Jumat, 13 Maret 2015

Produksi Tempe dengan Air Sungai Terancam Ditutup Dinkes (Bagian 3)

Sumber foto enciety.co: Tong-tong berisi kedelai berjejer di pinggir bantaran sungai Tenggilis Mejoyo Surabaya siap untuk dimasak menggunakan air limbah kali, Selasa (10/3/2015).

Temuan enciety.co terkait adanya tindakan berbahaya yang dilakukan oleh sejumlah produsen tempe di Tenggilis Lama III, Surabaya langsung direspon Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya.

Ditemui di kantornya, Rabu (11/3/2015) siang, Kepala Dinkes Kota Surabaya, drg. Febria Rachmanita menegaskan akan segera menelisik dan memberi peringatan keras kepada produsen tempe yang terbukti mengolah tempe menggunakan air sungai.

“Temuan ini akan kami tindak-lanjuti dengan menerjunkan tim untuk mengecek secara langsung tempat produksi tempe tersebut. Jika benar terbukti melanggar ketentuan tentang kesehatan, maka kami langsung akan berikan surat peringatan,” tegas Febria di lantornya Jalan Jemursari, Surabaya.

Jika pada peringatan pertama nantinya produsen tempe tersebut tetap tak mengindahkan, Febria berjanji akan kembali memberi peringatan hingga tiga kali. Jika tetap saja produsen tempe nakal tersebut bergeming, maka sesuai dengan standard operating procedure (SOP), Dinkes Surabaya tidak segan-segan menutup tempat produksi tempe tersebut.

“Dulu kita juga pernah menemukan hal yang sama. Kami pernah menemukan sekali produsen tahu yang menggunakan limbah air sungai untuk digunakan memasak tahu. Jadi mereka juga mengambil air dari sungai, lalu limbah tahu dibuang di sungai kembali jadi sangat tercemar dan berbahaya bagi kesehatan konsumen dan masyarakat,” beber dia.

Dari temuan tersebut, kata Febria, Dinkes langsung memberikan surat peringatan keras. Tidak lama kemudian, pabrik tahu yang tidak mengantongi izin usaha tersebut ditutup oleh pengusahanya sendiri, sebelum Pemkot Surabaya melakukan tindakan penyegelan.

“Jadi kita ada aturannya, dan menganjurkan agar produsen tempe dan tahu untuk menggunakan air PDAM sebagai media untuk proses memasak. Meski air PDAM diambil dari sungai Jagir, tapi itu sudah melalui berbagai filterisasi dan setiap tahun kami selalu melakukan pemeriksaan terkait baku mutu air PDAM,” ungkapnya.

Namun,imbuh Febria, jika produsen tempe menggunakan air sungai yang tercemar berbagai limbah rumah tangga maka dikhawatirkan akan berdampak serius pada kesehatan konsumennya. Diakuinya ada banyak sekali bakteri di dalam sungai terlebih sudah tercampur dengan berbagai kotoran, sampah, pampers, air bekas cuci, masak, dan mandi warga Surabaya.

“Memang perlu diuji di laboratorium untuk melihat ada bakteri apa saja di dalam air sungai tersebut. Meski begitu, secara kasat mata kita sudah bisa melihat bahwa air kali Surabaya tidak dapat secara langsung digunakan untuk memasak dan lain sebagainya,” tambahnya.

Seperti diberitakan, sedikitnya 12 pengusaha di kawasan Tenggilis Lama III Surabaya bertindak ceroboh dengan memasak kedelai menggunakan air sungai di Tenggilis Mejoyo. Setiap hari mereka memproduksi tempe hingga 1 sampai 2 ton tempe yang dipasarkan di sejumlah pasar tradisional di Surabaya dengan harga yang lebih terjangkau.

pernah diterbitkan http://www.enciety.co/gunakan-air-sungai-dinkes-surabaya-bakal-tutup-produsen-tempe/

Produksi Tempe dengan Air Sungai, Disperdagin Surabaya Ngaku Kecolongan (Bagian 2)

Sumber foto enciety.co: Tong-tong berisi kedelai berjejer di pinggir bantaran sungai Tenggilis Mejoyo Surabaya siap untuk dimasak menggunakan air limbah kali, Selasa (10/3/2015).


Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kota Surabaya, Widodo Suryantoro mengaku kecolongan dengan adanya produsen nakal tempe. Karena memang Widodo mengaku tidak ada pengawasan secara persuasif.

“Sifatnya kami memberi pembinaan dan imbauan kepada setiap Lurah dan Camat di seluruh Surabaya. Jika ada yang nakal akan kami peringatkan. Kami telah berkoordinasi dengan dinas terkait jika ada penyelewengan,” ujarnya, Selasa (10/3/2015).

Untuk diketahui, penelusuran enciety.co, di lokasi tempat produksi tempe di Tenggilis Mejoyo, sedikitnya ada 12 pengusaha yang melakukan tindakan nakal. Di tempat seluas 50 meter persegi tersebut, semua proses produksi dilakukan di bantaran sungai. Mulai dari proses pencucian kedelai, memasak, hingga proses fermentasi tempe dilakukan di tempat yang sama.

Sekilas tidak ada yang berbeda antara tempat produksi tempe di kawasan tersebut dengan tempat produksi lain di kampung-kampung. Hanya saja, cara produksi home industry tersebut menggunakan air limbah yang diambil dari sungai Tenggilis Mejoyo.

Widodo mengungkapkan, upaya lain yang dilakukannya adalah dengan mendata dan memberikan izin usaha kepada setiap produsen tempe. Ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan di sektor hilir.

“Kalau nanti ada peredaran tempe yang menggunakan air limbah akan kami tarik dari pasaran,” tegas dia.

Sementara, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur Said Utomo menegaskan, tindakan tersebut sangat berdampak pada kesehatan masyarakat.

“Memang dampak langsung tidak akan terjadi, tapi untuk jangka-panjangnya bisa membahayakan kesehatan masyarakat,” ujar dia.

“Kalau dikonsumsi dengan jangka panjang kan bahaya untuk konsumen. Jadi kita juga perlu menguji ke BPOM apakah produksi tempe tersebut menggunakan air limbah atau tidak,” imbuhnya.

Ditambahkannya, bahwa sebagai pelindung konsumen di sekor hilir, Said meminta Pemkot Surabaya menindak tegas kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para produsen makanan dan minuman.

“Memang masyarakat tidak bisa menguji secara langsung, jadi dibutuhkan peran Pemkot Surabaya untuk menindak dan menguji di BPOM atas temuan ini,” pungkasnya.

pernah diterbitkan http://www.enciety.co/produksi-tempe-dengan-air-sungai-disperdagin-surabaya-ngaku-kecolongan/

Produksi Tempe di Surabaya Menggunakan Air Sungai (Bagian 1)

Sumber foto enciety.co: Tong-tong berisi kedelai berjejer di pinggir bantaran sungai Tenggilis Mejoyo Surabaya siap untuk dimasak menggunakan air limbah kali, Selasa (10/3/2015).

Banyak cara nakal dilakukan oleh para produsen tempe untuk memenuhi keinginan konsumen agar bisa mengonsumsi tempe dengan harga murah. Seperti di tempat produksi tempe di Jalan Tenggilis Lama III, Surabaya, para produsen menggunakan limbah air sungai untuk digunakan memasak kedelai.

Dari penelusuran enciety.co, Selasa (10/3/2015), di lokasi tempat produksi tempe tersebut sedikitnya ada 12 pengusaha yang melakukan tindakan nakal tersebut. Di tempat seluas 50 meter persegi tersebut, semua proses produksi dilakukan di bantaran sungai. Mulai dari proses pencucian kedelai, memasak, hingga proses fermentasi tempe dilakukan di tempat yang sama.

Sekilas tidak ada yang berbeda antara tempat produksi tempe di kawasan tersebut dengan tempat produksi lain di kampung-kampung. Hanya saja, cara produksi home industry tersebut menggunakan air limbah yang diambil dari sungai Tenggilis Mejoyo.

Karyono, salah satu pegawai produsen tempe, menyebutkan bahwa tiap hari masing-masing pengusaha mampu memproduksi 20 hingga 150 kg. Total produksi bisa mencapai 1-2 ton dalam sehari.

“Semuanya membuat tempe di sini,” aku pria urban yang sudah bekerja sejak dua tahun terakhir tersebut.

Untuk memproduksi tempe dengan kapasitas besar itu, terang Karyono, diperlukan ratusan liter air. Jika menggunakan air PDAM tentu itu akan membuat pengusaha merugi. “Ya, tapi kita menggunakan air (sungai) yang sudah disaring dengan pompa,” terangnya.

Karena kebutuhan air cukup tinggi, para pengusaha terpaksa menggunakan limbah air sungai. Air sungai buangan limbah rumah tangga di kawasan Tenggilis Mejoyo itu diambil menggunakan pompa kecil, kemudian ditampung di sebuah wadah seperti bak mandi berukuran 3 kali satu meter.

Karyawan lain yang enggan disebutkan namanya juga mengakui terpaksa mengambil air di sungai karena kebutuhan produksi tempe cukup besar. Namun, ia membantah jika air tersebut diambil dengan tanpa filterisasi.

“Kami mempunyai saringan air yang kami tempatkan dalam pompa,” cetus dia.

Biasanya, diakui dia, air kali digunakan untuk mencuci dan memasak kedelai. Setelah dicuci, proses selanjutnya adalah memasak kedelai menggunakan tungku besar dari drum minyak. Mereka biasa memasak menggunakan kayu bakar.

“Semua tempe kami dipasarkan di seluruh Surabaya. Mulai dari Pasar Wonokromo hingga Pasar Keputran Surabaya,” katanya.

Soal omzet, dia mengaku meraup Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta setiap harinya. Karena harga tempenya cukup terjangkau, banyak masyarakat tertarik membelinya.

pernah diterbitkan http://www.enciety.co/produsen-tempe-surabaya-gunakan-air-sungai/

Demi Nyawa Pasien, Perawat Rela Disandera Rumah Sakit

Sumber Foto enciety.co: Kepala Bidang Koordinator, Siti Hani’ah Puskesmas Bersalin Jagir, Surabaya dibantu perawat tampak terampil saat merawat bayi yang baru saja dilahirkan beberapa hari yang lalu.

 Suasana asri dan teduh sangat terasa saat berkunjung di Puskesmas Bersalin Jagir, Wonokromo-Surabaya. Selain karena rimbunnya tanaman, puskesmas yang berada di kawasan jalan Bendul Merisi 1, Surabaya itu juga menawarkan kesan indah dengan banyaknya berbagai jenis hias.

Sementara bangunan yang berjajar sambung tampak kelihatan eksotik dengan arsitektur khas Belanda. Ya, bangunan di Puskesmas Jagir memang telah menjadi bagian dari bangunan cagar budaya di Surabaya.

Di dalam bangunan bersejarah itu sehari-hari menjadi saksi lahirnya ribuan putra-putri penerus bangsa. Dalam sehari, diceritakan salah satu perawat, ada sedikitnya satu hingga dua ibu hamil yang melahirkan di tempat itu. Tidak heran, sebagai salah satu puskesmas bersalin terbesar di Surabaya, Puskesmas Bersalin Bendul Merisi selalu ramai dipadati pasien.

Namun saat enciety.co berkunjung, Rabu (11/3/2015), suasana tampak sedikit santai. Puluhan perawat dan dokter tidak terlihat lebih sibuk dibanding hari-hari biasanya. Ini karena sejak diberlakukan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) puskesmas bersalin tersebut lebih sepi.

“Sejak ada program BPJS pasien lebih turun. Ini karena pusat pelayanan BPJS sudah tersebar ke berbagai klinik-klinik di seluruh Surabaya. Jadi kebanyakan pasien yang hanya sekedar kontrol itu bisa langsung di bidan atau klinik di rumahnya masing-masing,” aku Endang Dwi Prastiwi, Kepala Tata USaha Puskesmas Bersalin Jagir Surabaya.

Meski cenderung menurun, tapi diakui Endang animo masyarakat untuk berobat di Puskesmas Bersalin cukup tinggi. Dalam sehari saja, diungkapkan dia, ada sedikitnya 250-300 pasien berobat jalan. Sedangkan pasien rawat inap mencapai 80-100 orang tiap bulannya.

Tidak heran jika di puskesmas tersebut jumlah dokternya jauh lebih banyak dibanding puskesmas lainnya. Setiap hari, ada 15 dokter siaga di tempat itu. Di antaranya terdiri dari 7 dokter umum, 6 dokter gigi, 1 dokter kandungan, dan 1 dokter spesialis. Belum ditambah 14 perawat yang siaga 24 jam dengan tiga shift.

“Biasanya di pagi hari akan ada 3 perawat untuk shift pagi, lalu 2 perawat di shift sore, dan 2 lagi di shift malam. Sisanya memang giliran libur,” terang Endang.

