Selasa, 28 Juli 2020

KAMU



Aku ingin berbisik;
Sembunyilah, di gelap hening selimut, bersamaku
Tak ada yang perlu tahu, aku mendekapmu
Saling menjepit menopang paha
Beradu mata
Menyesap
Sunyi.

Tak ada yang bisa kukatakan
Aku ingin lebih lama
Diam, sekadar menatapmu
Mendengar nafas,
atau hanya tidur di ketiakmu
Aku rindu.

Keadaan ini fana
Ketiadaan bakal abadi
Aku ingin disergapmu
Seperti gelap hening selimut
Kemudian lenyap.

JAKARTA, 28 Juli 2020

RAKUS


Andai aku menemukan kata,
yang bisa membantuku lari
Aku merasa masih berjalan di bekas tapak
Berputar-putar, melamunkan tujuan
Berharap, entah pada terserah
Aku belum tentu sanggup menghadapi.

Sore ini aku menginginkan semilir angin membius
Kemarin lusa aku berharap bisa menulis,
Aku berhasrat, lalu
Tempo hari aku menghapus hasrat,
menumpuk dengan kerakusan baru
Aku merasa rakus
Lebih serakah ketimbang hama.

Tak kutahu, kenapa tak ada satu pun,
yang tuntas?
Semua cerita masih koma, tanpa penerang.
Aku berputar-putar, kembali
Berlari tak beranjak, diam kehilangan hening.

JAKARTA, 28 Juli 2020

Kamis, 18 Januari 2018

Surat untuk Putri





Putri, saya sering bertanya pada bapak saya, kenapa Irma, adik kedua, tidak berangkat kuliah sendiri saja? Kenapa ia juga masih tinggal di asrama pesantren, bukankah dia mahasiswa? Kenapa dia harus belajar masak? Kenapa dia tidak ikut organisasi kampus? Kenapa dia tidak nakal seperti saya? Kenapa dia tidak bawa motor sendiri ke kampus? Saya bilang padanya, padahal Irma punya hak yang sama seperti yang pernah saya lakukan. Bapak biasanya orasi agama, panjang-lebar membawa nama-nama lapisan surga dan neraka.

Semalam saya mendengar kajian filsafat Betty Friedan, seorang pemikir feminisme Amerika di masa pertengahan abad 20. Pikiran-pikirannya sangat berdampak serius pada kesetaraan gender peradaban dunia, masa kini. Dia orang yang setelah Simone, menuntut keras adanya kesetaraan gender di semua aspek kehidupan. Keterlibatan perempuan dalam politik, sosial, pembangunan negara, dan dalam segala aspek lain. Barangkali pikiran itu sudah populer, dan sekarang kita sepakat akan hal itu.

Tapi sebenarnya saya merasa gagal menyampaikan itu pada bapak. Dogma yang mengakar di keluarga itu lebih kuat ketimbang sekadar bertanya pada Tuhan. Bahkan di antara kami, sudah tak sadar bahwa masing-masing sedang menindas hak-haknya sebagai manusia. Ini bukan kesalahan bapak saya, juga adik-adik saya. Ini adalah bentukan struktur patriarki yang memiliki kesamaan pola di negara manapun itu.

Mari saya tunjukkan bagaimana keluarga saling menjerat untuk menindas, atas nama agama. Pikiran-pikiran tentang anak perempuan dalam Islam sebenarnya sudah diatur dalam fiqih dan hadits dalam mahdzab Maliki. Bahwa sebelum gadis dipinang orang, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua. Berbeda dengan laki-laki, bukan lagi menjadi tanggung jawab orangtua ketika masuk baligh. Pengetahuan ini sudah umum di budaya islam dan diajarkan banyak ulama di desa-desa. Ini satu hal yang juga sering dikritik oleh Siti Mernissi, pemikir feminisme Islam.

Makanya lazim jika bapak bersikukuh untuk mengantarkan adik saya kemanapun. Entah itu bepergian ke kota, beli buku, daftar kuliah, berangkat ke asrama kampusnya, atau dijemput ketika pulang ke rumah. Saya tanya, seberapa yakin bisa menjaga anakmu? Dia menjawab akan terus menjaganya, mencegah dari kenakalan dan kegelapan dunia, sampai ia bertemu suaminya. Saya bilang padanya bahwa anak itu bukan dimasukkan kandang dan diberi makan seperti ternak. Anak itu harus diberi kepercayaan dan kebebasan berpikir merdeka. Sudah lumrah dia marah, ketika saya bicara seperti itu. Biasanya ngambek dua tiga hari.

Jadi apa gunanya dia terdidik tapi jika tak diajarkan untuk berpikir kritis? Apa gunanya dia kuliah tapi tak tahu metode berpikir? Saya bicara juga dengan Irma dan Emak mengenai ini. Mereka tak sepenuhnya menolak atau juga tak terlalu setuju dengan perlakuan seperti itu. Barangkali mereka sendiri tak saling sadar sedang menindas dan tertindas. Laki-laki dan perempuan memang dianggap berbeda jenis, bukan hanya dalam hal sexualitas, tapi juga perilaku dan bahkan identitasnya. Padahal setahu saya, keadilan dan kesetaraan tidak mengenal jenis kelamin.

Musuh kita adalah pandangan perempuan dan laki-laki yang masih berpikir seperti ini. Banyak perempuan terdidik tapi sedikit yang memiliki intelektualitas. Karena masih banyak juga perempuan yang menganggap bahwa dirinya harus bisa mengerjakan hal-hal yang disebut ciri identitas perempuan. Mereka melestarikan hegemoni perempuan pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga, memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, berdandan, sexy, sopan-santun, mendidik anak, sosialita, dan segala macam lainnya. Apa hidup perempuan hanya untuk ini?

Makanya, terus terang saya sarankan, kamu juga tak perlu khawatir gendut, resah disebut berantakan, tak cantik lagi, atau sudah tak menggemaskan seperti anak perempuan. Tak usah khawatirkan semua itu. Sebab yang mencitrakan perempuan harus dandan, harus cantik, harus sexy, adalah laki-laki. Para lelaki yang mengonstruksikan gender bahwa perempuan harus begini dan begitu. Maka sudah saatnya enyahkan semua itu. Lakukan banyak hal sesukamu dan senyaman-nyamannya hidup.

Sudah sejak sebelum masa penjajahan, perempuan ditempatkan sebagai pelengkap lelaki. Perempuan sering tak sadar, apa yang ia lakukan hanya untuk menyenangkan laki-laki. Apalagi laki-laki, mereka sering mementingkan dirinya sendiri. Mengonstruksikan peradaban atas pandangannya sendiri. Coba kita amati industri film porno hanya dibuat untuk laki-laki. Apakah perempuan tak punya berahi? Apa perempuan sudah terkebiri? Apa perempuan sudah tak membutuhkan pornografi? Jika seperti itu, betapa membosankan hidup menjadi perempuan dan betapa enaknya menjadi laki-laki.

Sadar atau tidak, budaya ini menciptakan superioritas laki-laki yang menempatkan perempuan sebagai kaum inferior. Pada akhirnya perempuan sebagai makhluk yang harus dipimpin dalam segala hal oleh laki-laki. Masalah terus terjadi dan terus lestari karena semua rumah tangga menerapkan hal serupa. Bahkan mereka tak sadar itu adalah sebuah masalah penindasan hak manusia.

Pria didikotomi sebagai pemimpin pengambil segala kebijakan, dan perempuan menurutinya. Tidak heran iklan mobil yang ditampilkan perempuan sexy, kerena marketing tahu, dalam rumah tangga yang berperan memutuskan untuk membeli mobil atau tidak, sebagian besar adalah laki-laki. Itu adalah narasi besar diskriminasi gender, kesepakatan masyarakat yang tak perlu diterapkan. Bahkan mungkin sudah tak layak. Kita punya nilai-nilai sendiri yang sedang kita rajut.

Hak perempuan sama dengan laki-laki. Sama-sama memiliki insting, logika, dan perasaan. Ketiga hal itu adalah bawaan manusia, bersifat kodrati. Manusia berhak melakukan apapun. Perempuan boleh menjadi jagoan dan laki-laki juga diperkenankan menangis. Coba kita kenang masa kecil masing-masing. Semasa sekolah dasar anak perempuan biasanya teguh memilih cita-cita. Namun lama-kelamaan cita-cita itu memudar bahkan hilang ditelan budaya patriarki.

Putri, entah seperti apa kita. Sejauh ini yang bisa saya bayangkan, kita adalah partner hidup. Tumbuh dan barangkali mati bersama. Kamu boleh memilih bekerja atau tidak, tapi kamu wajib memperjuangkan impianmu. Berkarya adalah hak setiap manusia, satu-satunya hal yang bisa kita nilai dan banggakan.

Jakarta, 16 Januari 2018
Avit Hidayat

Sabtu, 06 Januari 2018

Surat Terima Kasih untuk Putu

Saya takjub dengan keberanian Putu Wijaya menulis essay tentang Ratu Rumah Tangga. Essay yang ia tulis pada 1997 atau ketika usia saya baru tujuh tahun. Tulisannya tetap kritis dengan cara menonjok pikiran. Mengajak pembaca untuk membelalak sejenak. Memikirkan ulang segala hal. Termasuk dalam hal definisi rumah tangga, yang sekian abad termanifestasikan atas budaya patriarki. Meski memang, ia sesungguhnya tak benar-benar menyepakatinya.

Sebagai lelaki, dengan budaya dicokok apa yang disebut kodrat lelaki, Putu menyindir para perempuan yang keluar rumah. Tapi toh ia tak berani terang-terangan meminta istrinya untuk berhenti berkarir. Lebih tepatnya karena gengsi disebut pria kuno. Kekhawatirannya adalah perselingkuhan dengan teman sekerja. Kata dia, ini sudah menjadi tendensi atas konsekuensi logis yang harus dimaafkan, nantinya suatu ketika jika terjadi. Beruntung ia, karena istrinya memahami kecemasan itu. Tak sampai dua tahun bekerja, istrinya balik dengan sebutan ratu rumah tangga. Tentu dengan alasan-alasan lain yang bisa disebut masuk akal bagi mereka berdua.

"Karir seperti beringas di depan rumah tangga, dalam hidup seorang wanita Indonesia. Sebaliknya, rumah tangga menjadi berantakan di samping karir dalam pandangan seorang pria Indonesia," kata dia mengawali tulisannya. "Tatanan perempuan dan lelaki sedang berubah di negeri ini. Dalam proses penemuan nilai-nilai baru, akan banyak yang harus diderita."

Pada bagian paragraf awal hingga pertengahan tulisannya, Putu bahkan menyeret cara hidup ibunya di desa, yang katanya bahagia. Kata bahagia muncul dari mulut ibunya, sekaligus dari pengalamannya mengajak sang ibu berpetualang menjadi orang urban, sepertinya. Tapi tak berhasil. Ibunya punya konsep kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan bagi ibunya, disebutkan Putu, adalah mengabdi pada pekerjaan rumah tangga. "Urusan bersenang-senang adalah urusan lelaki, mempertahankan semua pada tempatnya, cukup membuatnya bahagia."

Hal yang sama juga mungkin terjadi pada ibu saya. Seorang ratu rumah tangga, yang mengabdi untuk suaminya. Tapi kenyataannya tak benar-benar seperti itu. Saya kira ada hal yang salah dengan dikotomi karir. Karir dimanifestasikan merantau ke ibu kota atau bahkan mancanegara. Bekerja di perkantoran, kuliah di tempat yang jauh, dan kalau perlu eksistensi didapat dengan menjelajah waktu. Tidak sesederhana itu.

Ibu saya masih menjadi apa yang disebut Putu sebagai ratu rumah tangga. Tapi ia tak pernah melepaskan karirnya. Meski dengan cara sederhana. Ibu saya mengaktualisasikan karir dengan bekerja secara sosial. Karirnya dimulai menjadi ibu-ibu PKK di kampung, lalu mengurus posyandu, menjadi petugas sensus penduduk, atau pejabat paling rendah di tingkat desa. Memang bukanlah hal mewah jika dibandingkan dengan jabatan di partai politik, atau jadi wanita karir di perkantoran. Ibu saya mengaku bahagia menjalani karir sosialnya. Sekarang, ia menjabat sebagai juru mandi jenazah perempuan.

Dia juga masih bekerja di sawah, sebagai petani cabai. Meski tak bersinggungan dengan ilmu pengetahuan secara langsung, tapi ia riset secara otodidak cara bercocok tanam paling efektif. Memang tak semudah ketika kita belajar di bangku fakultas pertanian. Cukup membaca buku, berkecimpung peluh di laboratorium, dan terciptalah tanaman cabai varietas baru. Setidak-tidaknya, saya menganggap ibu tetap wanita karir. Itu satu hal lain yang perlu digarisbawahi.

Tidak semua perempuan suka bekerja, mengejar cita-cita, menuntaskan dirinya. Banyak yang merasa tercukupkan hanya dengan diam. Begitu pula dengan laki-laki. Sehingga sudah tak relevan dengan emansipasi gender. Karena zaman Kartini, bagi saya telah selesai di hancurnya kolonialisme dan feodalisme. Begitu pula patriarki, sudah musnah di generasi abad ke-21. Makanya kita bisa temui, ada perempuan, seperti pelacur, yang rela dengan senang hati memilih pekerjaan itu. Sedangkan kepada perempuan dan laki-laki yang tercerahkan, mereka juga akan memilih hidup untuk mengejar apa yang diinginkan. 

Kalau hari ini disebut sebuah degradasi moral, saya tak setuju. Karena menurt Kant, moralitas selalu mencari bentuk. Dan tidak ada seorangpun yang cukup ideal untuk menjadi polisi moral. Tentu moralitas Putu atau ibunya sama baiknya dengan budaya perempuan karir masa kini. Saya kira Putu hanya terjebak di antara dua masa yang saling bertolakbelakang. Pertama, ibunya hidup di masa feodalisme yang dikokohkan dengan politik monarki, lelaki sebagai ujung tombak. Sementara kini, kemerdekaan berpikir membawa banyak perempuan untuk mencari dirinya sendiri. Kata seorang teman saya, biarlah perempuan berkalang dengan pencariannya. Karena kita sama-sama merdeka dan memiliki derajat yang sama, sudah tak perlu diperdebatkan.

Barangkali definisi rumah tangga masa kini, sudah terlampau berjarak dengan apa yang dijalani ibu dan bapak saya. Kini sebutan bapak hanya untuk pria yang memiliki anak dan sebutan ibu adalah seorang perempuan yang juga memiliki anak. Sementara tanggung jawab mereka berdua dirumuskan dengan cara egaliter. Mereka bisa sama-sama bekerja, atau bisa sama-sama masak, dan mengasuh anak. Mungkin, rumah tangga masa kini adalah persahabatan dua orang yang menjelma keluarga. Di mana perbedaan tercipta untuk saling melengkapi. Saya tak terlalu persis, karena belum memulainya.

Saya tetap mengagumi Putu. Barangkali kritik ini karena saya tak melampaui apa yang dilaluinya, atau Putu tak sempat merasakan roman rumah tangga zaman now. Dia tetap kiblat saya dalam menulis dan berpikir, tentang apapun. Putu sering mengajarkan saya untuk mendobrak segalanya. Bahkan dia juga mengenalkan saya pada seorang gadis yang ia tulis dalam novel Putri.

Jakarta, 6 Januari 2017.

Senin, 18 Desember 2017

Remahan Rengginang

sumber blogspot
"Yang saya takutkan itu bukan miskin, tapi menjadi bodoh."

Saya selalu merasa tulisan saya paling jelek. Mungkin karena jarang menulis. Ketika menulispun, itu berita. Saya merasa sukar untuk menumpahkan perasaan. Paling-paling saya menyeret seorang teman, mengajaknya bicara. Kalau tak ada, saya tak masalah untuk merenung atau setidak-tidaknya bicara sendiri.

Jikapun saya menulis, itu cerita yang sangat pendek, yang kira-kira itu bisa mewakili beragam hal yang saya pikirkan. Atau menulis essay, opini, atau semacamnya. Itu pun saya mengalami kendala dalam hal elementer. Seperti merunutkan gagasan, menempatkan plot, membuat karakter. Duh, mungkin saya yang terlalu rumit atau memang kadung bebal.

Sampai saya bertemu dengan tulisan-tulisan perempuan itu, lebih tepatnya gadis itu. Karena ia jauh lebih muda dibanding saya. Tapi tidak dengan metode berpikirnya. Menurut saya, pikirannya jauh lebih dewasa ketimbang usianya. Mungkin kehidupan yang membentuknya. Entahlah, setahu saya, ia dibesarkan dari keluarga yang terpisah. Saya menaruh hormat pada gadis itu.

Ia rajin menulis di blog. Menuliskan beberapa proses di hidupnya. Tentang kuliahnya, kakak, ayah, atau ibu yang terbentang jarak. Tulisannya memikat; ia kenal dengan banyak pemikir dan saya rasa, ilmu pengetahuan itu diimplementasikan dalam kesehariannya. Katanya, berkontemplasi dengan semesta, hidup seimbang.

Harus diakui, saya belajar banyak darinya, meski belum sebulan mengenalnya. Menurut saya dia adalah perempuan yang diuji zaman seperti yang pernah dikisahkan Pram. Makanya saya terinsipirasi menulis ini. Menulis beberapa hal yang saya lalui akhir-akhir ini. Semoga ini membantu untuk menyiasati ingatan yang rentan dirundung lupa.

Beberapa waktu lalu saya membaca buku tentang Syeh Siti Jenar, tapi belum rampung. Di waktu yang sama, saya sedang membaca kumpulan cerpennya Putu Wijaya, Seno, Camus, dan mulai belajar membaca sejarah dari Pram. Kebiasaan saya memang begitu; membaca beberapa buku sekaligus, untuk menumpas bosan. Ada tulisan yang sangat sulit dimengerti, lalu kutinggalkan sejenak, beralih ke hal-hal sederhana, kemudian dilanjutkan saat otak sudah dahaga.

Bagi saya, Syeh Siti Jenar salah satu filsuf klasik di Indonesia. Mungkin saja karena jalan hidupnya mirip Socrates atau Abdullah Al-Hallaj. Katanya, ia mati digantung karena pikirannya "Manunggaling kawulo Gusti." Di masa itu ia menjadi pelopor pemberontakan terhadap pembentukan majelis ulama Walisanga. Sebuah perhimpunan ulama di tanah Jawa yang berpusat di Demak, sekitar abad ke-15. Siti Jenar mengkritik agama yang dimonopoli untuk kepentingan politik atau untuk menyukseskan suatu paham tertentu. Bahkan ia menganggap, orang-orang hanya sibuk memberhalakan agama.

Bagi saya itu bukan mitologi, karena ini persis dengan apa yang dipikirkan oleh emak saya beberapa waktu lalu. Dia cerita kalau salah seorang penganut ajaran kembali ke zaman nabi dikubur tanpa disalati. Kata tetangga mereka, sang mayat beda aliran dan semasa hidupnya tidak pernah salat di masjid setempat. Itu yang kemudian melegitimasi agar membenamkan mayat itu seperti bangkai binatang. Kata emak saya, "Sekeji itu manusia karena agama?"

Apa ini sudah cukup untuk disebut sebagai diary? Semoga ya. Jangan banyak-banyak dulu, takutnya otak saya boncel-boncel. Maklum, saya hanya remahan rengginang di toples Kong Guan.

Kamis, 14 Desember 2017

Berpikir di Masjid

ilustrasi pengharapan. blogspot 


      "setiap pengetahuan dan ilmu itu mulia dan berharga."


Sekitar empat tahun lalu, enam orang pemuda santri di Yogyakarta memiliki keresahan yang sama. Kegelisahan mereka tertumpuk dalam pikiran. Ada banyak pertanyaan yang kelindan mengenai siapa Tuhan, hukum penciptaan, ideologi, manusia, semesta, atau hal-hal rumit lain tentang beragam pikiran manusia. Apa semua itu? Keresahan yang satu beradu dengan keresahan lain, seperti bisul kemerah-merahan yang hendak meletup.

Satu di antara mereka adalah Ariq Nazar, pemuda lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta yang biasa menjadi sekretaris takmir masjid setempat. Ariq dan kawan-kawannya ingin membuat sebuah perbedaan. Ia bersama M. Yasir selaku ketua, Lukman, dan beberapa pemuda lain punya gagasan membuat wadah diskusi bagi kalangan pemuda. Cita-citanya untuk melunasi dahaga penasaran mereka tentang ilmu pengetahuan. Apalagi di sana kajian diskusi dan budaya literasi masih minim.

“Waktu itu, kajian (di masjid) hanya untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, kami berpikir kajian segmen mahasiswa belum tergarap,” kata Ariq saat ditemui Tempo pekan lalu, Kamis, 20 Juli 2017. Dalam proses berpikir itu, terceletuklah ide membangkitkan Ngaji Filsafat. Pembahasan tentang pelbagai pemikir dunia.

Kata dia, di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, memang punya sejarah berkumpulnya para pemuda progresif. Kajian semacam filsafat telah dimulai sejak 1970-an, atau saat-saat masjid itu baru didirikan. Para mahasiswa pergerakan dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu untuk diskusi. Namun kajian itu terhenti, entah mengapa.

Mereka memiliki semangat untuk mengembalikan budaya itu. Pada awalnya, ide bermuncul Ngaji Filsafat akan digelar sekali dalam sepekan dengan durasi sehari penuh. Para pemateri pun disiapkan dari berbagai universitas termasuk Universitas Gajah Mada (UGM) dan UIN Kalijaga. Namun rencana satu ini kandas, karena dirasa terlalu berat bagi peserta. Terutama bagi generasi milenial.

Enam pemuda itu merombak ide. Ngaji Filsafat hanya akan digelar dalam waktu beberapa jam dengan seorang pemateri yang ditentukan. Mereka kemudian memilih dosen filsafat di UIN Kalijaga Yogyakarta bernama Fahruddin Faiz, seorang doktor dari kampus yang sama. “Kami merasa Pak Faiz dapat menyasar segmen mahasiswa dengan bahasa universal (mudah dipahami awam),” tutur dia.

Fahruddin Faiz menyanggupi ajakan tersebut. Ia mulai mengisi kajian Ngaji Filsafat pada 2013. “Pertimbangannya saat itu sederhana saja; ada teman-teman mahasiswa, aktivis masjid yang berminat belajar tentang falsafah dan hikmah,” kata Faiz. “Mereka rela apabila saya yang membeberkannya untuk mereka.”

Tujuan Faiz hanya sederhana, meramaikan masjid, membuka wawasan, berbagi pengetahuan, menemukan hikmah, dan menjalankan tugas kemanusiaan yakni mencari ilmu. Dia juga menjelaskan alasannya menerima tawaran berbagi ilmu filsafat di kampus. Masjid menurutnya, adalah tempat yang memiliki konotasi egaliter dan tidak ‘menekan’ dibanding kampus, atau mimbar akademik.

“Apa yang saya sampaikan di Ngaji Filsafat pasti bukan materi yang luar biasa bagi para elit akademisi kampus,” ucap dia. Karena itu sangat cocok diselenggarakan di dalam masjid. Orang berbagai latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya bisa ikut nimbrung berbagi.
                                                                   
Tema-tema yang ia bahas juga menarik bagi para pemuda. Setiap kali acara digelar, jumlah pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan di antara peserta banyak yang datang dari luar kota, termasuk Jakarta. Suatu waktu, kata dia, Faiz menjumpai rombongan dua bus penuh datang dan duduk bersila mendengarkan pengajiannya.

Pengajiannya membahas berbagai pemikiran tokoh dari Barat, Timur, Indonesia, Jawa, Islam, Hindu, Radikalisme, Toleransi, Cinta, Kebencian, hingga Atheisme. Bagi dia, setiap pengetahuan dan ilmu itu mulia dan berharga. Pertama, pengetahuan atau ilmu mengenai siapapun tentang apapun, manusia bisa mengambil ‘hikmah’ yang relevan untuk kehidupan, baik secara positif maupun negatif.

“Kedua, pilihan akan kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan kita tidak akan memiliki nilai tanpa landasan pengetahuan yang memadai,” tutur dia. Demikian pula pengingkaran manusia atas yang keliru dan keburukan. “Untuk menolak atheisme, kita harus paham akan apa itu atheisme. Tanpa ilmu, jangan-jangan kita membenci atheisme sementara perilaku mental kita sebenarnya sangat atheistik.”

Ia sadar bahwa ada juga beberapa orang yang mengkritiknya. Dia mengartikan kritik itu sebagai bentuk perhatian. Justru kritik yang datang kepadanya bersifat membangun dan memperbaiki. Tak pernah ada kritik yang mengintimidasi atau menekan.

Biasanya Faiz setiap bulan akan menentukan tema yang akan dibahas untuk empat kali pertemuan, setiap Rabu malam. Tema itu ia tentukan dan ia racik sendiri. Para peserta dapat duduk bersila di dalam masjid sambil menonton layar proyektor yang berisi materi pengajian.

Ia mengaku sempat mengalami masa-masa berat menyampaikan materi. Di saat apa yang ada di kepalanya kadang tidak mudah diterjemahkan melalui mulut. “Namun saya selalu berpesan kepada teman-teman yang ngaji, ‘mencari ilmu itu wajib, mendapatkan ilmu itu urusan Allah’, jadi tidak ada masalah sedikit pun seandainya tidak ada satu ‘poin’ pengetahuan yang bisa dipahami dari ngaji, karena kewajiban kita hanya berusaha memahami.”

Penulis buku Filosofi Cinta Khalil Gibran itu juga tak pernah membahas filsafat dengan rumus, retorika, atau metode tertentu. Ia menerjemahkan pikiran banyak filosof yang membingungkan menjadi mudah dicerna. Bagi dia, apa yang dibicarakan oleh para filosof sebenarnya dunia yang sama-sama kita alami kini. Hal ini yang membuatnya berinisiatif mengilustrasikan ke hal-hal ringan yang terjadi di sekeliling.

Terakhir kali, Faiz mengisi pengajian Rabu pekan lalu. Tema yang ia angkat pasca-Lebaran yakni filsafat kebencian. Dilandasi keprihatinan tentang kebencian yang kian banyak di saat ini, khususnya di media sosial. “Hampir semua media sosial-media informasi menggunakan diksi persuasif yang tujuannya adalah mengajak ‘membenci’, baik itu membenci seseorang, sekelompok orang, pemikiran tertentu, lembaga tertentu.”

Pria yang juga menulis buku Filosof Juga Manusia itu mengatakan bahwa kebencian sebenarnya merugikan bagi diri sendiri. Dia berharap kita mendayagunakan akal-budi agar tidak membiarkan diri hanyut oleh banjirnya pengetahuan palsu dan kepatuhan buta.

Faiz juga pernah membahas pemikirannya Aktivis Feminisme asal Mesir, Nawal El-Saadawi. Menurut dia, Nawal mengkritik tradisi khitan bagi perempuan. Nawal meneliti tradisi itu hingga Sudan. Perempuan yang pernah dipenjara penguasa selama 13 tahun itu juga membeberkan diskriminasi terhadap kaum hawa.

Sampai saat ini Nawal masih kritis, meski telah berumur lebih dari 80 tahun. Ia juga menjadi satu di antara pelopor penggulingan rezim Mesir kala itu, Husni Mubarak. Ia sempat diwawancarai Wartawan Tempo Qaris Tajudin saat ikut demonstrasi menggulingkan penguasa.

“Paling tidak semoga ngaji ini membuka mata kita, termasuk saya sendiri, bahwa sangat banyak hal yang tidak kita ketahui, membuat kita naik kelas dari level tidak tahu bahwa kita tidak tahu menjadi tahu kalau kita tidak tahu.” Dia berharap, dari kesadaran ini nantinya akan lahir generasi yang mencintai dan memuliakan ilmu.

Kemudian menggerakkan peradaban dari kesibukan saling menjatuhkan menjadi kegembiraan berlomba dalam kebaikan. Caranya dengan meningkatkan kualitas diri melalui pengayaan wawasan ilmu dan pengetahuan.

*tulisan ini tak dimuat redaktur, sehingga saya simpan di blog pribadi.


Akar Ketiak

sumber Tempo
Kalau melihat kasus reklamasi, saya jadi ingat Multatuli. Ia adalah penderitaan rakyat pribumi (sebutan Hindia Belanda) saat dijajah kolonialisme melalui kaki tangan feodalisme. Cerita ini pertama kali ditulis oleh Eduard Douwes Dekker _Ia menginspirasi pemikiran Raden Ajeng Kartini tentang keadilan dan kesetaraan_. Belakangan kita mengenal Pramoedya Ananta Toer, seoarang pria hebat yang memijarkan sejarah bangsa kepada generasi penerus.

Anggaplah reklamasi itu adalah sistem tanam paksa era kolonial. Belanda mewajibkan petani pribumi menanam komoditas ekspor Eropa. Saat panen mereka wajib menjual ke Belanda dengan harga rendah. Petani masih diperas dengan pajak penghasilan, sementara orang-orang miskin dibuang ke kamp kerja paksa. Kolonialisme bercokol lebih dari tiga abad memanfaatkan kaki tangan cara feodalisme para bupati, tumenggung, atau pemimpin daerah yang rakus. Belanda hanya perlu menjamin kenikmatan bupati, agar pemimpin daerah itu bisa mencambuk rakyatnya sendiri.

Barangkali itu juga terjadi saat ini, meski tidak persis penyiksaan dan penderitaan pribumi masa kolonialisme. Tapi bisa kita rasakan, bagaimana pemerintah membunuh nelayan dengan perlahan, seperti mengiris nadi? Bagaimana pemerintah mengeksploitasi alam tanpa pernah peduli? Bagaimana mereka membunuh keadilan dengan uang?

Pekan lalu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bicara lantang, bahwa benar-benar telah mencabut moratorium reklamasi Pulau C, D, dan G. Ketiga pulau buatan itu sudah dianggap layak dijejak dan dibangun lagi. Pengembang sumringah mendengar itu. Mereka bilang, sanksi telah rampung dipenuhi, “Kami lanjutkan pembangunan.”

Kuasa Hukum PT Kapuk Naga Indah, Kresna Wasedanto cerita berapi-api tentang proyeksi perusahaannya. Pertama mereka ingin agar segera dapat izin mendirikan bangunan (IMB), menyusul kemudian harapan pembahasan raperda reklamasi dilanjutkan oleh DPRD DKI Jakarta. Saya melihat senyumnya, “Sesuai hukum positif, reklamasi ini memang sudah jelas (dilanjutkan),” kata dia pekan lalu.

Sebenarnya, saya muak dengan cara mereka, menghalalkan segala cara. Kamu tahu sendiri, dua pulau milik Agung Sedayu itu dibangun secara ilegal. Sekonyong-konyong menggunung pasir di tengah laut dan bercokol bangunan di atasnya tahun lalu. Bangunan itu didirikan tanpa memiliki IMB dan izin peruntukan rencana tata ruang wilayah. Bahkan amdal dan izin lingkungan dibuat asal-asalan. Perusahaan sempat disanksi dan diminta berhenti bekerja selama proses perbaikan. Kenyataannya, satu per satu bangunan terus bercokol sampai kini.

Aktivis lingkungan dan para peneliti dari sejumlah lembaga pemerintah memborbardir mereka dengan kritik. Satu di antaranya hasil laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menganggap reklamasi akan memperparah kerusakan lingkungan di Teluk Jakarta. Belum lagi ditambah rencana pembangunan giant sea wall, melintang di tengah laut, dari ujung timur tembus ujung barat Jakarta. “Itu menciptakan sebuah comberan raksasa,” kata Peneliti Senior KKP, Widodo Pranowo.

Luhut membantah kritik itu dengan meminjam mulut ahli yang diboyong dari Institut Teknologi Bandung (ITB), peneliti Korea, Jepang, dan Belanda. Insinyur-insinyur bayaran itu diminta membuat permodelan bahwa reklamasi dilakukan untuk menanggulangi penurunan muka tanah di Jakarta dan abrasi di Jakarta. Belakangan muncul bantahan dari para alumni ITB bahwa mereka sama sekali tak merekomendasikan reklamasi.

Bagi orang awam seperti saya, argumen reklamasi dapat mengendalikan penurunan muka tanah di Jakarta adalah omong kosong. Tentu kamu lebih paham dibanding saya, bahwa lapisan tanah itu menyimpan cadangan air. Jika semua warga Jakarta menyedot air tanah, maka kemungkinan tanah akan ambles atau terjadi land subsidence. Setahu saya, cadangan air juga berfungsi menjaga ekosistem. Tokyo pada 60-an pernah mengalami kondisi serupa. Satu-satunya cara yang mereka lakukan adalah dengan memperketat penggunaan air tanah dan memperbaiki mitigasi air dari hulu hingga muara.

Benar katamu, masalah utama di Jakarta adalah manajemen pengelolaan air. Dulu kamu pernah cerita bahwa Kawasan Strategis Nasional Jabodetabek Puncak Cianjur harus memiliki mitigasi. Caranya dengan membuat kanal dan embung-embung di sejumlah titik dari kawasan Puncak hingga Jakarta. Tujuannya untuk mengendalikan air agar tidak terjun bebas ke hilir Jakarta. Saya rasa para peneliti KKP, LIPI, atau IPB juga sudah memikirkan itu. Termasuk dengan mengatasi limbah yang bebas dibuang ke sungai tanpa pengolahan.

Kenyataannya, orientasi pemerintah tidak seprogresif itu. Tujuan mereka hanyalah mengejar uang. Agar pengembang dapat berinvestasi ratusan triliun ke Indonesia. Sederhana saja, mereka bakal dapat uang tunai dari pajak tanpa perlu kerja dan mikir keras. Saya menduga bahwa ini tidak terlepas dari skandal suap-menyuap. Hanya saja kita sulit membuktikannya; setidaknya belum untuk saat ini.

Seandainya pemerintah melihat secara obyektif permasalahan di Jakarta, tentu mereka tak bakal tergesa-gesa seperti Luhut. Di ibu kota ini, ada sekitar 70 ribu masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari ikan. Sementara, nanti dermaga mereka, bakal diimpit dengan akar beton. Mereka harus membelah empang raksasa sepanjang 3 mil sebelum melihat lautan lepas. Jarak itu akan merusak alur pelayaran dan pola bisnis nelayan. Ini sudah terbukti di Singapura; praktis nelayan sudah mati.

Beberapa hari lalu saya mendapat salinan surat penyelidikan kasus reklamasi yang dilakukan polisi. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya katanya sedang menelisik dugaan penggunaan lahan reklamasi tanpa izin. Belum jelas siapa yang lapor dan terlapor. Polisi hanya mengatakan tidak ada pelapor, mereka hanya menyelidiki dugaan tindak pidana, karena sedang santer momentum pencabutan moratorium reklamasi. Rasanya aneh, polisi mendadak rajin seperti itu _apalagi lebih rajin ketimbang penyidik KPK_. Saya menduga pengembang sedang dilaporkan, tapi oleh siapa? Entahlah.

Kalaupun pengembang dilaporkan, itu juga sudah sewajarnya. Reklamasi tidak terlepas dari kepentingan bisnis sembilan naga, dan kepentingan politik. Kata politisi Gerindra, reklamasi akan jadi dagangan politik 2019. Sudah menjadi rahasia umum, Luhut adalah orang-orang dekat para cukong-cukong penguasa negeri ini; yang kemudian membiayai kampanye Presiden Joko Widodo. Saya rasa ini sebuah konspirasi, perlu dipertimbangkan sekaligus juga diragukan. Tapi melihat kebijakan “karpet merah” untuk pengembang reklamasi dan sikap Jokowi, patutlah kita menganalisa konspirasi murahan itu.

Melihat kasus ini, Menteri KKP Susi Pudjiastuti dari awal lebih banyak memilih diam diri. Tapi sebenarnya anak buahnya diminta gerilya. Para pejabat eselon satu sampai golongan terakhir disuruh kritis atas penilaian reklamasi. Ini yang membuat Luhut sering geram dengan analisa mereka. Terakhir, saat pengumuman pencabutan moratorium, KKP tak diundang. Dugaannya, Luhut marah dengan KKP. Saya dengar informasi itu dari sejumlah pejabat di kementeriannya Susi.

Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya kelihatan memilih manut saja atas perintah Luhut. Dia tak bisa berkutik. Ibarat film komedi Warkop DKI, “maju kena, mundur kena”. Siti sama sekali tak pernah mengkritik pengembang, tidak seperti saat jabatan Rizal Ramli sebelum diganti Luhut. Saya pernah menulis itu, dan mengkritik KLHK tak pernah awas terhadap pelanggaran pengembang. Senyampang saja, Siti dan para anak buahnya ngambek musuhin Tempo, dan ending-nya tak mau diwawancara lagi.

Saya berharap kita tetap sadar, bahwa sekecil apapun kemampuan kita, ini tak boleh dibiarkan. Kalaupun kita hanya punya semangat, itu bisa ditularkan untuk membangkitkan yang buta. Kalau kita hanya punya pena, tentu itu, pelan-pelan, dapat membunuh ketidakadilan di negeri ini. Setidak-tidaknya kita selalu berbuat. Entahlah, apakah jalan saya sekarang ini benar? Saya hanya sekadar percaya, bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, di antara orang-orang lapar, miskin, dan yang disingkirkan.

Terima kasih sahabatku, telah menemani saya cerita. Bagaimana dengan kabar hutanmu di sana? Apakah kamu masih memiliki gairah yang sama untuk sederhana dengan semesta? Merawat pohon, memikirkan aliran air, mengamati bintang orions, melihat bentangan khatulistiwa, menghitung kunang-kunang, atau sekadar menanam sayur tanpa tanah. Semoga semangat kita selalu terjaga, sesibuk apapun itu, untuk melihat hidup ini dengan cara sederhana.

Kebenaran hanya milik Tuhan, saya hanya ketidaktahuan.


Salam hormat saya dari sahabatmu di Jakarta,
Minggu, 8 Oktober 2017


--------------------------------------------

Kelindan

sumber blogspot

“Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’ yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan, gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama manusia,”
tulis R.A. Kartini dalam penggalan suratnya kepada Nona E.H. Zeehandelaar, sahabatnya di Belanda pada 25 Mei 1899. Barangkali harapan Kartini masa itu adalah keniscayaan baginya. Ibarat barang mewah yang hanya ada di Eropa.

Dalam banyak tulisannya, Kartini memang memiliki mimpi besar atas lahirnya kebebasan, khusus bagi perempuan di negerinya masa itu. Ia ingin merdeka sama seperti laki-laki; ingin bebas sekolah di mana saja, menulis apapun, bebas menikah dengan siapa saja atau tidak sama sekali, bebas menentukan jalan hidupnya, dan dalam banyak hal lainnya. Suatu hal berharga, yang sama sekali tak pernah ada di Indonesia sebelumnya.

Dia pernah menulis kepada Zeehandelaar bahwa kebebasan di Indonesia mungkin baru bisa direngkuh oleh empat sampai lima generasi setelahnya, tidak untuk saat ini, katanya. Tulisan itu seperti sebuah sabda yang niscaya terjadi. Barangkali, ucapan Kartini itu merujuk pada kita saat ini. Sekarang kita yang mendapatkan harapan Kartini masa itu. Hampir sejak lahir, kita menikmati kemerdekaan, rasa aman, dan kebebasan tanpa kepedihan seperti yang dialaminya.

Mungkin kamu sudah tahu, saya lahir di antara keluarga Jawa yang tenteram, merdeka, bahagia, dan diliputi rasa aman. Dulu semasa kecil, saya kira dunia juga tercipta seperti itu; selamanya merdeka dan bahagia abadi. Orang tua saya tak pernah cerita tentang tragedi kemanusiaan semacam G30 S/PKI, pembunuhan Talangsari, Poso, kematian Marsinah, pembantaian di Timor-Timur, atau hilangnya para aktivis. Barangkali orang tua tak terlalu tahu tentang masalah pelik itu, atau informasi yang sangat terbatas masuk desa kami.

Peradaban memang tak pernah datang tiba-tiba. Mungkin saya harus mengucapkan banyak terima kasih kepada Kartini yang menyalakan seberkas cahaya di antara kegelapan. Berterimakasih kepada para aktivis yang mempertaruhkan rasa aman dan nyawa demi kemerdekaan kemanusiaan. Saya juga harus berterimakasih pada segala sejarah yang membentuk kita.

Kini hampir semua perempuan dapat sekolah ke manapun dia mau, bisa memilih pasangan sesukanya, riang dan gembira, bekerja dalam bidang apapun tanpa batasan gender, dan melakukan segalanya seperti yang digambarkan Postmodernisme, bahkan menebar satire sekalipun. Tapi ada satu yang kita lalaikan dari cita-cita Kartini. Apakah kita sudah berjuang untuk masyarakat luas dan kebahagiaan umat manusia?

Hal itu yang saya rasakan menjadi keniscayaan saat ini. Saya seperti generasi yang terbius kenikmatan kebebasan. Padahal sadar atau tidak, kebebasan itu sebuah fantasi. Antara satu hal dengan yang lain selalu tarik-menarik saling mengikat. Manusia kadang lupa, mereka masih dikekang oleh ruang dan waktu yang selalu membatasinya. Itu adalah bukti sederhana bahwa tidak ada kebebasan abadi seperti pola pikir ketika masih kanak-kanak dulu.

Kartini bicara kata ‘kebebasan’, bagi saya, itu hal progresif dan relevan di masanya. Tapi jika kita tarik kata ‘kebebasan’ yang sama pada hari ini, tentu akan bermakna berbeda. Bahkan mungkin bebas yang bisa kita dapatkan melampaui kata ‘kebebasan’ itu sendiri. Saya kira maksud Kartini, memaknai kebebasan bukan sekadar harfiah, tapi juga secara esensi dan melihat esksistensinya atau konteksnya.

Saya akan sedikit mencontohkan; bahwa sebenarnya sekarang saya kehilangan empati pada perjuangan mahasiswa yang demonstrasi menuntut keadilan. Apa yang mereka perjuangkan telah kehilangan esensinya. Mereka gampang dibeli oleh kepentingan dan penguasa. Saya kira mereka kehilangan gairah untuk selalu bertanya. Bahkan mungkin benar kelakar warganet yang menamai demonstran masa kini dengan sebutan ‘pasukan nasi bungkus’. Akhirnya masyarakat kehilangan kepercayaan pada perjuangan mahasiswa.

Bahkan saya juga kehilangan respek terhadap para aktivis yang menuntut pengungkapan kematian aktivis Munir Said. Mereka demonstrasi sepanjang tahun di depan Istana Negara. Mereka seolah-olah lupa bahwa yang dikehendaki Munir bukan sekadar pembongkaran dalang kematiannya, melainkan keadilan dan kesetaraan di Indonesia. Hal yang mencolok di mata saya adalah diskriminasi penganut kepercayaan diabaikan negara. Belum ditambah ratusan kasus sengketa agraria dan masalah politik agama. Surga dan neraka itu sebuah cerita yang seringkali membius kita.

Sudah barang tentu kita menuntut pemerintah membongkar skandal pembunuhan Munir. Tapi yang utama adalah bagaimana kita meneladani kebajikan Munir di kehidupan sehari-hari, di bidangnya masing-masing. Dengan cara itu, kelak dapat mengungkap siapa di balik pembunuhan Munir. Memperjuangkan emansipasi perempuan juga sebuah kewajiban, karena belum seluruhnya perempuan di Indonesia sudah menikmati itu. Masalahnya, setelah itu, apa yang harus dilakukan?

Sahabat Didid, sebenarnya saya ingin sedikit berceloteh, boleh dibilang meracau saja. Secara umum, sebagian besar masyarakat kita sudah mendapatkan rasa kebebasan itu, seperti yang diperjuangkan para pendahulu kita. Masalahnya, saya sering melihat mereka terombang-ambing arus, mudah diprovokasi, gampang diadu, dan sangat rentan terjadinya perpecahan. Ujung-ujungnya terciptalah kebebasan yang intoleran.

Poinnya, saya melihat kebebasan di diri kita sering kebablasan. Bahkan kita sering tak paham mana hak dan kewajiban. Sehingga banyak pihak yang menunggangi kebebasan untuk kepentingan tertentu. Ada yang menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan agar dilegalkan sebagai LGBT, negara Islam, para aktivis ingin bebas agar bisa jadi politisi, dan lain sebagainya. Artinya kita sudah memonopoli kebebasan untuk kepentingan kelompok kita. Atau sekadar memenuhi hak, tanpa menyinggung tanggung jawab.

Saya jadi bertanya kepada diri saya sendiri, lalu kebebasan yang selama ini saya miliki apakah sudah berguna bagi masyarakat? Apa sih hal mendasar, tanggung jawab saya sebagai manusia? Bagaimana saya bisa melakukannya? Apa yang harus saya perbuat? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kadang berkelindan memenuhi pikiran. Itu kenapa saya kadang nyeletuk, ingin sekali mempunyai panti asuhan. Karena saya sendiri belum tahu persis apa tanggung jawab saya di dunia ini. Mungkin benar kata Rumi, hidup hanya proses pencarian.

Bisa jadi apa yang saya gelisahkan ini juga menjadi masalah bagi para pemuda generasi. Saya tidak tahu persis. Kadang muncul jawaban-jawaban klise seperti lakukanlah apa yang bisa kamu lakukan. Berbuat baik kepada semua orang, menyantuni anak yatim, dan bekerjalah semampumu dengan penuh sungguh-sungguh. Menurut saya itu saran yang benar, tapi tidak tepat untuk sebuah jawaban atas pertanyaan apa tanggung jawab saya di dunia ini. Makanya saya sebut sebagai jawaban klise.

Sebenarnya saya kesulitan merumuskan tanggung jawab karena saya bingung, entah mau ke mana. Dalam artian, apakah bekerja sebagai wartawan itu cukup untuk menjawab pertanyaan tanggung jawab tadi? Tentu pertanyaannya yang mendasar adalah siapakah saya? Kenapa saya diciptakan di dunia? Apa tugas saya di dunia ini? Ah.... ini makin membingungkan. Setiap pertanyaan menciptakan pertanyaan lain yang saling memburu minta dijawab. Setidaknya, saya suka menulis, biarpun toh masih belepotan.

Sementara ini, saya belum memiliki jawaban. Makanya saya sering membenturkan diri pada masalah. Tujuannya agar mental ini digembleng, nurani terasah, dan belajar memikul beban. Kalau kata Tan Malaka, hidup ini terbentur, terbentur, terbentur,,,,, terbentuk. Kalau lama terbentuknya ya dibenturkan terus. Tapi, saya belum tahu apakah itu jalan yang benar, sejauh ini itulah satu-satunya hal yang mendekati jawaban.

Seorang pemikir Islam pernah mengatakan tugas pertama manusia yakni menjadi manusia, kemudian memanusiakan manusia, lalu mengajak ke jalan ketuhanan, setelah itu tugasnya para nabi yakni para pembaharu. Kebanyakan dari kita masih berada di level pertama, yakni belajar menjadi manusia. Termasuk saya sekarang ini, masih di level paling awal menjadi manusia. Karena itu, bagi saya, memaknai kebebasan Kartini adalah belajar menjadi manusia, mencari tahu apa itu hak dan tanggung jawab, lalu membedakannya.

Kebenaran sejati hanya milik Tuhan, saya cuma remah-remah yang selalu gelisah.

Hormat saya, sahabatmu di Jakarta.
20 September 2017

-------------------------------

Sabtu, 05 Agustus 2017

Tukang Kayu, Dosen, dan Arsitek Sederhana



Sebalok kayu jati kemerah-merahan sedang tengadah di teras sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Seorang pria duduk menjepit menyerut kayu itu, yang mungkin sama tuanya. Selepas buih serutan terkikis tipis, ia mengangkat balok jatinya. Matanya membidik memastikan bahwa jati itu sudah benar-benar lurus.

Mungkin uban dan pengalaman yang selalu membantunya memberi tolok ukur kapan sebatang kayu berubah bentuk balok. Itu adalah alat ukur sederhana untuk membuat sebuah kusen, atau bingkai jendela. Tak lama, ia berhenti sejenak, mungkin mengambil nafas, atau sekadar menikmati sebatang Dji Sam Soe.

Sore sudah tergelincir menunggu malam. Pria tua itu bangkit dari duduk, menggapai gembor. Seolah-olah sudah mengerti bahwa beragam jenis tanaman di depan rumahnya menunggu sumber kehidupan darinya. Air mengucur gemericik, bersentuhan dengan dedaunan.

Kenikmatannya mensyukuri hidup mendadak terganggu dengan kedatanganku. Seorang mahasiswa semester paling akhir yang sedang bingung menyusun skripsi. Aku datang memelas agar bisa melanjutkan bimbingan skripsi. Pria penyerut kayu itu adalah seorang dosen paling disiplin dan tegas di fakultas.

Sebenarnya aku sempat melakukan bimbingan dengannya sekitar setahun sebelumnya. Kami berbincang tentang penentuan judul skripsi yang tepat. Ia menyarankan agar membuat judul skripsi yang sederhana, yang paling mudah bagi saya. Kami sepakat. Selebihnya perbincangan mengarah ke situasi politik yang entah kenapa terus meradang. 

Namun karena memang mahasiswa bebal, skripsi itu kutinggalkan begitu saja. Sampai akhirnya penyesalan mendesir di pikiran. Karena memang harus sadar, tanpa ijazah, mustahil bisa menjadi wartawan nantinya. Itu adalah angan-angan sejak di bangku sekolah.

"Dua minggu lagi ujian skripsi. Tidak bisa bimbingan lagi, kamu kemana saja?"

"Tapi skripsi saya sudah hampir rampung pak, saya mohon maaf pak karena saya kerja."

"Ah alasan saja kamu," katanya menyergah.

Tapi ia tak benar-benar menolak. Mungkin ia tak sampai hati melihat bocah ingusan ini memelas datang ke rumahnya. Pria itu mengambil kacamatanya lalu membaca skripsi yang kutenteng dan masih dijepit klip hitam. Nantinya aku sering bolak-balik ke rumahnya, bimbingan privat.

"Ini bukan skripsi, masih banyak yang perlu direvisi, dua minggu tak akan cukup."

"Makanya saya kemari pak untuk minta revisi."

Aku berusaha membujuknya agar menerimaku lagi sebagai mahasiswa bimbingannya. Sebelumnya aku juga sempat menemuinya di kampus merayunya. Sampai-sampai kubawakan tuak, minuman khas Tuban kesukaannya. Segala daya kukerahkan agar ia mau menjadi dosen pembimbing lagi. Memang dasar mahasiswa bebal.

Tapi lagi-lagi ia luluh juga. Ia menerima draft skripsi itu. Pria itu mengambil pena dan seketika berselancar di atas lembar demi lembar draft skripsiku. Dalam batin, tekor banyak ini, skripsi dicoret-coret semua karena salah. Beruntungnya, hanya kesalahan tulis atau sekadar salah mengurutkan pembabakan bab. Selebihnya, ia sudah mengamini rumusan dan metodologi penelitian yang sudah ditentukan.

Waktu itu skripsi yang kuangkat adalah pemberitaan Tempo yang seolah-olah memihak Joko Widodo pada pemilihan presiden 2014. Ini bagian kritik seorang mahasiswa komunikasi terhadap korporasi pers, kataku berlagak. Apalagi, Tempo juga mengarahkan agenda seting dengan menunjukkan kontroversi Prabowo Subianto semasa masih menjadi perwira TNI. Kelak, justru aku bergabung dengan Tempo dan akhirnya cengar-cengir saat tahu alasannya.

Skripsiku tak semulus itu. Memakai toga memang jalan terjal. Aku sempat dilarang dekan ikut ujian karena terlambat mengumpulkan skripsi. Padahal waktu itu, skripsi sudah rampung menunggu dijilid. Sampai-sampai kepala ini membuncah menantang sang dekan.

Apalagi dekan itu seolah-olah menuding bahwa skripsi itu bukan hasil jerih payahku. "Kalau bapak tidak percaya, silahkan uji saya sekarang, saya sudah 'ngelotok' dengan skripsi ini," bentak saya sambil membanting sebendel skripsi di hadapannya. Tapi dekan itu tak menggubris. Aku sempat putus asa rasanya.

Ternyata pria tua itu, tanpa sepengetahuanku membujuk dekan agar membolehkan aku ikut ujian. Mengingat dia paham bahwa sudah kurampungkan tugas dengan cepat, tak sampai dua pekan. Pria itu yang sebenarnya berada di belakangku. Ia dengan daya kritisnya sering mempertanyakan alur berpikir tulisanku. Dari dia, akhirnya aku banyak belajar bagaimana menulis karya ilmiah. Ternyata berat jadi akademisi. Ada banyak bahasa akademik yang membingungkan. 

Sejak kurampungkan skripsi, jarang ke kampus, dan apalagi sudah sibuk kerja, aku tak pernah lagi datang padanya. Memang dasar mahasiswa durhaka lagi bebal. Terkadang aku rindu padanya. Apalagi dengan prinsip hidupnya yang sederhana. Kata dia, hidup sesederhana Dji Sam Soe dan segelas tuak.

Yang paling mengesankan adalah saat ia membangun rumahnya sendiri. Biasanya, ketika ada uang lebih, disisihkan untuk merampungkan rumahnya. Ia adalah tukang kayu, dosen, sekaligus arsitek. Seorang arsitek kesederhanaan hidup.

Biasanya, selepas mengajar di beberapa kampus ia menjalani rutinitasnya menjadi tukang kayu. Pria itu hanya mengenakan singlet, celana pendek, dan mengisap rokok Dji Sam Soe. Setahuku, ia hidup berdua dengan sang istri. Anak-anaknya sudah memiliki kehidupan di kota lain. 

Nama lengkapnya adalah I Wayan Nuada. Seorang bapak pemikir dari Bali yang merantau ke tanah Jawa. Pengetahuanku hanya sedikit tentangnya. Tapi dia sudah menginspirasi banyak hal padaku. Terutama soal kesederhanaan, kedisiplinan, dan ketekunan. Di situlah titik balik dari sebuah kebahagiaan yang hakiki.

Semalam, dosen saya itu ternyata tiba-tiba mengomentari statusku di Facebook. Waktu itu sedang mengkritik tentang fanatisme agama. Dia tiba-tiba nyeletuk bilang aku sudah menjadi ustad. Ah rasanya malu aku, sembari menampik pernyataannya. Padahal sebenarnya cuma begundal yang hidup di jalanan.

"Wah mulai kapan Sdr Avit Hidayat ini jadi Ustad, salam kangen Pak Ustad. Kalau ada waktu saya undang ke rumah, kita bersenda gurau di rumah," kata dia di laman komentar Facebook-ku. Duh rasanya malu mendengarnya. Harusnya aku yang menyapa dan datang ke rumahnya tanpa perlu diminta. Tapi dasar tetap murid bebal ya begitu.

