Selasa, 30 Juni 2015

Semangat Demokrasi Berita Sampah di Portal Online


Sumber Foto Tempo
Jakarta- Kebebasan pers dewasa ini apa benar sudah kebablasan? Atmakusumah pernah mengatakan bahwa saat ini memasuki era kebebasan yang kebablasan. Tapi bagi saya, bukan kebebasannya yang kebablasan, tapi aturannya tidak kuat. Ibaratnya, media massa saat ini digambarkan seperti mesin mobil balap. Sedangkan sampai saat ini Undang-Undang Pers masih seperti rem untuk mobil angkutan umum.
Memang, dewasa ini produk pers dituntut untuk lebih cepat. Terlebih di era portal media seperti saat ini, pelbagai media massa mendadak berlomba-lomba agar bisa menampilkan berita secepat-cepatnya kepada masyarakat. Berbagai macam jenis berita itu menjejali otak netizen (pembaca) selama 24 jam dengan jarak hitungan menit.
Jika dikalkulasikan, rata-rata media massa dapat menerbitkan 500 hingga 700 berita per hari. Dengan berita sebanyak itu, pastinya membutuhkan banyak wartawan yang tersebar di seluruh wilayah. Namun dari sekian banyak berita yang ada, berapa persen yang berkualitas?
Untuk mengejar target jumlah berita tersebut, wartawan diperas untuk mengejar kuantitas berita tanpa mempedulikan akurasi dan nilai berita itu sendiri. Ini yang menjadi kritik saya selama ini. Wartawan sepertinya hanya menjadi seorang public relation sebuah perusahaan lalu menawarkan berbagai promo sebuah produk. Atau bahkan sekadar corong kepentingan kelompok tertentu.
Apalagi di banyak portal online tanah air. Sudah tidak perlu disebut lagi isi beritanya. Saya kira, hanya sedikit media mainstream yang punya prinsip untuk mengedepankan penting-tidaknya sebuah informasi untuk dipublikasikan.
Padahal berita dibuat untuk memberi pandangan masyarakat atas substansi informasi, bukan berdasar pada kuantitas informasi. Contoh kecil yang harus kita petik adalah pemberitaan terkait program UPS yang sudah masuk dalam E-Budgeting Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Program ini sempat mencuat dan menjadi trending topic saat DPRD DKI Jakarta mengajukan hak angket kepada Gubernur DKI Jakarta.
Alasan DPRD DKI Jakarta mengajukan hak angket, lantaran program e-budgeting dianggap tidak bisa mengakomodir kepentingan anggotanya. Selain itu, DPRD juga menganggap bahwa RAPBD yang diajukan Gubernur DKI Jakarta ke Kemendagri belum disahkan dalam Sidang Paripurna.
Logika berpikir sederhananya, news value yang harus ditonjolkan adalah terkait terobosan e-budgeting yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Relevansi program tersebut, negara mana yang sudah menggunakan? Kemudian, meninjau alasan secara realistis kenapa DPRD DKI Jakarta mengajukan hak angket dan menolak rencana tersebut?
Yang terjadi, justru berbagai portal media beramai-ramai memberitakan perseteruan antara Ahok dan Lulung. Padahal jika dilihat secara substansinya, konflik antara kedua belah pihak ini tidak relevan dengan kebenaran yang harusnya disampaikan ke publik. Memang asyik ketika terjadi tek-tok konflik dalam sebuah berita, apalagi itu antara gubernur dan anggota dewan. Apakah alasan itu yang menjadi alasannya? 
Mirisnya lagi, sejumlah media massa mengangkat sosok Lulung habis-habisan di saat menjadi trending topic di Twitter. Bahkan beramai-ramai mempublikasikan sosok Lulung. Mulai dari foto meme Lulung, pernak-pernik, kaos, dan berbagai macam hal lainnya.
Korbannya adalah masyarakat itu sendiri. Apalagi jika kita telaah, kebanyakan pembaca portal online saat ini adalah masyarakat usia produktif. Mulai dari 20 hingga 30 tahun. Sementara saat ini mereka sebagian besar telah meninggalkan budaya membaca koran atau majalah cetak. Artinya, di dunia maya, mereka kebanyakan hanya bisa membaca berita sampah yang tidak berkualitas.