Seperti dialami Siti Hani’ah, bidan sekaligus Kepala Bidang Koordinator Puskesmas Bersalin Jagir. Dia harus siaga baik itu saat bertugas di pagi, sore, atau malam hari. Sebagai bidan, ia menyadari setiap saat pasien datang tiba-tiba dan memaksanya untuk tetap memberikan pelayanan secara optimal.

Seperti ia alami beberapa bulan lalu. Lazimnya bidan ia sering menemui berbagai jenis pasien ibu hamil yang ingin kontrol kandungan. Tapi di suatu malam, saat bertugas bersama dua rekannya di Puskesmas Jagir, ia mendapati kasus ibu dua anak yang berusia 21 sedang hamil besar.

“Awalnya dia itu pernah datang ke rumah saya sekali bersama suaminya. Mereka datang saat kandungannya masih di minggu-minggu awal. Waktu itu, saya memprediksikan masa kehamilannya hanya delapan bulan saja. Karena itu saya mengimbau agar ia rajin mengontrolkan kehamilannya,” jelas dia.

Sayangnya, kedua pasangan muda itu justru tak pernah datang lagi untuk kontrol usia kehamilan. Delapan bulan kemudian, tiba-tiba ibu muda itu datang ke rumah Hani’ah dengan memboyong dua anak kecilnya tanpa suami. “Ternyata sudah mau mbrojol anaknya, ya saya langsung bawa ke puskesmas,” bebernya.

Begitu tiba di puskesmas dan naik di ranjang persalinan, ibu muda yang tidak disebutkan identitasnya oleh Hani’ah itu langsung melahirkan anak ketiganya dengan mudah.

“Saya lega. Saya pikir ini sudah berakhir, tapi ternyata justru ini adalah awal dari perjuangan panjang,” katanya sembari bergeleng-geleng menceritakan. Ini karena selepas melahirkan, ibu muda ini kemudian mengalami hipertensi tinggi. Bahkan tensi saat itu menunjukkan di luar kewajaran, yakni mencapai 190 per 100.

“Saya mencari keluarganya tidak ada. Waktu itu saya butuh keputusan karena pasien harus dibawa segera, tapi ternyata suaminya tak kunjung datang,” kesalnya.

Karena kondisi cukup genting, ia pun memutuskan untuk membawa pasien ke Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dr Ramelan Surabaya. Saat tiba di rumah sakit, Hani’ah menghadapi permasalahan lagi, pihak rumah sakit ingin jaminan dari keluarga pasien.

“Waktu itu sudah tengah malam dan keluarga tidak kunjung datang. Handphone suaminya juga tidak bisa dihubungi. Terpaksa dua perawat yang berjaga malam di puskesmas saya jadikan sebagai penjaminan rumah sakit agar pasien cepat mendapat penanganan medis,” tutur dia.

Sementara itu, saat bersamaan Hani’ah memutuskan untuk mencari keluarga pasien di rumahnya kawasan Joyoboyo. Namun saat tiba, ternyata tidak ada satu pun orang dan keluarga. Ketua RT setempat bahkan mengaku tidak kenal ibu tiga anak itu karena bukan warga Surabaya dan hanya mengontrak rumah di Surabaya.

“Saya sempat putus asa. Saat itu hujan, saya tidak tahu harus kemana lagi. Sampai di suatu warung kopi ada salah satu warga yang datang pada saya dan mengatakan alamat orang tua pasien. Saya pun tidak tunggu waktu lagi. Saya telurusi alamat rumahnya dengan jalan kaki,” ceritanya.

Tiba di rumah orang tua pasien, Hani’ah mengaku heran. Ini karena orang tua itu tidak tahu jika
anaknya sedang melahirkan dan saat itu kritis di rumah sakit. “Saya pun meminta agar suaminya juga dicari. Ternyata suaminya itu tidur di kamar,” cerita Hani’ah.

Meski begitu, ada perasaan bangga baginya. Ini karena ibu tiga anak yang meregang nyawa lantaran hipertensi itu bisa diselamatkan karena kecepatan penanganan medis. Setelah keluarga datang, dua perawat rekan Hani’ah juga bisa dibebaskan dari penyanderaan pihak rumah sakit.
“Memang sebagai pelayan publik kita harus siap dalam segala situasi apapun itu nantinya,” kesan Hani’ah yang diamini oleh Endang.

pernah diterbitkan di http://www.enciety.co/demi-nyawa-pasien-perawat-rela-disandera-rumah-sakit/

Translate