Semoga bulan depan aku bisa menyempatkan izin cuti untuk bertandang ke rumah bapak. Senang rasanya bergurau bersama beliau. Pikiran-pikirannya selalu menyegarkan, membawa gairah hidup. Aku sempat menceritakan tentang nasib skripsi itu. Ia mengomentarinya. 

"Itu karena anda berani berkata sendiri dan tidak menggunakan kata orang lain. Menurut orang Jawa, anda tidak menggunakan kembung jare. Selamat berprestasi, saya bangga denganmu." Saya juga bangga memiliki guru seperti bapak. Semoga bapak diberi kesehatan dan keberkahan agar ilmunya bermanfaat di dunia atau di kehidupan selanjutnya kelak.

Salam dari mahasiswa bebalmu,
Avit Hidayat

Senin, 29 Mei 2017

Pemberangusan masih Terjadi


Jakarta - Suasana politik dua pekan lalu agak memanas. Para ulama mendadak tampil menjadi corong pemerintah, memastikan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi berpaham Khilafah agar segera dibubarkan. Ini karena Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj sekonyong-konyong mendukung pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto tentang pemusnahan HTI.

Wiranto sebelumnya menggelar konferensi pers dadakan di kantornya, hanya sehari sebelum Basuki Tjahaja Purnama dijatuhi vonis hukuman dua tahun penjara. "Mencermati berbagai pertimbangan, serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," kata Wiranto pada 8 Mei lalu seperti dikutip dari laporan Tempo. Pria yang kerap disebut-sebut terlibat pelanggaran hak asasi manusia itu mengatakan HTI mengancam keutuhan negara.

Beberapa hari berselang, Said Aqil berdiri di hadapan publik mendukung langkah pemerintah. Tak ketinggalan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H Ma'ruf Amien juga menyatakan bahwa HTI telah mendegradasi ideologi Pancasila. "Azas kepemimpinan di Indonesia itu harus mengacu pada ideologi Pancasila. Selama ini, HTI mengusung kepemimpinan khilafah transnasional, enggak bisa itu (berkembang di Indonesia)," kata Ma’ruf pada Jumat, 12 Mei 2017 seperti dikutip dari Tempo.

Wacana pembubaran ini sontak menggemparkan linimasa media sosial dan masyarakat. Sejumlah pihak mengkritik keputusan itu. Namun tidak sedikit ulama yang sepandangan dengan Ma'ruf Amien dan Said Aqil. Tapi sekejap pemberitaan sunyi, berganti vonis dua tahun penjara yang menimpa Ahok. Hakim menganggap mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah menistakan agama Islam. Ada konspirasi yang mencuat bahwa pembubaran itu adalah bargaining pemerintah menghentikan aksi massa. Namun ini belum dibuktikan.

Setelah itu, sudah tidak ada lagi yang mempertanyakan kenapa HTI dibubarkan? Hanya beberapa aktivis yang menganggap bahwa tindakan pemerintah inkonstitusional, melanggar hak asasi manusia dan hak berpikir merdeka. Selebihnya, kita tak pernah tahu, apa sebenarnya alasan pemerintah membubarkan HTI.

Publik perlu mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan HTI? Bagaimana HTI mengubah ideologi Pancasila? Kapan itu terjadi? Apa buktinya? Siapa saja dalangnya? Siapa yang mendanai tindakan makar? Apa benar HTI sudah menggalang militan dan berencana menggandeng TNI untuk berbuat makar? Dan masih banyak pertanyaan yang harus dijawab pemerintah.

Negara harus menunjukkan bukti bahwa HTI telah melanggar Undang-undang Dasar 1945 dan lainnya. Dan jawaban itu harus dibeberkan di muka persidangan seperti sistem hukum yang kita anut. Jika tidak dijawab, maka pemerintah hanya mengulang pemberangusan paham. Sama seperti saat ideologi Komunisme dimusnahkan di Indonesia, hanya karena peristiwa politik yang belum rampung kebenarannya.

Lagi-lagi pluralisme kita diuji. Bukan karena banyaknya paham dan ideologi di Indonesia yang saling bertolak-belakang. Tapi soal penyelesaian masalah yang cenderung diskriminatif dan tak manusiawi. Karena kebebasan berpikir, berserikat, dan merdeka adalah hak setiap manusia. Ini menunjukkan sikap pemerintah, seolah-olah Pancasila menolak pandangan Khilafah.

Karena itu ada inkonsistensi yang dilakukan pemerintah. Silogisme Mereka, bahwa Indonesia adalah negara kesatuan republik yang memiliki beragam agama, ideologi, etnis, suku, dan budaya. Namun mendadak berubah, jika HTI memiliki paham bertentangan dengan Pancasila maka akan diberangus. Premis tersebut bertolak-belakang dengan ruh Pancasila.

Seharusnya, jika Pancasila adalah negara kesatuan, maka semua ideologi dapat diterima di Indonesia. Jika Indonesia menganut negara hukum, maka setiap yang bersalah harus diadili di muka persidangan. Setahu saya begitu. Saya justru khawatir, HTI dibubarkan hanya karena persepsi Islamphobia atau ketakutan negara terhadap konsep Khilafah.

Hal ini juga sama dilakukan oleh para aktivis hak asasi manusia yang diam saat melihat HTI dibubarkan. Mereka tak merespons saat perlakuan diskriminatif dialami HTI. Seolah-olah memerangi intoleransi dengan cara tak toleran. Padahal akar permasalahannya adalah kegagalan pemerintah menyelesaikan konflik horisontal.

Saat ini, negara sedang menciptakan bibit kebencian. Mereka menebarkan benih dendam dengan cara memusnahkan paham HTI. Sama seperti saat Komunisme diberangus di negeri ini.

Bayangkan, selama ini pemerintah hanya bermodal prasangka. Mereka melihat bahwa HTI dibubarkan di sejumlah negara. Mereka menjadi organisasi transnasional itu adalah fakta. Tapi kemudian, negara mengenyampingkan fakta lain yang belum terungkap. Analoginya mirip, kita menghakimi sepasang remaja yang pacaran di dalam kamar, tapi kita tidak tahu apa yang mereka lakukan di sana. Lalu lahirlah prasangka HTI adalah organisasi berbahaya bagi Pancasila.

Pandangan ini saya tulis bukan karena memiliki paham yang sama dengan HTI. Hal ini semata-mata untuk menunjukkan bahwa negara abai menjamin kemerdekaan warganya. Saya memang tak sepaham dengan Khilafah, tapi bukan berarti saya menampik mereka sebagai saudara.

Karena saya percaya, betapapun pilihan hidup seorang anak, orang tua tak akan bisa menghapusnya dari garis keturunan. Karena kita adalah kesatuan berbangsa dan bernegara.

Selasa, 23 Mei 2017

Kebenaran



Pandangan kita tentang apapun, tak pernah utuh. Selalu parsial atau subyektif. Dua hal ini saling melengkapi namun bertolak-belakang. Anda bisa saja memilih melihat sesuatu dengan cara komprehensif, pada akhirnya hanya sekadar parsialitas. Sebaliknya, saat kita melihat sesuatu dengan sangat dekat, maka lahirlah subyektifitas.

Hal ini juga berlaku pada kebenaran. Anda tak akan mendapatkannya secara utuh. Bisa saja dari sudut pandang anda, eksistensi telur itu lebih dulu ada mendahului ayam. Di satu sisi, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Bahkan mungkin ada yang beranggapan keduanya muncul bersamaan. Entahlah, tanyakan saja pada penciptanya.

Terkadang saya berpikir kenapa kita tak bisa melihat kebenaran itu secara utuh? Saya sering menghadapi masalah terkait pembuktian kebenaran. Itu sangat berat. Karena hal ini bersinggungan langsung dengan pekerjaan saya. Hampir setiap hari saya merumuskan masalah, menentukan sudut pandang, mewancarai sejumlah sumber, verifikasi, verifikasi, dan verifikasi, lalu menulis.

Tapi saya tak pernah puas dengan itu. Karena semua itu tak menghasilkan kebenaran yang komprehensif. Tapi benar, memang tak ada kebenaran mutlak. Kebenaran memiliki nilai relativitas. Dia terikat oleh ruang dan waktu. Kadang juga bercampur dengan ambigu, tabu, kebohongan, dan sangat bergantung pada khalayak.

Hal ini juga mengingatkan saya pada kematian Al-Hallaj. Seorang pemikir Islam yang hidup pada 866 masehi. Dia adalah sufi yang dibesarkan dari kakek beragama Zoroaster dan ayah Islam. Pemikirannya yang sangat tersohor yakni "Akulah Kebenaran". Karena kalimat itu pula ia meninggal mengenaskan, dipenggal pemerintahan masa itu.

Jauh sebelum dia, Socrates sudah merasakan dipenggal karena pemikiran yang sama. Karena sebuah keyakinan, manusia bisa menghakimi sesamanya. Di Indonesia takdir yang sama juga dialami oleh Syeh Siti Jenar.

Pada dasarnya setiap manusia sering berebut kebenaran. Mereka kemudian membentuk koloni yang sepaham, memetakan paham lain dan memusuhinya. Ada juga manusia yang diam menyembunyikan kebenarannya di dalam batin saja.

Manusia kemudian merumuskan metode untuk mengungkap kebenaran. Metodenya bukan like dan share. Bukan juga beropini tanpa memberi ruang berbagai pihak untuk bicara. Biasanya, saya mendapatkan cerita dari satu pihak tentang tuduhan. Kita dituntut untuk validasi cerita itu.

Setiap cerita punya banyak perspektif. Sehingga semua sumber harus diakomodir. Jika sudah valid, anda harus rekonstruksi sebuah cerita dengan sebuah sudut pandang. Nah proses pembentukan sudut pandang bergantung pada siapa anda berpihak. Pada titik ini independensi anda dipertaruhkan.

Berikutnya, kita melakukan pembuktian. Dalam persidangan, pembuktian dilakukan dengan mendatangkan terdakwa, membeberkan bukti yang dimiliki jaksa, saksi, hingga mendengarkan pembelaan terdakwa. Pada dasarnya, prinsip ini wajib kita lakukan dalam keseharian. Ini metode dasar anda untuk menuju kebenaran.

Lalu bagaimana dengan kebenaran sebuah keyakinan? Kebenaran sebuah agama? Apakah kita perlu mendatangkan tuhan, malaikat, para wali tuhan, hingga kitab sucinya? Seharusnya demikian. Kita harus membuktikan kuasa tuhan untuk mendapatkan kebenaran. Masing-masing orang memiliki hasil yang berbeda, tergantung proses pembuktiannya.

Setelah kita membuktikan dan telah menemukan jawaban itu, tugas kita adalah menyampaikan sebuah kebenaran. Maka lahirlah para nabi, para wali, para pemikir, dan lain sebagainya yang menyampaikan sebuah kebenaran. Mereka berani dipenggal karena tahu apa yang diyakini itu telah dibuktikan.

Proses pencarian kebenaran ini seyogyanya kita terapkan dalam keseharian kita. Karena kita tak tahu apa itu kebenaran mutlak, paling tidak kita sudah berusaha membuktikannya. Benar dan salah pada akhirnya menjadi perspektif.

Sabtu, 06 Mei 2017

Laki-laki Sederhana



Gulungan ombak itu menggulungku, aku terseret ke dalam arus. Sedangkan sahabatku, Nur Didid sudah terseret jauh. Ketika ombak datang tubuhnya tenggelam, hilang. Sesaat kemudian muncul. Tangannya melambai, air laut sudah banyak masuk ke lambungnya. Suasana panik itu masih jelas terkenang.

Didid hilang beberapa menit ke dasar laut. Ketika ombak menerjang, tubuhnya kian terseret menuju tengah laut. Jaraknya denganku makin jauh, lebih dari 15 meter. Sementara aku tak bisa bergerak, hanya berpegangan batu karang, karena tak bisa berenang.

“Mas Zen, Didid mas, Didid kelelep,” kataku mengisyaratkan agar Muhammad Zainuri _kami bertiga sahabat_ menolongnya. Zainuri sempat mengira lambaian tangannya hanya gurauan, karena sebenarnya Didid bisa berenang. Aku minta perahu didekatkan, tapi pak tua, si pemilik sampan tak bisa mengendalikan perahunya di arus yang deras.

Tapi Zainuri lebih cekatan. Dia berenang cepat, menghampiri Didid. Dia adalah orang pesisir yang memahami sifat laut. Sudah menjadi kebiasaannya dari kecil menerjang ombak

“Tenang bro, jangan panik,” ujar Zainuri.

Tak lama Didid muncul ke permukaan, dia masih terlihat syok, kami semua syok kala itu. Kepanikan itu mulai mereda saat Pak tua itu masih berteriak racau. “Situ sih nakal dari tadi, nakal,” kata dia memarahi Didid. Kami pun terbahak-bahak seketika.

Itu adalah pengalaman kecil dari sekian banyaknya peristiwa yang aku alami bersama para sahabat saya, Zainuri dan Didid. Berlibur di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, sekalian liputan bareng. Mereka berdua mengorbankan waktunya bersama keluarga saat Lebaran, demi jalan-jalan ke pulau itu.

Perjalanan mereka berdua penuh drama, menguras energi, uang, dan kekonyolan. Ini gara-gara Didid lagi. Seharusnya hanya Didid yang berangkat ke Jakarta. Sore itu ia seharusnya sudah bersiap ke Stasiun Babat, Lamongan. Tapi, kata dia, Zainuri mengajaknya ke Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menghadiri sebuah acara.

“Wis toh gak popo, engko tak terno nang stasiun,” kata Zainuri meyakinkan ke Didid. Dia pun menyanggupi permintaan itu. Selepas pukul 21.00, mereka berangkat ke Stasiun Babat dan tiba tepat waktu. Kereta dijadwalkan berangkat pukul 22.00, tepat ketika malam takbir berkumandang.

Karena merasa masih cukup senggang, mereka ngopi di depan stasiun. Mungkin terlalu asyik ngobrol banyak hal, katanya. Sampai silap kereta telah berlalu melewatkannya. “Mau ke mana mas?” seorang pengangkut barang di stasiun bertanya pada Didid.

Dia enteng menjawab, “ke Jakarta pak.”

“Keretanya sudah berangkat, mas.”

Didid hanya menebar senyum satir, tanpa menyadari kereta sudah berlalu. Ia melenggang masuk gerbang stasiun dan mendapati satpam. Petugas itu bertanya lagi ke dia.

“Mas, kereta ke Jakarta sudah berangkat, 10 menit yang lalu.” 

Nanti, dia bercerita padaku bahwa kala itu badannya lemas. Tak percaya bahwa benar-benar ketinggalan kereta. Didid bilang, suara speaker musala sangat bising, sehingga tak mendengar pengumuman datangnya kereta dari Surabaya menuju Jakarta.

Zainuri menenangkannya, berkelakar mengajak berangkat ke Jakarta mengendarai motor. Berpikir sejenak, Didid mendadak menyanggupi. Zainuri agak kaget mendengar itu.

Namun mereka kemudian menghubungiku, bilang ketinggalan kereta. Justru mereka berdua meminta agar memesankan tiket pesawat ke Jakarta. Malam itu juga mereka bertolak ke Bandara Juanda, Surabaya naik motor. Dinihari pesawat terbang ke Jakarta.

Mereka tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma pagi, menjelang siang, tepat saat Lebaran tahun lalu. Aku tak langsung bisa menjemput, karena harus liputan pagi ke rumah tokoh dan pejabat yang sedang merayakan hari raya Idul Fitri. Aku menyarankan mereka naik taksi atau ojek online ke Mampang, Jakarta Selatan. Mereka lama tak mengabari hingga sore, mendadak mereka sudah tiba di Mampang.

Akhirnya aku tahu bahwa mereka jalan kaki, memanggul tas carrier, dari Bandara Halim hingga tempat kost-ku. Benar-benar jalan kaki. Padahal jaraknya mungkin lebih dari 15 kilometer. Mereka memang konyol. Itu hanya bagian kecil dari petualangan kami.

Jauh sebelum ke Pulau Pari, kami juga punya proyek kecil. Bertani cabai rawit dan buah naga di dalam hutan, desaku. Mereka berdua tinggal di rumahku selama beberapa bulan. Mengingat orangtuaku sedang merawat kakek di Merakurak yang sendirian, sepeninggal nenek. Tapi sayangnya, proyek kami gagal. Semua cabai mati, dan kaktus itu, entah rimbanya.

Kami menghabiskan waktu untuk banyak hal. Suatu ketika Zainuri membawa bebek. Itu adalah bekal kami menginap di hutan yang penuh nyamuk. Siangnya, kami menjelajah hutan, menerjang semak. Dia orang yang tak pernah gentar, pemberani yang sahaja.

Dia orang sederhana, santun, dan sabar. Aku jarang mendapati Zainuri marah. Mungkin level kesabarannya sudah menyamai kata sabar itu sendiri. Bahkan sekalipun orang mengejeknya atau cari gara-gara dengannya, dia tetap menjadi sederhana. Dia sering menolong saya dalam keadaaan apapun. Sejauh yang saya tahu, ia mencintai pekerjaannya, di Nurul Hayat. Sebuah yayasan zakat nasional, membantu orang-orang tak mampu. Hal yang paling penting, ia rajin salat.

Zainuri juga seorang sutradara sekaligus aktor teater yang hebat. Terakhir, saya dengar ia sedang menggarap karya milik Almarhum Pak Har. Kata temanku, Komed, karya itu sudah dipentaskan beberapa waktu lalu. Teman-teman kami juga mengakui kecintaannya pada dunia teater, seni, dan kesusastraan.

“Esok, kita mungkin akan mejadi daun berguguran, hujan yang jatuh di halaman, atau layang-layang yang terlepas dari genggaman, hidup bukan hanya sekedar melihat dan dilihat. Tapi hidup mempunyai arti untuk diri nya sendiri dan berguna untuk orang lain..
Muhammad Zainuri

Malam ini, orang-orang terdekatnya sedang berkumpul. Mereka datang sebagai saksi kesederhanannya. Kehadiranmu di dunia sudah banyak membawa kebaikan. Dia banyak menolong orang, tak terhitung dan memiliki budi yang luhur. Masih banyak kisah lain, dari banyak orang terdekatnya, yang tak habis untuk diceritakan.

Saya percaya, kelak, kebaikan akan selalu dibalas kebaikan. Wujudnya memang tak ada di sini lagi, tapi ia selalu di hati semua insan yang mengenalnya. Selamat menghuni hidup baru di pelukan Tuhan, sobat.



Translate