Rabu, 13 Agustus 2014

Catatan: ‘Wartawan’ Belajar Menjadi ‘Wartawan’


Selasa 13 Agustus 2014
Wartawan bukan sekedar profesi pencarian berita dan menyuguhkannya kepada masyarakat. Jauh dari pada itu, hakikat wartawan selalu menjadi penengah di antara kebingungan masyarakat memahami suatu masalah. Wartawan dituntut untuk memberikan persepsi yang objektif. Wartawan dituntut oleh masyarakatnya untuk bisa membaca dirinya sendiri, untuk si(apa) dia bekerja?
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu haus akan informasi tersebut, wartawan membutuhkan benteng dari dalam dirinya. Benteng yang selalu meneguhkan idealismenya, bahwa dia seorang wartawan, bukan makelar wacana.
Pantas bila hampir seluruh media massa nasional menerapkan standar tinggi untuk menentukan ideal seorang wartawan. Dalam catatan ini, diulas pentingnya ilmu pengetahuan dalam menunjang kemampuan seorang wartawan. Ilmu pengetahuan bukan lagi bicara soal metode peliputan, proses pencarian berita, alur nara sumber, hingga skill seorang wartawan.
Wartawan membutuhkan segala dan sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan untuk membentengi profesinya dari terjadinya kesenjangan antara wartawan dan sumber berita. Akhirnya, ilmu pengetahuan menjadi satu di antara sumber bagi wartawan untuk memaksimalkan skill dan potensi diri. Artinya selain pengalaman dan jam terbang, wartawan selalu di tuntut untuk update segala informasi, khususnya dengan bidang pos yang ia geluti.
Wartawan kemudian harus mengerti keseluruhan informasi walau hanya sekilas dan tidak mendalam. Hal ini menjadi patokan seorang wartawan untuk melakukan progres dan  perkembangan diri pada kualitas karya jurnalistik yang lebih baik. Tentunya hal itu lagi-lagi tidak terlepas dari kedisiplinan wartawan dalam menerapkan metode peliputan, di antaranya melakukan cover both side.
Lebih jauh, ilmu pengetahuan yang dimiliki wartawan juga mampu mendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap isu-isu sensitif di tengah-tengah khususnya yang menyangkut masyarakat banyak. Ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan pers di tanah air. Pers dan pergerakan pers selalu menjadi ujung tombak setiap transisi pemegang kekuasaan.
Pergerakan poros-poros hilir masyarakat dalam menginginkan kemerdekaan tidak terlepas dari sokongan wacana 'merdeka' yang menggaung di atas tinta para wartawan. Lengsernya Soekarno, Soeharto, lepasnya timor-timur, hingga era demokrasi liberal tidak sejengkal pun jauh dari peran serta pers Indonesia.
Melihat semua itu, tentu menjadi catatan bagi generasi kami bahwa jurnalisme selalu memegang kunci gerbang setiap masa. jurnalisme selalu menjadi garda terdepan sebuah perubahan. Tentu menyadari akan hal itu, wartawan dituntut untuk benar-benar memahami dirinya sebagai seorang pekerja pers. Kepada siapa ia bekerja? untuk apa ia bekerja? dan bagaimana ia bekerja?
Pada suatu kali melakukan wawancara dengan salah satu mantan kepala dinas peternakan Jawa Timur, saya mendapat pernyataan yang menohok diri saya secara pribadi. Saya seolah telanjang sambil berapi-api membopong kebodohan. Betapa tidak, paska melakukan proses wawancara panjang lebar hingga  mengetahui riwayat karir hingga kesehatannya, beliau menohok dengan pernyataan bahwa saya belum sama sekali bisa dikatakan sebagai wartawan.
"Pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan sejak tadi hingga saat ini tidak ada yang berbobot. Anda tidak mampu menggiring saya pada potensi jawaban yang anda ingingkan. Karena apa? karena anda tidak menguasai  apa yang anda bicarakan, dan anda tidak membatasi sebuah permasalahan. tentu saja masalah anggaran dan populasi itu jauh berbeda, dan tidak bisa dipertemukan," tohok beliau membuat saya terperanjat kaget.
Dari kalimat-demi kalimat yang terlontar dari beliau seolah menginterpretasi diri saya selama ini. Kekagetan saya, bukan karena mengapa beliau berani menohok saya, tapi apa ini adalah akumulasi kekurangan saya yang belum pernah terkoreksi?
Dengan pernyataan tersebut, juga menggaris-bawahi apakah hasil dari seluruh liputan dan naskah-naskah berita yang saya tulis tersebut adalah obyektif. Obyektif yang berdasar pada realitas sumber ilmu pengetahuan, atau jangan-jangan semua hasil peliputan tersebut hanya gambaran dari kedangkalan saya berpikir?
Pada titik ini juga menjadi titik penyadaran bagi saya akan pentingnya ilmu pengetahuan. Seperti yang dikatakan Sariban kepada saya, "tanpa membaca kamu tidak akan bisa menuliskan apa-apa," ingatnya. Pentingnya membaca menjadi catatan penting sebagai implementasi dari proses memperkaya diri sebanyak-banyaknya. Wartawan memerlukan segala informasi untuk menunjang tulisannya agar berbobot.
Selain itu, seperti yang pernah ditulis oleh Bill Kovach tentang sembilan elemen jurnalisme akan pentingnya menuliskan kebenaran. Memang kebenaran dalam jurnalisme selalu berakhir pada subjektifitas masing-masing wartawan. Akan tetapi, perlu diperjelas bahwa wartawan juga tidak bisa menulis apapun tanpa dapat melhat dan mendapat kebenaran fakta itu sendiri.

Barulah pada akhirnya, wartawan selalu dituntut untuk mawas diri dan bercermin bahwa apapun dan segala kerja keras yang dilakukan wartawan bukan untuk memperbesar korporasi media massanya. Melainkan perwujudan dari loyalitas wartawan kepada masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate