Sabtu, 06 Januari 2018

Surat Terima Kasih untuk Putu

Saya takjub dengan keberanian Putu Wijaya menulis essay tentang Ratu Rumah Tangga. Essay yang ia tulis pada 1997 atau ketika usia saya baru tujuh tahun. Tulisannya tetap kritis dengan cara menonjok pikiran. Mengajak pembaca untuk membelalak sejenak. Memikirkan ulang segala hal. Termasuk dalam hal definisi rumah tangga, yang sekian abad termanifestasikan atas budaya patriarki. Meski memang, ia sesungguhnya tak benar-benar menyepakatinya.

Sebagai lelaki, dengan budaya dicokok apa yang disebut kodrat lelaki, Putu menyindir para perempuan yang keluar rumah. Tapi toh ia tak berani terang-terangan meminta istrinya untuk berhenti berkarir. Lebih tepatnya karena gengsi disebut pria kuno. Kekhawatirannya adalah perselingkuhan dengan teman sekerja. Kata dia, ini sudah menjadi tendensi atas konsekuensi logis yang harus dimaafkan, nantinya suatu ketika jika terjadi. Beruntung ia, karena istrinya memahami kecemasan itu. Tak sampai dua tahun bekerja, istrinya balik dengan sebutan ratu rumah tangga. Tentu dengan alasan-alasan lain yang bisa disebut masuk akal bagi mereka berdua.

"Karir seperti beringas di depan rumah tangga, dalam hidup seorang wanita Indonesia. Sebaliknya, rumah tangga menjadi berantakan di samping karir dalam pandangan seorang pria Indonesia," kata dia mengawali tulisannya. "Tatanan perempuan dan lelaki sedang berubah di negeri ini. Dalam proses penemuan nilai-nilai baru, akan banyak yang harus diderita."

Pada bagian paragraf awal hingga pertengahan tulisannya, Putu bahkan menyeret cara hidup ibunya di desa, yang katanya bahagia. Kata bahagia muncul dari mulut ibunya, sekaligus dari pengalamannya mengajak sang ibu berpetualang menjadi orang urban, sepertinya. Tapi tak berhasil. Ibunya punya konsep kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan bagi ibunya, disebutkan Putu, adalah mengabdi pada pekerjaan rumah tangga. "Urusan bersenang-senang adalah urusan lelaki, mempertahankan semua pada tempatnya, cukup membuatnya bahagia."

Hal yang sama juga mungkin terjadi pada ibu saya. Seorang ratu rumah tangga, yang mengabdi untuk suaminya. Tapi kenyataannya tak benar-benar seperti itu. Saya kira ada hal yang salah dengan dikotomi karir. Karir dimanifestasikan merantau ke ibu kota atau bahkan mancanegara. Bekerja di perkantoran, kuliah di tempat yang jauh, dan kalau perlu eksistensi didapat dengan menjelajah waktu. Tidak sesederhana itu.

Ibu saya masih menjadi apa yang disebut Putu sebagai ratu rumah tangga. Tapi ia tak pernah melepaskan karirnya. Meski dengan cara sederhana. Ibu saya mengaktualisasikan karir dengan bekerja secara sosial. Karirnya dimulai menjadi ibu-ibu PKK di kampung, lalu mengurus posyandu, menjadi petugas sensus penduduk, atau pejabat paling rendah di tingkat desa. Memang bukanlah hal mewah jika dibandingkan dengan jabatan di partai politik, atau jadi wanita karir di perkantoran. Ibu saya mengaku bahagia menjalani karir sosialnya. Sekarang, ia menjabat sebagai juru mandi jenazah perempuan.

Dia juga masih bekerja di sawah, sebagai petani cabai. Meski tak bersinggungan dengan ilmu pengetahuan secara langsung, tapi ia riset secara otodidak cara bercocok tanam paling efektif. Memang tak semudah ketika kita belajar di bangku fakultas pertanian. Cukup membaca buku, berkecimpung peluh di laboratorium, dan terciptalah tanaman cabai varietas baru. Setidak-tidaknya, saya menganggap ibu tetap wanita karir. Itu satu hal lain yang perlu digarisbawahi.

Tidak semua perempuan suka bekerja, mengejar cita-cita, menuntaskan dirinya. Banyak yang merasa tercukupkan hanya dengan diam. Begitu pula dengan laki-laki. Sehingga sudah tak relevan dengan emansipasi gender. Karena zaman Kartini, bagi saya telah selesai di hancurnya kolonialisme dan feodalisme. Begitu pula patriarki, sudah musnah di generasi abad ke-21. Makanya kita bisa temui, ada perempuan, seperti pelacur, yang rela dengan senang hati memilih pekerjaan itu. Sedangkan kepada perempuan dan laki-laki yang tercerahkan, mereka juga akan memilih hidup untuk mengejar apa yang diinginkan. 

Kalau hari ini disebut sebuah degradasi moral, saya tak setuju. Karena menurt Kant, moralitas selalu mencari bentuk. Dan tidak ada seorangpun yang cukup ideal untuk menjadi polisi moral. Tentu moralitas Putu atau ibunya sama baiknya dengan budaya perempuan karir masa kini. Saya kira Putu hanya terjebak di antara dua masa yang saling bertolakbelakang. Pertama, ibunya hidup di masa feodalisme yang dikokohkan dengan politik monarki, lelaki sebagai ujung tombak. Sementara kini, kemerdekaan berpikir membawa banyak perempuan untuk mencari dirinya sendiri. Kata seorang teman saya, biarlah perempuan berkalang dengan pencariannya. Karena kita sama-sama merdeka dan memiliki derajat yang sama, sudah tak perlu diperdebatkan.

Barangkali definisi rumah tangga masa kini, sudah terlampau berjarak dengan apa yang dijalani ibu dan bapak saya. Kini sebutan bapak hanya untuk pria yang memiliki anak dan sebutan ibu adalah seorang perempuan yang juga memiliki anak. Sementara tanggung jawab mereka berdua dirumuskan dengan cara egaliter. Mereka bisa sama-sama bekerja, atau bisa sama-sama masak, dan mengasuh anak. Mungkin, rumah tangga masa kini adalah persahabatan dua orang yang menjelma keluarga. Di mana perbedaan tercipta untuk saling melengkapi. Saya tak terlalu persis, karena belum memulainya.

Saya tetap mengagumi Putu. Barangkali kritik ini karena saya tak melampaui apa yang dilaluinya, atau Putu tak sempat merasakan roman rumah tangga zaman now. Dia tetap kiblat saya dalam menulis dan berpikir, tentang apapun. Putu sering mengajarkan saya untuk mendobrak segalanya. Bahkan dia juga mengenalkan saya pada seorang gadis yang ia tulis dalam novel Putri.

Jakarta, 6 Januari 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate