Rabu, 07 Januari 2015

Tahun Ini, Ekspor Tekstil Indonesia akan Rajai ASEAN



tempo.co

Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang kalah dengan sejumlah negara di ASEAN seperti India dan Singapura, namun di beberapa sektor ekonomi Indonesia memiliki peluang yang lebar dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 mendatang.

Ini jika melihat pertumbuhan industri tekstil di Indonesia, yang mengalami peningkatan signifikan. Pasalnya industri tekstil saat ini membuka peluang pada ekspor tekstil Indonesia yang akan merajai tingkat ASEAN.

Ini dibuktikan dengan nilai ekspor tekstil dari tahun ke tahun yang menunjukkan sintemen positif. Dari catatan Kementerian Perindustrian RI dan Enciety Business and Consult tahun 2014 saja, total nilai ekspor tekstil Indonesia pada 2012 mencapai USD 12,4 miliar.

Pada tahun yang sama nilai impor tekstil hanya USD 6,8 miliar saja. Artinya industri tekstil Indonesia sudah mampu menopang kebutuhan tekstil di dunia.

Tren ekspor tekstil ini juga terlihat stabil pada tahun-tahun berikutnya. Pasalnya pada 2013 lalu, total nilai ekspor Indonesia meningkat tipis dibanding tahun lalu, dengan perolehan nilai USD 12,6 miliar.

Namun, jika ditinjau dengan masuknya barang impor tekstil, maka ini mengalami penurunan. Karena kebutuhan impor tekstil pada 2013 mengalami peningkatan menjadi USD 7,1 miliar.

Artinya banyak kebutuhan pokok khususnya sandang dan pangan masih banyak bergantung dengan negara lain. Ini sangat mengkhawatirkan, mengingat kran pasar bebas pada 1 Januari 2015 akan resmi dibuka. Semua perdagangan akan keluar-masuk Indonesia secara bebas.

Jika sumber daya tidak disiapkan secara maksimal, khususnya pada peluang ekspor tekstil maka bisa dimungkinkan kebutuhan tekstil Indonesia juga akan ditopang negara lain. Hal ini tentunya membutuhkan peran semua pihak untuk bersinergi mengola sumber daya yang ada untuk menghadapi pasar bebas ASEAN.

Meskipun begitu, sentimen positif terhadap peluang menjadi pemasok tekstil di tingkat ASEAN masih terbuka lebar. Pasalnya, dalam kurun waktu tiga bulan saja yakni Januari hingga Maret nilai ekspor tekstil Indonesia mencapai USD 3,1 miliar. Sedangkan untuk impor tekstil pada kurun waktu yang sama hanya USD 1,6 miliar saja.

Tentunya untuk mendukung kesiapan menghadapi MEA 2015 mendatang, Indonesia juga memerlukan pematangan kualitas dan kuantitas produksi. Untuk mewujudkan itu, pemerintah juga harus mendorong industri mulai dari besar hingga kecil untuk berani melakukan terobosan-terobosan pasar.

Pasalnya dari sumber Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur saja, meski jumlah industri Mikro, Menengah, hingga besar mengalami peningkatan yang signifikan tapi ternyata masih banyak industri kecil yang gulung tikar.

Dari catatan BPS pada 2014 dapat dilihat, jumlah unit usaha industri kecil mengalami penurunan dari 119.811 unit usaha pada 2011, menjadi 73.317 unit usaha saja pada 2012. Artinya terdapat penurunan yang signifikan dalam kurun waktu satu tahun tersebut.

Di satu sisi, untuk industri besar mengalami peningkatan dari 5.777 pada 2011 menjadi 5.865 unit usaha pada 2012. Sedangkan untuk industri Mikro dan menengah mengalami peningkatan lebih dari 20 ribu unit usaha. Pasalnya pada 2011 tercatat hanya 905.385 unit usaha saja, namun pada 2012 melonjak drastis menjadi 922.967 unit usaha.

Meski secara umum jumlah indutri mengalami peningkatan yang signifikan. Perlu diwaspadai adanya kesenjangan sosial yang tinggi. Pasalnya jika melihat keganasan pasar bebas, bisa dimungkinkan para pelaku industri kecil turut gulung tikar dan hanya menjadi mayarakat konsumtif saja. Atau dalam istilahnya hanya menjadi penonton tanpa ikut berlaga.


Selasa, 06 Januari 2015

Hobi Booking dan Transaksional Anggota Dewan


blogspot

Stigma buruk masyarakat terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan sekedar isapan jempol belaka. Stigma tersebut melekat di dinding memori otak masyarakat seolah-olah akan menjadi notifikasi dan pengingat jika suatu saat didapati salah satu oknum anggota kedapatan korupsi maupun melanggar etika.

Paradigma masyarakat ini terbentuk jauh sebelum Orde Baru dilahirkan. Sejak era orde Lama, Orde Baru, maupun reformasi, hingga Demokrasi sampai saat ini berjalan, stigma itu yang terus melekat pada masyarakat. Ini yang kemudian membuat masyarakat antipati dan cenderung pasif dalam berdemokrasi.

Jauh dari itu, sebelum membicarakan pemaknaan demokrasi saat ini, pemahaman tentang fungsi dan peran DPR terhadap masyarakat juga perlu dilakukan. Menghilangkan paradigma bahwa anggota DPR itu koruptor, tikus kantor, suka transaksional, hedonis, atau lain sebagainya perlu dilakukan. Ini yang luput dari Benjamin Franklin bahwa revolusi tidak sekedar menggerakkan rakyat, melainkan harus menggerakkan birokrasi ke hal yang lebih baik.

Seperti yang dikatakan Pakar Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Kresnayana Yahya bahwa untuk memantapkan proses berdemokrasi masyarakat dan terwujudnya ekonomi yang mandiri, masyarakat perlu dididik untuk terhindar dari proses birokrasi yang transaksional. Transformasi diperlukan dari transaksional ke hal yang produktif. Artinya apa yang dikatakan Kresnayana ini adalah upaya untuk menghapus stigma birokrasi yang berbelit dan transaksional ke percepatan pembangunan untuk hal yang lebih produktif.

Ini mengapa terjadi pergolakan, khususnya selama sepuluh tahun terakhir di Thailand. Gelombang gerakan terus bergerilya dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, dan dari pemimpin satu ke pemimpin lainnya. Dapat kita baca, karena people power yang dimiliki oleh Thailand tidak digunakan untuk membawa bangsa dan negaranya dalam memenuhi sistem neggara yang kondusif.

Artinya, perpecahan dan gerakan yang terjadi terus ditunggangi dari pemimpin satu dengan yang lainnya atas dasar transaksional semata. Setelah people power bergerak, dari massa yang segitu banyaknya dapat mengguncangkan Thailand ternyata tidak dikondisikan untuk membuat struktur negara yang baik. Begitu juga yang terjadi di Indonesia pada 1998. Sampai saat ini, peran dan fungsi DPR belum dimanifestasikan sebagai kekuatan people power dan hanya sebagai kekuatan kelompok dan golongan untuk kepentingan dan transaksional.

*****

Konsep ini mungkin terlalu berlebihan untuk kita dengar, tapi inilah yang kita lakukan sampai sekarang. Budaya transaksional. Saya perkecil gambaran menjadi yang lebih sederhana lagi. Ini bukan tentang konsep, melainkan tentang bagaimana kehidupan seorang anggota dewan dan masyarakat yang transaksional. Saya tidak menunjukkan contoh ini menjadi sterotip tentang anggota dewan, tapi inilah yang saya ketahui tentang mereka.

Di suatu malam, dalam perjamuan seorang teman sekantor yang sedang meramaikan hajatan anaknya yang dikhitan ada diskusi kecil yang menarik. Di rumah teman saya itu saya berjumpa dengan banyak rekanan yang baru saya kenal. Teman saya mengundang banyak koleganya.

Karena dia adalah seorang jurnalis senior tentunya banyak koleganya yang ia undang. Salah satunya yang saya lihat waktu itu Ketua DPRD dari salah satu kota di Indonesia. Kemudian lainnya, anggota DPRD, pengusaha, wartawan senior, dan saya jurnalis muda. Saya katakan jurnalis muda, karena saya terlihat lebih muda dibanding dengan para tamu yang menghadiri hajatan rekan saya tersebut juga saya minim pengalaman dibanding mereka.

Sekitar jam 16.00 WIB saya sudah merapat (datang ke rumahnya) untuk membantu rekan saya mempersiapkan segala sesuatu. Karena tempat itu rumah baru dan keluarganya belum diajak pindahan, tentunya saya juga ikut menyingsingkan lengan membantu. Mulai dari angkat-angkat kursi, membeli makanan, hingga membuatkan kopi untuk para tamunya. Maklum karena saya rekan kerjanya yang paling junior. Terlebih kami sangat akrab dan dia baik kepada saya.

Sebelum perbincangan dimulai, saya mempersiapkannya dengan membeli makanan dan kopi untuk persiapan begadang sampai pagi. Dan benar saja, belum magrib berkumandang salah satu rekan jurnalisnya juga rekan saya tiba di kompleks perumahan baru itu.

Setelah magrib tiba baru rekannya yang lain datang menyusul. Mereka seperti sahabat yang lama tidak bertemu dan di meja kecil itu suasana tampak mencair. Agar lebih mantap begadangnya, saya pun membuatkan kopi untuk menghangatkan diskusi.

Benar saja, mereka ternyata sudah sangat akrab. Saat itu hanya saya saja yang terlihat konyol berdiam dan hanya mendengarkan pembicaraan mereka, lalu ikut tertawa di saat momen lucu. Terkadang juga membahas problem-problem serius seperti cagar budaya, musik, dan lain sebagainya yang tidak saya pahami.

Waktu itu ada sekitar 12 orang yang hadir dalam hajatan sederhana tersebut. Mereka duduk melingkar di sofa panjang, kemudian sofa kecil, kursi lipat, dan tengahnya terdapat meja panjang dan kecil yang ditempati banyak kue, rokok, kopi, dan air mineral.

Dari 12 rekannya tersebut, saya melihat berbagai karakter dan sifat. Ada salah satu rekannya yang berapi-api ketika menceritakan sesuatu. Terlihat mimiknya sangat fasih bak aktor ulung ketika menceritakan pengalaman jurnalistiknya dari satu tokoh ke tokoh yang lainnya.

Dalam perbincangan tersebut, salah seoarang jurnalis senior menceritakan pengalamannya menjadi wartawan. Waktu itu ia sedang meliput kasus reklame dari salah satu perusahaan reklame terbesar di kota tersebut. Dengan berapi-api, pria yang belakangan menjadi pengusaha ini mengenang masa-masanya menjadi seorang jurnalis muda.

Sebagai jurnalis di harian lokal terbesar di kota tersebut, jurnalis itu menargetkan tulisannya akan masuk Adiwarta (Organisasi untuk memberi Penghargaan karya jurnalistik). Ia menargetkan dapat menjadi pemenang. Namun niatnya itu terganjal karena ada tawaran Rp 5 juta dari perusahaan reklame tersebut sebagai ganti untuk tidak meneruskan tulisannya.

Dia pun menolak, dengan alibi tulisannya dapat memenangkan Adiwarta senilai Rp 18 juta dan bisa ia gunakan untuk melunasi kredit rumahnya. Makanya dia menolak tawaran Rp 5 juta yang diberikan perusahaan reklame. Tapi mengenaskan baginya, karena perusahaan reklame justru mendatangi kantor Redaksi dan meminta Pemimpin Redaksinya (Pemred) untuk menghentikan pelaporan jurnalistik tersebut.

Alih-alih dapat duit Rp 18 juta, jurnalis senior itu mengenang bahwa ia hanya kaget dengan swa-sensor dari redaksinya sendiri. Namun belakangan ia menceritakan, tulisannya yang sudah ia muat ia kirimkan ke Adiwarta dan akhirnya ia mendapatkan hadiahnya.

Begitu perbincangan tampak sangat mengalir, satu sama lainnya menimpali pembicaraan dengan guyonan dan gelagat yang membuat perut terpingkal-pingkal. Sampai pada hal yang baru saya dengar dari kebiasaan anggota dewan. Salah satu ketua dewan yang hadir tersebut menceritakan pengalamannya membantu pramugari cantik dari salah satu maskapai terkenal di Indonesia.

Berhubung saat itu, sedang membicarakan jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, jadi perbincangan mengerucut ke bidang penerbangan. Banyak di antara orang tersebut berbagi pengalamannya tentang dunia penerbangan. Kecuali saya, karena saya tidak pernah naik pesawat.

Ketua dewan itu melanjutkan, bahwa suatu kali ada salah satu pramugari cantik yang baru ia kenal meminta bantuan karena pramugari tersebut terbelit masalah dengan perusahaan dan akan segera dikeluarkan. "Jangan khawatir, biar saya tangani," begitu katanya.

Ia pun menghubungi maskapai tempat pramugari tersebut bekerja. Niatnya adalah mengurungkan perusahaan yang akan memberhentikan pramugari tersebut. "Itu keponakan saya, kenapa harus resign, biar di situ saja. Kalau sampai keponakanku  dipecat, saya panggil maskapai kalian, bisa saya rekomendasikan dicabut," tegasnya menceritakan.

Akhir ceritanya pun, ketua dewan tersebut mengaku kalau perusahaan tersebut kecut dan mengurungkan niatnya untuk memberhentikan keponakan barunya itu. Suasana pun tampak riuh ketika, salah seorang rekan lainnya menimpali bahwa ketua dewan tersebut mendapatkan ke-enakan dari keponakan palsunya itu. "Kepenekan dhisik, lagek kepenakan (Memanjat di ranjang dulu, baru merasa enak)," sahut rekan lainnya dengan gelak tawa.

Dalam sekejap saya pun mengartikan bahwa ini yang disebut masyarakat bahwa anggota dewan ahli dalam bidang transaksional. Benar saja dengan ceritanya yang membabi-buta memanfaatkan jabatannya untuk kepentingannya sendiri.

Ketua dewan itu pun melanjutkan ceritanya lagi. Kali itu ceritanya semakin menjurus, tentang tema perempuan, transaksional, dan kepenaken (ke-enakan). Maklum saja, saat itu malam semakin larut, suasana juga mendukung dengan keintiman para sahabat lama yang baru bertemu.

Dia membeberkan tentang budaya jajan (istilah lain dari mencari hiburan malam dan perempuan). Di kalangan anggota dewan, ia membuka bahwa kegiatan jajan sudah menjadi hiburan lumrah bagi mereka untuk sekedar berfoya-foya. Bahkan tidak hanya anggota dewan laki-laki. Para anggota dewan perempuan pun doyan jajan dan tentunya secara berkala mereka menjadwalkan rutin untuk dugem.

Tidak sembarang tempat yang ia pakai untuk dugem. Para wakil rakyat tersebut mengaku pilih-pilih kalau mau memakai tempat hiburan malam. Ia mempertimbangkan bahwa hiburan malam harus high class dan special purelnya (perempuannya). Tapi tidak semua anggota dewan yang suka high class, ia menceritakan banyak anggota dewan yang memilih kelas premium. Khususnya bagi anggota dewan di daerah, diajak masuk tempat karaoke pinggiran saja sudah kegirangan.

Karena saking pengalamannya, bahkan ketua dewan tersebut bisa mengklasifikasikan selera anggota dewan di seluruh Indonesia. Maklum saja, ia sudah tiga periode menjadi anggota dewan dan sudah keliling di berbagai tempat hiburan di Indonesia.

Ia membedakan atas klasfikasi perkembangan sebuah wilayah. Jika anggota dewan tersebut dari sebuah kota besar terlebih DPR RI maknya tempat hiburannya dipastikan high class. Tapi jika anggota dewan daerah, maka tempat hiburannya kelas premium. "Masuk di hall hiburannya masyarakat ecek-ecek saja mereka sudah suka," ceritanya.

Diakuinya, aktivitas jajan ini sering ia lakukan bersama teman-temannya. Terlebih saat kunjungan kerja (kunker) di luar kota atau luar negeri. Sasaran utama para anggota dewan adalah tempat hiburan dan fasilitas hotelnya yang menarik. "Sekarang banyak perempuan yang pakai silikon pemancung hidung. Saya nggak suka. Saya lebih suka yang natural aja biar nggak rewel. Takutnya kalau saat disuruh ini-itu nanti hidungnya penyok kita juga yang susah."

Suatu kali saat ia sedang kunker di Thailand ia masuk di salah satu tempat hiburan terbesar di negara yang melegalkan prostitusi tersebut. Ketua dewan itu bersama rekannya sesama anggota dewan langsung saja masuk di lantai dua. Ia melihat semua orang berwajah cantik oriental. Tentunya sangat seksi bagi kebanyakan perempuan di Indonesia.

Sebelum transaksi para anggota dewan asal Indonesia itu pun memilih-pilih dan mengamati perempuan yang sesuai selera. Saat ia mencoba mengajak bicara para perempuan cantik tersebut, tidak ada yang menyahuti. Ia pun merasa aneh, kenapa enggan diajak bicara. Apa karena tidak mengerti dengan bahasa inggris.

Ia bersama rekannya pun mengamati lebih seksama lagi liuk tubuh perempuan cantik di tempat itu. Baru akhirnya ia sadar saat melihat salah seorang perempuan yang memiliki kaki berotot. "Ternyata di lantai dua itu khusus prostitusi kaum homo," akunya lalu disertai gelak tawa yang riuh.

Baru kemudian ia bertanya dan naik di lantai empat untuk menikmati perempuan tulen. Tapi justru sayangnya, perempuan tulen di Thailand kalah cantik dibanding perempuan jadi-jadian yang berotot kakinya. Suara gelak tawa pun kembali riuh karena, mucikari di tempat tersebut juga menawarkan perempuan luar negeri asal Indonesia. "Awalnya saya pikir luar negeri itu Eropa, lakok dari Indonesia. Itu tetap saja lokal bagi saya."

Tidak hanya menceritakan hobi mereka yang membudayakan jajan di kalangan anggota dewan, deal-deal transaksional juga sering dilakukannya untuk menambah pendapatan mereka. Seperti memanfaatkan pertikaian antara satu individu dengan yang lainnya. "Sekarang itu korupsi tidak hanya di negara, di gereja pun penuh korupsi dan bahkan orangnya salin bunuh untuk mendapatkan uang," bebernya.

Di salah satu gereja terbesar di kota tersebut, ketua dewan itu menceritakan bahwa ia dimintai tolong untuk mengusut kasus pertikaian antara ayah dan anak di perkumpulan pendeta. "Di situ jamaah gereja di akhir tahun kan biasa mendonasikan uang untuk gereja. Dan itu tidak ada audit. Ternyata dikorupsi oleh di anak pendeta. Tapi ayahnya marah-marah karena tidak dapat jatah tapi dituduh tersangka, akhirnya mereka salin membunuh. Saya dimintai tolong ya saya lihat saja mana yang menjanjikan surga (uang) mana yang tidak," entengnya.

Itu hanya salah satu contoh kecil yang ia tangani. Banyak contoh kasus lainnya yang saat itu tidak ia sebutkan. Tentunya sebagai pribadi, ia mengaku tidak mengambil pusing. Prinsipnya asal ada uang, ia jalan. Pastinya ini telah mengabaikan fungsi dewan sebagai wakil rakyat. Inilah contoh sederhananya tentang konsep transaksional demokrasi kita.

Tapi jangan lalu kita menyebut budaya jajan dan transaksional sebagai stereotip tentang jati diri wakil rakyat yang didanai APBN tersebut. Mungkin itu hanya sebatas oknum yang tidak harus kita sebutkan jati dirinya, tapi perlu kita ketahui untuk pembelajaran dan telaah bersama. Karena setiap profesi pasti ada oknum di baliknya. Asalkan tidak semuanya lalu beramai-ramai jadi oknum di balik meja.

Minggu, 04 Januari 2015

Mengunjungi Wisma Barbara, Ikon Eks Lokalisasi Dolly (3)

27 Pekerja Pemasok Sepatu Ardiles Belum Terima Bayaran
Puluhan ibu rumah tangga terdampak esk lokalisasi Dolly yang bergabung di KUB Mampu Jaya di bekas Wisma Barbara saat bekerja membuat sepatu olahraga untuk menyuplai kebutuhan Ardiles.
Semuanya telah berubah. Kemegahan Wisma Barbara yang menjadi ikon eks lokalissi Dolly kini telah sirna. Berganti dengan tempat teguh yang melahirkan banyak aktivitas kreatif dan inovatif yang bisa mendulang rupiah.
Saat ini, di lantai satu bekas wisma Barbara dijadikan tempat usaha warga. Seperti yang terlihat di KUB Mampu Jaya tersebut telah menampung puluhan warga terdampak eks lokalisasi Dolly untuk membuat sepatu.
Setiap hari, ada 27 ibu rumah tangga yang kerja di kawasan tersebut. Setelah mendapat bantuan 20 unit mesin jahit dari Disperindag Jawa Timur, para ibu-ibu tersebut bisa membuat seribu pasang sepatu setengah jadi dalam sebulan. Setelah itu, mereka kirimkan ke perusahaan Ardiles untuk masuk ke proses berikutnya.
“Ya seneng, Mas. Daripada nganggur di rumah kan lebih baik kerja. Tapi kerjanya ini borongan. Jadi ini kan ada KUB Mampu Jaya yang kelola,” aku Sabrina, salah seorang pekerja saat ditemui enciety.co di BLC Barbara.
Namun sayangnya, menurut Sabrina, selama lebih dari dua bulan telah mengirimkan seribu pasang sepatu, tapi 27 karyawan belum terima upah.
“Katanya sih digaji Rp 6 ribu per sepatu, tapi sampai saat ini kami belum dibayar sepeser pun. Ya akhirnya saya tidak bisa membantu suami untuk menambah penghasilan. Saya kalau makan gitu pulang ke rumah masing-masing, kan dekat dari rumah,” bebernya.
Selain Sabrina, juga ada ibu-ibu lain seperti Sutriyanti dan Ida yang mengeluh dengan terlambatnya pembayaran upah tersebut. Bahkan Sutriyanti meminta agar Disperindag Jatim membayarkan gaji mereka. “Kalau seperti ini terus ya nggak kuat, Mas,” tuturnya.
Di KUB Mampu Jaya tersebut, setiap hari ibu-ibu dapat mengasilkan puluhan pasang sepatu setengah jadi. Ada beberapa ibu-ibu diberi tugas menjahit sepatu, lainnya bertugas memberi lem sepatu, dan ibu lainnya bertugas mengemas sepatu untuk dikirimkan lagi ke perusahaan sepatu bola, Ardiless.
Sayangnya, saat dihubungi enciety.co, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Jatim Warno Harisasono belum memberikan tanggapan atas belum dibayarnya para ibu rumah tangga tersebut. Berulangkali dihubungi via telepon genggamnya tidak diangkat. SMS yang dikirim juga tidak dibalas.
Adanya temuan dari enciety.co puluhan pekerja Ardiles yang belum dibayar gajinya selama dua bulan oleh Ardiles ditanggapi serius Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Surabaya.
Kepala Disperdagin Surabaya Widodo Suryantoro mengaku akan segera mengubungi pihak Ardiles untuk membahas sistem kerja antara perusahaan dengan warga terdampak eks lokalisasi Dolly.
“Jadi gini, para pekerja yang ada di sana (warga eks Dolly yang tergabung KUB Mampu Jaya), dulu BPIP (Bantuan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan) itu melatih mereka dengan harapan mereka dapat pekerjaan yang sudah ada. Pabrik sepatu (Ardiles) yang membutuhkan tenaga ini kebetulan teman-teman yang terdampak sudah dilatih, kemudian dengan harapan mereka akan dapat dari pelatihan begitu,” kata Widodo.
Dikatakan Widodo, harusnya warga yang bekerja di koperasi Mampu Jaya tersebut mendapatkan gaji sesuai dengan jumlah pasang sepatu yang sudah diproduksi warga. Setelah dikirim, harusnya warga mendapatkan upah. Tapi sementara ini siapa yang nantinya akan menggaji para warga terdampak tersebut masih belum jelas.
“Memang di sana hasilnya (gaji) itu adalah besarnya jumlah sepatu yang bisa diproduksi. Di situ baru dia bisa dapat uang setelah dikirim ke pabrik. Karena semuanya fasilitasnya dari Kementerian BPIP kita hanya menyiapkan orangnya dan tempatnya juga. Kalau mesin jahit, termasuk gaji mereka (perusahaan),” bebernya.
Pihak Pemkot Surabaya sendiri tidak tahu menahu terkait gaji yang belum dibayarkan selama dua bulan tersebut. Tapi kata Widodo pihaknya terus memantau melalui kelurahan.
“Pemkot tidak bisa menggaji karena tahun ini berakhir anggarannya. Selain itu, yang diuntungkan dari produksi sepatu juga pihak perusahaan. Makanya kalau pekerja nanti kita gaji sementara yang menggunakan ardiles kan gimana. Makanya kita masih cari formulasinya, apa saja yang memungkinkan,” tuturnya.
Dalam waktu dekat ini, atau di minggu awal tahun depan, Widodo akan menemui pihak PT Ardiles Ciptawijaya untuk membicarakan formulasi gaji untuk KUB Mampu Jaya. Pihaknya juga memastikan bahwa, tunggakan gaji selama dua bulan ini akan dikoordinasikan dan memastikan bahwa 27 warga yang bekerja mendapatkan upahnya.
“Ini kita dalam waktu yang tidak terlalu lama kami akan bertemu dengan pihak Ardiles untuk mencari solusi ini, kalau ada hambatan. Awal Januari kami masih menghubungi. Termasuk gaji dua bulan terakhir itu sudah pasti akan digaji. Karena itu borongan mereka dapat sekian ribu pasang sepatu terus dikali sekian rupiah, pasti digaji. Cuma nunggu pembicaraan, nanti ke depannya kita formalisakan seperti apa,” imbuhnya.
Sementara itu, pihak Ardiles saat dihubungienciety.co melalui nomor perusahaan yang tertera di dalam website tidak kunjung menjawab telepon. Telepon yang dihubungi selalu sibuk. (diterbitkan encietymco/habis)

Mengunjungi Wisma Barbara, Ikon Eks Lokalisasi Dolly (2)

Rencana Membangun Bar dan Kolam VIP pun Berantakan
Bekas ruang VIP di lantai 6 Wisma Barbara yang dulunya digunakan untuk bar kalangan atas, kini porak poranda.
Tidaklah mudah mengentas para mantan pekerja seks komersial (PSK) untuk bangkit dari jurang kenistaan. Apalagi, mereka harus dihadapkan pada dunia baru: berwirausaha. Selain butuh kerja keras, mental pantang menyerah juga perlu dibangun agar mereka tak mudah putus asa.
Kenyataan itulah yang kini dihadapi para mantan PSK Dolly. Dula buulan setelah mengikuti program pelatihan di Broadband Learning Center (BLC) Barbara, jumlah para mantan PSK yang belajar terus berkurang. Dari 50 orang kini tinggal 20 orang saja. Sebaliknya, jumlah warga sekitar yang termasuk anak-anak mantan PSK terus bertambah.
“Bahkan pada bulan ini sudah tidak ada lagi mantan PSK belajar di sini. Entah kenapa, yang jelas saat ini didominasi ibu rumah tangga yang ingin belajar memasarkan produk UKM-nya (Usaha Kecil Menengah),” aku Kardiansyah, salah seorang instruktur BLC Barbara.
Di BLC Barbara Kardiansah berkeja bareng satu instruktur lagi, namanya Mediar. Keduanya dari Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Surabaya.
Saat ini, di BLC Barbara ada 110 warga yang dibina Kardiansyah bersama Mediar. Karena hanya ada 9 unit komputer, banyak warga yang harus antre belajar di tempat tersebut. “Kami ada 22 kali pertemuan selama 3 bulan. Setiap program mereka diajari office, desain sepatu, dan internet,” tutur Kardiansyah.
Anak-anak di kawasan Putat Jaya Timur memang sangat menikmati belajar di BLC Barbara. Mereka terlihat cekatan membuka berbagai aplikasi di dalam komputer tanpa menunggu aba-aba dari instruktur. Anak-anak dari keluarga terdampak eks lokalisasi Dolly ini pun tampak semangat menikmati waktu berlibur sembari belajar komputer gratis.
Seperti halnya Bunga (nama samaran), anak seorang PSK. Ia kini sudah terampil punya akunfacebook. Pada kesempatan itu ia mengonfirmasi beberapa permintaan pertemanan dalam facebook, lalu mengomentari sejumlah status milik temannya. Anak-anak dari mantan PSK itu juga terlihat membuka program Office Excel.
“Di sekolah saya tidak pernah belajar komputer, karena di sekolah tidak ada fasilitas komputer. Di rumah juga tidak ada. Jadi belajarnya di sini. Di rumah saya tinggal dengan tante, ibu saya tinggal di gang sebelah,” akunya.
Rencana Membangun Bar dan Kolam VIP pun Berantakan
Petugas Linmas, Agus Purwanto saat menunjukkan lokasi pembangunan kolam renang di lantai 6 Wisma Barbara yang gagal dibangun setelah Pemkot Surabaya menutup Dolly.
Bunga mengaku risih dengan lingkungan sekitar Dolly saat belum ditutup. Apalagi menjelang Tahun Baru seperti saat ini. Hampir setiap malam dilihatnya ada sebuah pesta besar di seluruh wisma. Namun keadaan itu berbeda dengan sekarang yang tampak sepi dan sewajarnya seperti pada umumnya sebuah kampung.
Novia Ayu Saputri (15), warga Putat Jaya Timur, juga merasakan hal serupa. Ia kerap risih dengan datangnya para pria hidung belang ke kampungnya. Bahkan ia hampir setiap hari melihat pria keluar-masuk wisma dalam keadaan mabuk, begitu pun dengan para PSK. Hal yang tidak sepatutnya dilihat oleh seorang anak-anak.
“Bapak saya dulu itu jadi satpam di Dolly, sedangkan ibu jualan kue keliling kampung. Sekarang bapak jadi petugas Linmas di Pemkot Surabaya dan ibu masih jualan kue,” akunya.
Novia pun mengaku senang akhirnya Dolly ditutup. Apalagi sekarang ia bisa belajar gratis di BLC Barbara. Dulu, ia menganggap Wisma Barbara paling menyeramkan. Tapi sekarang keadaannya berbeda. Novia tidak membayangkan bisa melihat wisma terbesar di Dolly tersebut tutup seketika dan diganti dengan BLC Barbara.
Sama halnya dengan Petugas Linmas BLC Barbara, Agus Purwanto, yang dulunya sebagai penjaga keamanan di Wisma Barbara. Ia tidak menyangka Sakak (pemilik Wisma Barbara dulu) dapat dikalahkan oleh Wali Kota Surabaya. Ini karena diakui Agus, pihak Sakak dikabarkan telah menyuap oknum pejabat mulai dari kalangan militer, kepolisian, hingga pejabat pemerintahan untuk menghentikan langkah Risma menutup Dolly.
“Dulu, Wisma Barbara ini kan masih rumah kecil. Terus Pak Sakak membangun dua rumah wisma menjadi satu dan dibangun gedung lima lantai. Bahkan ada liftnya juga,” katanya.
Menurutnya, Sakak telah menambah jumlah okupansi operasional Wisma Barbara. Di antaranya membangun lantai keenam menjadi bar dan kolam renang untuk pelanggan kelas VIP. Di bar khusus VIP tersebut terdapat aquarium yang memajang wanita-wanita cantik dengan harga mahal. Di Bar tersebut ada berbagai minuman keras dari berbagai merek kelas dunia.
“Tapi setelah Dolly ditutup, wisma Barbara juga ikut ditutup. Bahkan pembangunan kolam renang dibatalkan,” tuturnya.
Diceritakan Agus, saat ini di lantai satu gedung enam lantai tersebut digunakan untuk pelatihan komputer di BLC dan tempat produksi sepatu yang diberi nama Koperasi Untuk Bersama (KUB) produksi sepatu. Padahal dulunya, ungkap Agus, tempat tersebut adalah aquarium atau ruang tunggu bagi pelanggan.
Sedangkan di lantai dua hingga lima ada puluhan deretan kamar. Di masing-masing lantai gedung tersebut ada sekitar 35 kamar. Di setiap kamar ada sebuah ranjang dari batu bata dan diberi alas papan triplek kemudian diberi alas kasur. Di sudut ruangan kamar terdapat tempat yang mirip kamar mandi yang kecil dengan shower menggelantung. Lalu dindingnya banyak bertempelkan poster model panas tahun 80-an dari artis dalam negeri maupun luar negeri.
“Sekarang ya jadi gini, masih dikosongkan oleh Pemkot Surabaya. Sudah tidak pernah dipakai lagi,” ceritanya.
Di lorong sempit yang membelah masing-masing kamar di gedung tersebut terlihat seperti sebuah bangsal. Setiap kamar terlihat kotor, dipenuhi sampah berserakan.
Di lantai ketiga, empat, dan lima juga demikian, sangat kotor dan gelap. Agus bercerita, selepas tidak digunakan sebagai tempat prostitusi ada hal-hal mistis yang dialaminya. “Teman saya bercerita saat jaga malam ada perempuan di sini,” katanya.
Masuk di lantai enam, kata Agus, dulu adalah tempat para pejabat elit yang dikenalnya sering datang ke Wisma Barbara. Namun saat ini, di lantai enam hanya ada tumpukan sampah mulai dari baju bekas, sofa panjang bewarna merah muda, etalase bar, dan sepatu perempuan. Tidak ada denyut kehidupan di kawasan tersebut seperti saat sebelum Dolly ditutup. (diterbitkan enciety/bersambung)

Translate