menjadi 18.152 toko. Rata-rata per tahun, jumlah minimarket meningkat 30 hingga 38 persen yang mempunyai target daerah-daerah kawasan dan pinggiran kota.
Sementara itu, nasib pasar tradisional justru mengenaskan. Pasar rakyat ini terus mengalami kemerosotan baik dalam jumlahnya maupun kualitas pelayanannya. Dari data yang dihimpun Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyebutkan jumlah pasar tradisional di seluruh Indonesia turun drastis dari 13.540 pasar tradisional menjadi 9.950 pasar dalam waktu 4 tahun. Dari periode 2007 hingga 2011 ini pasar tradisional sudah mengalami penurunan jumlah hingga 3 ribu unit (dikutip dari Bisnis Indonesia).
Hal yang sama juga dibeberkan oleh survei AC Nielsen pada tahun 2013. Jumlah pasar tradisional atau pasar rakyat di Indonesia dikatakannya mengalami penurunan. Sementara perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis. Perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis, dimana pasar rakyat justru minus -8,1 persen sementara pasar modern mengalami pertumbuhan 31,4 persen per tahun.
Salah satu penyebab tidak berkembangnya pasar rakyat saat ini ditengarai lantaran kondisi fisik pasar itu sendiri. Seperti bau, pengap, berantakan, becek, dan jorok. Kenyataan itu dinilai membuat para pengunjung pasar rakyat beralih memilih pasar modern yang menawarkan kelengkapan dan kenyamanan berbelanja.
Selain itu, ciri khas pasar rakyat sebagai penyedia barang dengan harga murah juga tidak populer. Pasar rakyat yang identik dengan tawar-menawar dinilai sudah tidak menarik. Sebab, pasar modern menawarkan barang dengan harga murah bahkan memberi diskon. Kenyataan ini yang membuat para konsumen melupakan pasar rakyat.
Kelemahan ini, bukan berarti menjadikan pasar tradisional lumpuh dan bangkrut. Ada sejumlah komoditas retail yang tidak bisa dimiliki oleh minimarket. Seperti halnya dengan sayur-mayur yang lebih fresh dengan harga terjangkau tidak pernah dimiliki oleh para pengembang swalayan. Kebanyakan minimarket hanya mengandalkan komoditas hortikultura yang bisa disimpan dalam beberapa hari menggunakan pendingin.
Inilah keunggulan pasar tradisional yang belum banyak dioptimalkan. Penyediaan komoditas holtikultura mulai dari cabai, kentang, sayur-mayur, hingga bawang tidak bisa disediakan oleh pasar modern dengan harga yang terjangkau dan dengan kualitas baik.
Terlebih saat masyarakat sudah berbondong-bondong dengan sendirinya menciptakan infrastruktur penunjang berupa penjual sayur keliling. Hal ini dirasa menjadi solusi pendongkrak perputaran uang di pasar tradisional. Karena, meski masyarakat tidak bisa pergi ke pasar karena berbagai kesibukan, toh ada penjual sayur keliling yang menawarkan berbagai komoditas pasar tradisional dengan harga yang cukup terjangkau dibandingkan swalayan.
Namun secara pasti belum ada data konkret terkait jumlah penjual sayur keliling di Indonesia. Kalau digunakan rata-rata saja, setiap penjual sayur keliling melayani 2 Rukun Tetangga, maka sedikitnya ada sekitar 60 sampai 100 kepala rumah tangga yang bisa dijadikan pasar yang cukup strategis. Dalam sehari perputaran uangnya pun lumayan besar, mulai dari Rp 200 hingga Rp 500 ribu per harinya.
Kalau sektor dan komoditas ini digenjot oleh pemerintah melalui program ekonomi Usaha Kecil Menengah (UKM), maka bukan tidak mungkin ini akan bisa mengalahkan minimarket yang sudah marajai pasar retail. Pemerintah maupun pihak pengelola pasar tradisonal harus menambah investasi untuk memberikan sarana dan infrastruktur berupa kendaraan dan branding terhadap penjual sayur keliling.
Solusi ini dianggap bisa membangkitkan ekonomi kecil di Indonesia yang jauh lebih riil dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk menahan laju perizinan minimarket. Karena seperti halnya dengan hukum ekonomi klasik, di mana ada permintaan di situ pasti ada penawaran. Pemerintah harus berani memberi problem solving dengan menjembatani ekonomi kecil untuk bangkit sebelum potensi pasar ini diambil perannya oleh retail modern seperti minimarket.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate