Kamis, 14 Agustus 2014

Kerbau Afrika Melahirkan, Anggota Dewan Meninggal

Sumber Foto: marischkaprudence.blogspot.com


Judul yang digunakan bukan klise dari apapun. Ini adalah penampakan dari realitas pada hari ini. Meski kedua hal tersebut sangat jauh berbeda, dengan nilai ketermukaan nilai berita sepeti langit dan bumi. Dan sama sekali tidak ada hubungannya.

Pada Selasa (12/8/2014) pagi di tengah kemajemukan kendaraan yang berjubal saling berhempitian berebut ruang keluar masuk Surabaya, di sudut jalan tampak menjadi pembeda. Keheningan alam Kebun Binatang Surabaya (KBS) tampak makin berseri seolah memecah keruwetan kota metropolitan.

wajah para pengelola KBS tidak seperti biasanya, saat itu tampak selalu sumringah. Jika biasanya ia enggan, bahkan takut saat ketemu wartawan, pagi itu justru mereka mengundang para awak media untuk berkunjung ke tempat yang sekarang menjadi aset Pemkot Surabaya tersebut.

Agus Supangat selaku Humas KBS tampak berseri-seri saat megundang wartawan. Para pekerja pers pun melihatnya sebagai hal yang kurang biasa dipandang. Telisik, ternyata Agus ingin mengabarkan info baik tentang KBS.

Tentunya kabar baik itu bukan kabar hewan yang memakan plastik, makanan yang berformalin, kandang rusak, kandang yang tak memenuhi standar konservasi hewan, atau bahkan kabar kematian hewan. Justru sebaliknya, Agus dengan semangat kemerdekaan mengatakan KBS telah memiliki koleksi satwa jenis Kerbau Afrika (Watusi) baru.

"Selasa pagi, pasangan Watusi (Lamidi dan Jumirah) milik KBS melahirkan anakan jantan dengan selamat dan sehat. Karena bertepatan dengan hari selasa maka kami beri watusi mungil itu dengan nama Seloso. Ini menambah jumlah koleksi KBS dari 2 watusi menjadi 3 Watusi," semangatnya membeberkan.

Sementara itu, Agus juga menunjukkan beberapa koleksi binatang lain yang sudah dan bersiap melahirkan. Di antaranya celeng langka yang telah melahirkan enam ekor anak pada pekan lalu dan anoa yang bersiap menyambut keluarga baru.

Namun hal ini tidak ada hubungan sama sekali dengan anggota dewan yang meninggal. Meski begitu, toh tetap saja kedua kejadian tersebut terjadi dalam waktu yang saling berdekatan. Terkait kabarnya anggota dewan yang meninggal, nilai pemberitaannya jauh lebih kuat dan lebih memiliki asas ketermukaan terhadap publik.

Seperti yang dikabarkan oleh Seluruh media nasional, Ketua Komisi V DPR RI, Laurens  Bahang Dama (LBD) dinyatakan meninggal setelah tersengat listrik saat menolong putrinya yang juga kesetrum di kamar mandi lantai dua rumahnya, Bali.

Meski sempat dilarikan ke Rumah Sakit di Denpasar, nahas nyawa politisi dari Partai Amanat Nasional itu tidak bisa tertolong. LBD yang juga sebagai anggota tim sukses pasangan Prabowo-Hatta dalam pemilu 9 Juli 2014 lalu itu sejatinya pulang ke Bali untuk memberi kejutan kepada keluarga besarnya.

"Setelah pulang, ayah sempat mengajak saya dan adik untuk belanja baju warna putih. saya sempat berfirasat buruk, tapi saya buang jauh itu," kenang Diana Dama, putri sulung LBD.

Berita ini menjadi pukulan berat bagi keluarga dan sejumlah teras pejabat tanah air. LBD yang sering nongol ke layar televisi itu dikenal sebagai sosok yang kritis. Karena kekritisan itulah yang membawa LBD ke puncak karirnya sebagai Ketua Komisi V DPR RI mewakili PAN.

Terlepas dari semua itu, kedua kejadian tersebut menjadi renungan bagi kita semua. Bahwa apapun yang kita pikirkan, sejatinya belum sama sekali sesuai dengan apa yang bisa kita lihat. Apapun itu perspektif masyarakat tentang kesemrawutan KBS, toh nyatanya mereka mampu menunjukkan kebaikan dengan datangnya titipan Tuhan berupa kerbau afrika mungil.

Di sisi lain, meski harapan Prabowo-Hatta terlalu besar terhadap tim suksesnya, termasuk peran serta LBD untuk mendorong Prabowo-Hatta mencapai puncak kepemimpinan RI 1. Nyatanya, Prabowo-Hatta dan keluarga besar PAN harus berlapang dada dengan hilangnya satu akar rumput yang kritis dari barisannya.

LBD bukan lantaran hengkang ke partai lain atau memutuskan mundur sebagai tim sukses seperti mantan Ketua MK, Mahfud MD. Tapi tangan Tuhan yang berkehendak agar LBD berhenti menjadi politisi, berhenti memberikan kejutan pada keluarga, berhenti membelikan baju anak, dan berhenti berada di dunia ini untuk menghadap pada sang pencipta, Tuhan yang maha Esa.


Apapun yang kita lakukan, lakukanlah itu karena berlandaskan keimanan dan kepercayaan. Jauh dari pada itu, Tuhan selalu menilai. Tuhan selalu memberi jawaban atas semua penilaian itu, meski tidak semua  sama seperti apa yang kita inginkan. Karena apapun yang kita lakukan selalu berawal dan berakhir pada Tuhan.

Rabu, 13 Agustus 2014

Ini Proses Media Massa Menentukan Agenda Setting


Teori penentuan agenda atau agenda settingadalah teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadarandan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:
1.    Masyarakat pers dan media massa tidak mencerminkan kenyataan, mereka menyaring dan membentuk isu.
2.    Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain.
     Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi massa, bearbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal. (Apriadi, 2012: 22-23)

 Agenda Setting Dalam Pembentukan Opini Publik
     Opini publik terdiri dari dua kata, yaitu opini dan publik. Kata opini diambil dari kata opinion dalam bahasa inggris yaitu berati pendapat. Demikian juga perkataan publik yang berasal dari kata public dalam bahasa inggris, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam beberapa pengertian. Yang tergantung pada konteks kata yang mengiringinya. Jika dirangkai menjadi frasa public opinion, maka kata public diartikan sebagai umum, karena public opinion diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi pendapat umum atau opini publik. (Apriadi, 2012: 99)
     Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa opini publik adalah pendapat yang sama yang ditanyakan oleh banyak orang yang diperoleh melalui diskusi yang intensif sebagai jawaban atas pertanyaan dan permasalahan yang menyangkut kepentingan umum. Permasalah itu tersebar melalui media massa. Pendapat rata-rata individu itu memberi pengaruh terhadap orang banyak dalam waktu tertentu. Pengaruh itu dapat bersifat positif, netral atau bahkan negatif. Oleh sebab itu, opini publik hanya akan terbentuk jika ada isu yang dikembangankan oleh media massa (surat kabar, film, radio dan televisi).
     Arifin (dalam Apriadi, 2012: 103) menyebutkan opini publik paling tidak memiliki tiga unsur, yaitu:
1.    Harus ada isu peristiwaatau kata-kata, penting dan menyangkut kepentingan umum yang disiarkan oleh media massa.
2.    Harus ada sejumlah orang yang mendiskusikan isu tersebut dan menghasilkan kata sepakat, mengenai sikap dan pendapat mereka.
3.    Pendapat mereka itu harus diekspresikan atau dinyatakan dalam bentuk lisan, tertulis, dan gerak-gerik.
     Selain Arifin, Cangara (dalam Apriadi, 2012: 103)  juga mencoba mendeskripsikan maksud dari pendapat umum itu sendiri di mana secara substantif minimal mengandung arti sebagai berikut:
1.    Adanya isu yang diawali ketidaksepakatan, yakni adanya pro dan kontra.
2.    Isu melahirkan dua bentuk masyarakat, yaitu masyarakat yang peduli pada isu itu lalu membuat pendapat, sementara masyarakat yang tidak peduli lalu diam.
3.    Pendapat dinyatakan dalam bentuk verbal.
4.    Ada kelompok kolektifitas terlibat, namun sifatnya tidak permanen.

Sering kali penggunaan media massa dalam komunikasi politik sangat penting dalam upaya membentuk citra diri para politisi dan citra partai politikuntuk memperoleh dukungan opini publik. Komuniksai politik dengan menggunakan media massa yaitu surat kabar, fim, radio, dan televisi termasuk juga dalam lingkup komunikasi massa, dalam perspektif sosiologi karena memiliki ciri-ciri dasar, yaitu bersifat umum, terbuka, dan aktual. Sifatnya yang umum, terbuka dan aktual itu membuat komunikasi massa selalu bersentuhan secara fungsional dengan dunia politik.

Catatan: ‘Wartawan’ Belajar Menjadi ‘Wartawan’


Selasa 13 Agustus 2014
Wartawan bukan sekedar profesi pencarian berita dan menyuguhkannya kepada masyarakat. Jauh dari pada itu, hakikat wartawan selalu menjadi penengah di antara kebingungan masyarakat memahami suatu masalah. Wartawan dituntut untuk memberikan persepsi yang objektif. Wartawan dituntut oleh masyarakatnya untuk bisa membaca dirinya sendiri, untuk si(apa) dia bekerja?
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu haus akan informasi tersebut, wartawan membutuhkan benteng dari dalam dirinya. Benteng yang selalu meneguhkan idealismenya, bahwa dia seorang wartawan, bukan makelar wacana.
Pantas bila hampir seluruh media massa nasional menerapkan standar tinggi untuk menentukan ideal seorang wartawan. Dalam catatan ini, diulas pentingnya ilmu pengetahuan dalam menunjang kemampuan seorang wartawan. Ilmu pengetahuan bukan lagi bicara soal metode peliputan, proses pencarian berita, alur nara sumber, hingga skill seorang wartawan.
Wartawan membutuhkan segala dan sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan untuk membentengi profesinya dari terjadinya kesenjangan antara wartawan dan sumber berita. Akhirnya, ilmu pengetahuan menjadi satu di antara sumber bagi wartawan untuk memaksimalkan skill dan potensi diri. Artinya selain pengalaman dan jam terbang, wartawan selalu di tuntut untuk update segala informasi, khususnya dengan bidang pos yang ia geluti.
Wartawan kemudian harus mengerti keseluruhan informasi walau hanya sekilas dan tidak mendalam. Hal ini menjadi patokan seorang wartawan untuk melakukan progres dan  perkembangan diri pada kualitas karya jurnalistik yang lebih baik. Tentunya hal itu lagi-lagi tidak terlepas dari kedisiplinan wartawan dalam menerapkan metode peliputan, di antaranya melakukan cover both side.
Lebih jauh, ilmu pengetahuan yang dimiliki wartawan juga mampu mendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap isu-isu sensitif di tengah-tengah khususnya yang menyangkut masyarakat banyak. Ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan pers di tanah air. Pers dan pergerakan pers selalu menjadi ujung tombak setiap transisi pemegang kekuasaan.
Pergerakan poros-poros hilir masyarakat dalam menginginkan kemerdekaan tidak terlepas dari sokongan wacana 'merdeka' yang menggaung di atas tinta para wartawan. Lengsernya Soekarno, Soeharto, lepasnya timor-timur, hingga era demokrasi liberal tidak sejengkal pun jauh dari peran serta pers Indonesia.
Melihat semua itu, tentu menjadi catatan bagi generasi kami bahwa jurnalisme selalu memegang kunci gerbang setiap masa. jurnalisme selalu menjadi garda terdepan sebuah perubahan. Tentu menyadari akan hal itu, wartawan dituntut untuk benar-benar memahami dirinya sebagai seorang pekerja pers. Kepada siapa ia bekerja? untuk apa ia bekerja? dan bagaimana ia bekerja?
Pada suatu kali melakukan wawancara dengan salah satu mantan kepala dinas peternakan Jawa Timur, saya mendapat pernyataan yang menohok diri saya secara pribadi. Saya seolah telanjang sambil berapi-api membopong kebodohan. Betapa tidak, paska melakukan proses wawancara panjang lebar hingga  mengetahui riwayat karir hingga kesehatannya, beliau menohok dengan pernyataan bahwa saya belum sama sekali bisa dikatakan sebagai wartawan.
"Pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan sejak tadi hingga saat ini tidak ada yang berbobot. Anda tidak mampu menggiring saya pada potensi jawaban yang anda ingingkan. Karena apa? karena anda tidak menguasai  apa yang anda bicarakan, dan anda tidak membatasi sebuah permasalahan. tentu saja masalah anggaran dan populasi itu jauh berbeda, dan tidak bisa dipertemukan," tohok beliau membuat saya terperanjat kaget.
Dari kalimat-demi kalimat yang terlontar dari beliau seolah menginterpretasi diri saya selama ini. Kekagetan saya, bukan karena mengapa beliau berani menohok saya, tapi apa ini adalah akumulasi kekurangan saya yang belum pernah terkoreksi?
Dengan pernyataan tersebut, juga menggaris-bawahi apakah hasil dari seluruh liputan dan naskah-naskah berita yang saya tulis tersebut adalah obyektif. Obyektif yang berdasar pada realitas sumber ilmu pengetahuan, atau jangan-jangan semua hasil peliputan tersebut hanya gambaran dari kedangkalan saya berpikir?
Pada titik ini juga menjadi titik penyadaran bagi saya akan pentingnya ilmu pengetahuan. Seperti yang dikatakan Sariban kepada saya, "tanpa membaca kamu tidak akan bisa menuliskan apa-apa," ingatnya. Pentingnya membaca menjadi catatan penting sebagai implementasi dari proses memperkaya diri sebanyak-banyaknya. Wartawan memerlukan segala informasi untuk menunjang tulisannya agar berbobot.
Selain itu, seperti yang pernah ditulis oleh Bill Kovach tentang sembilan elemen jurnalisme akan pentingnya menuliskan kebenaran. Memang kebenaran dalam jurnalisme selalu berakhir pada subjektifitas masing-masing wartawan. Akan tetapi, perlu diperjelas bahwa wartawan juga tidak bisa menulis apapun tanpa dapat melhat dan mendapat kebenaran fakta itu sendiri.

Barulah pada akhirnya, wartawan selalu dituntut untuk mawas diri dan bercermin bahwa apapun dan segala kerja keras yang dilakukan wartawan bukan untuk memperbesar korporasi media massanya. Melainkan perwujudan dari loyalitas wartawan kepada masyarakatnya.

Sabtu, 09 Agustus 2014

Redaksional, Sejarah Panjang Majalah Tempo



Pada tahun 1969, sejumlah mahasiswa berangan-angan membuat sebuah majalah berita mingguan. Singkatnya, terbitlah majalah berita mingguan bernama Ekspres. Di antara para pendiri dan pengelola awal, terdapat nama seperti Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah. Namun, akibat perbedaan prinsip antara jajaran redaksi dan pihak pemilik modal utama, terjadilah perpecahan. Goenawan dan rekan sejawatnya keluar dari Ekspres pada 1970 (Pemimpin Redaksi Tempo, Daru Priyambodo). 
Sementara itu, pada saat yang bersamaan pemilik Majalah Djaja, Harjoko Trisnadi sedang mengalami masalah. Majalah milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) , yang dikelolanya sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, minta agar Majalah Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya-sebuah yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI.
Untuk menjalankan gagasan tersebut, kemudian dilakukan pertemuan tripartite antara Yayasan Jaya Raya-yang dipimpin Ir. Ciputra, orang-orang mantan majalah Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja. Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.
Menurut Pemimpin Redaksi pertama Majalah Tempo, Goenawan Mohamad, ihwal penamaan Tempo lantaran kata ini mudah diucapkan. Terutama oleh para pengecer. Cocok pula dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni mingguan. Mungkin juga karena dekat dengan nama majalah berita terbitan Amerika Serikat, Time yang sudah lebih dulu terkenal.
Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971.  Dengan rata-rata usia awaknya yang masih 20-an, Tempo tampil beda dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan peliputan berita yang jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan jenaka, Tempo diterima masyarakat.
Tempo digagas sebagai bagian dari pembaruan media massa di Indonesia yang pada saat itu kebanyakan media massa terkekang dengan rezim orde baru. Karena sering menyuarakan kebebasan pers dan mengkritik pemerintahan saat itu, Tempo dibredel untuk pertama kalinya.
Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya Tempo dibredel. Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah dilangsungkan kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya Tempo diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu (zaman Soeharto ada Departemen Penerangan yang fungsinya, antara lain mengontrol pers). 
Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian melumut. Puncaknya, pada Juni 1994. Untuk kedua kalinya Tempo dibredel oleh pemerintah, melalui Menteri Penerangan Harmoko. Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman Timur. 
Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo -dan tercerai berai akibat bredel- berembuk ulang. Mereka bicara ihwal perlu-tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus terbit kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali. 
Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdanago public dan menjual sahamnya ke publik dan lahirlah PT. Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo (yang baru). Pada tahun yang sama (2001), lahirlah Koran Tempo yang berkompetisi di media harian. 
Sebaran informasi di bawah bendera PT TIM Tbk, terus berkembang dengan munculnya produk-produk baru seperti majalah Tempo Edisi Bahasa Inggris, Travelounge (2009) dan Tempo Interaktif. Kemudian menjadi Tempo.co serta Tempo News Room (TNR), kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita media Group Tempo. Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV, kerja sama dengan kantor berita radio KBR68H (Wikipedia). 
Awalnya portal berita TEMPO.CO ini lahir dengan nama Tempo Interaktif  (www.tempointeraktif.com). Portal online itu dikembangkan sejak 1995. Mereka hadir menjawab akan kebutuhan informasi yang mudah dibaca dan bisa dipercaya.
Dalam perjalanannya, portal TEMPO Interaktif, banyak mengalami pembenahan.  Pada 2008, Tempo Interaktif  tampil  dengan wajah baru dan sajian berita yang berkualitas. Sepanjang 2009 dan 2010, Tempo Interaktif telah berkembang lebih jauh. Dari sisi jumlah berita yang ditampilkan, misalnya, kini rata-rata jumlahnya sehari telah mencapai 300 berita. Jumlah pengunjung pun meningkat pesat.
Catatan Google Analytics menyebutkan bahwa sepanjang 2010 terjadi peningkatan jumlah pengunjung Tempo Interaktif sebesar 190 persen, yaitu dari rata-rata 1 juta pengunjung naik menjadi 3,5 juta pengunjung per bulan. Sementara itu, jumlah halaman yang dibuka oleh satu pengunjung juga mengalami peningkatan menjadi 11 juta halaman per bulan. Yang menarik pendapatan iklan Tempo Interaktif pada 2010 ikut mengalami peningkatan sebesar 26 persen.
Seiring dengan meningkatnya tren akses mobile, Tempo Interaktif juga mengembangkan aplikasi yang bisa diakses via telepon seluler, BlackBerry, iPhone, iPad, dan tablet Android. Jumlah pengakses Tempo Interaktif via mobile meningkat lebih dari 500 persen. Tempo Interaktif juga mengembangkan aplikasi iPad dan Android untuk majalah-majalah Grup Tempo, seperti Tempo, Tempo Edisi Bahasa Inggris,  dan produk TEMPO lainnya.

Di kuartal akhir 2011, manajemen TEMPO setuju untuk mengubah nama portal TEMPO Interaktif menjadi TEMPO.CO. Langkah perubahan ini merupakan bagian dari upaya TEMPO meningkatkan kualitas dan menyempurnakan sajian produk. Lebih dari itu, pengubahan ini juga mengindikasikan langkah serius TEMPO untuk mengembangkan sebuah produk media yang mampu mencerdaskan poembacanya. Pengubahan nama portal menjadi TEMPO.CO ini, sekaligus menandai bahwa TEMPO MEDIA memulai langkah untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai konvergensi media, (memadukan semua bentuk media).

Translate