Bisa dibayangkan, tiga puluh tahun lagi masyarakat yang saat ini membaca portal online apa bisa menyesuaikan dengan dinamisnya ilmu pengetahuan di masa mendatang? Kemungkinan, justru mereka akan skeptis dengan jurnalisme itu sendiri. Ini juga yang menjadi latar-belakang kenapa minat baca masyarakat selalu rendah.
Hal ini terjadi lantaran lemahnya pengawasan tentang produk pers itu sendiri. Alih-alih sembunyi di balik tameng kebebasan pers, media massa justru membabi-buta dalam menyediakan informasi. Saya katakan informasi, karena tidak semua media massa bisa menyajikan berita.
Tentu yang harus kita garis-bawahi dari kejadian ini adalah dengan melakukan revisi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Saya melihat undang-undang ini sudah tidak mampu lagi untuk menjadi wadah dinamisnya produk pers dewasa ini.
Apa yang bisa dilakukan Dewan Pers saat banyak media massa yang tak memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme? Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach akhirnya hanya menjadi ajang onani di dalam kelas kuliah jurusan Jurnalistik. Karena tidak ada jaminan teori tersebut bakal diimplementasikan di kehidupan nyata.
Kita harus secara bersama-sama mengritisi undang-undang pers itu sendiri. Apakah undang-undang tersebut bisa mengakomodir kepentingan publik saat ini dan di masa yang akan datang? Karena sejauh ini yang saya lihat, semangat UU Pers Tahun 1999 hanya sebatas kebebasan pers itu sendiri.
Tentu jika diterapkan di era saat ini, undang-undang tersebut telah usang untuk digunakan lagi. Perlu dirombak total. Karena semangat saat itu hanya pada kebebasan pers, akibat dari pembredelan yang dilakukan Orde Baru terhadap Tempo, Detik, Editor, dan sejumlah media lainnya.
Saat ini kita harus merinci secara profesional di dalam undang-undang pers, bagaimana jurnalisme di era demokrasi? Apa saja kriteria produk pers itu? Bagaimana seorang wartawan bekerja? Standar profesi wartawan? Bagaimana mengatasi swa-sensor? Bagaimana mengatur media massa secara profesional ditinjau dari bisnis dan peranannya terhadap publik? Dan bagaimana membudayakan jurnalisme investigasi di Indonesia?
Poin-poin di atas harus dipikirkan bersama. Tidak hanya oleh para insan pers, melainkan juga masyarakat dan eksekutif sebagai pemangku kebijakan. Karena bagaimana pun itu, pers adalah cerminan dari kapasitas berpikir suatu bangsa itu sendiri.
Karena itu sudah saatnya kita meninggalkan wacana gaji rendah wartawan dan kekerasan yang dihadapi jurnalis. Ini adalah masalah usang yang berulang terus sampai kapan pun nanti. Karena logikanya, masalah ini selesai ketika wartawan punya kredibilitas saat bekerja.
Seyogya-nya organisasi semacam Aliansi Jurnalis Independen maupun Persatuan Wartawan Indonesia atau lainnya harus mampu mentransformasikan isu yang lebih relevan. Tidak ada gunanya mengritisi tuntutan gaji tapi tidak mengritisi kapabilitas diri.
Sebaliknya media massa juga harus berani untuk siap bersaing dalam menyajikan kualitas berita bukan saja kuantitas berita. Agar pekerjaan wartawan lebih efisien. Bayangkan, seringkali, di satu kesempatan liputan ada ratusan wartawan yang melakukan reportase hal yang sama. Alih-alih agar tidak ingin kebobolan berita, laporan yang dibuat biasanya hanya ditulis oleh seorang wartawan lalu dibagikan ke teman-temannya.
Opini ditulis di Jakarta, Senin 29 Juni 2015.

Senin, 01 Juni 2015

Kekuatan Risma Dibalik Penutupan Dolly dan Kepercayaan Warga

Sumber Foto Tempo: Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
Surabaya- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi buah bibir ketika memutuskan untuk menutup prostitusi Dolly. Tindakan ini, tidak hanya populer di kalangan masyarakat Surabaya, keputusan ibu dua anak ini juga menjadi perbincangan nasional kala itu.
Meski terjadi pro-kontra yang luar biasa, dia tetap bersikukuh untuk menutup prostitusi terbesar di Asia Tenggara tersebut. Hingga pada pertengahan 2014 lalu, ia benar-benar membuktikan wacana penutupan Dolly. Sebelumnya Risma memang gencar melakukan penutupan prostitusi di Surabaya. Di antaranya seperti prostitusi Bangunsari, Kremil, Moroseneng, dan Jarak.
Pasca-penutupan eks lokalisasi tersebut, Risma pun bergerilya menelurkan berbagai program untuk membantu migrasi mata pencarihan warganya. Ia mengajak para ibu rumah tangga untuk ikut kegiatan ekonomi keluarga, memperkerjakan pria sebagai tenaga honorer di jajaran Pemkot Surabaya, bekerjasama dengan perusahaan sepatu, dan membuatkan sentra UKM di kawasan Dolly.
Berbagai program tersebut, memang dari segi pendapatan tidak sebanding dengan pendapatan warga di saat masa kejayaan Dolly dulu. Setidaknya ini bisa membantu menyambung ekonomi warga yang terdampak, sementara waktu. Namun apakah Risma bisa menjamin bahwa prostitusi benar-benar telah musnah?
Kenyataannya, prostitusi justru telah bermigrasi dari konvensional menjadi transaksi yang modern. Prostitusi saat ini mengubah wajahnya menjadi e-commerce yang masif bergerilya di dunia maya. Pangsa pasarnya pun lebih luas dan tidak lagi terlokalisir.
Memang tidak ada lagi perempuan yang menjajahkan di sepanjang jalan saat malam hari. Di Surabaya juga tidak ada lagi tempat yang terlokalisir khusus prostitusi. Namun justru saat ini penyebaran prostitusi tidak dapat dipetakan. Semua kalangan masyarakat bisa mengakses, bahkan berbagai penyakit sulit terlokalisir.
Apa yang dikatakan oleh Profesor Nur Syam dalam Dramaturgi Trasedental Pelacur dan Tuhan tentang prostitusi perlu dicermati. Dia mengansumsikan prostitusi adalah toilet. Toilet dibutuhkan setiap rumah, begitu analogi konstruktif yang ia bangun. Karena tanpa toilet, anggota keluarga akan buang hajat di sembarang tempat dan tidak terlokalisir. Begitu pun dengan prostitusi, tanpa adanya lokalisir kawasan, maka dia akan menyusup dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat.
Namun persoalannya jika dilokalisir, prostitusi justru hidup di tengah lingkungan masyarakat suatu kawasan. Dampaknya sangat luar biasa. Lingkungan masyarakat menjadi tidak sehat, anak-anak dipaksa untuk mengikuti arus psikologis lingkungan yang negatif, dan masih banyak lagi dampak negatif yang akan diterima lingkungan tersebut.
Hanya saja Nur Syam tidak secara rinci menggambarkan teori yang ia bangun tersebut. Belakangan, kasus yang sama juga menimpa DKI Jakarta. Bahkan Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama mewacanakan untuk membangun apartemen khusus prostitusi. Maksud pria yang biasa disapa Ahok ini, bahwa prostitusi idealnya harus terlokalisir dan dijauhkan dari lingkungan masyarakat.
Nah posisi negara dan pemerintah harus menjadi penyeimbang. Memberikan pilihan jalan ke masyarakatnya. Bukan menunjukkan kebenaran dan kesalahan. Karena secara moralitas, memang diakui bahwa prostitusi dilarang, tapi bagi pelacur yang menggelutinya, apakah ada pelacur yang bercita-cita menjadi pelacur?
Terlepas dari itu, memang selama ini terjadi pro-kontra dan belum ada penelitian lebih lanjut pasca-penutupan lokalisasi. Terpenting adalah problem solving untuk menyelesaikan masalah ini. Karena memang benar yang dikatakan Risma, bahwa prostitusi telah membawa dampak buruk bagi warganya. Tapi di kota metropolitan seperti Surabaya, perlu adanya lokalisasi yang bisa memenuhi hajat warganya.
Itu hanya satu dari banyak masalah yang pernah dihadapi Risma. Meski begitu, di atas kertas sepak terjang Risma selama lima tahun terakhir memimpin Surabaya mendapatkan apresiasi dan perhatian dari banyak kalangan. Di akhir masa pengabdiaannya ini, dia banyak mendapatkan penghargaan. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Yang paling hebat, perempuan kelahiran Kediri 53 tahun silam ini pernah dianugerahi sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia versi The World Mayor Prize 2014. Selang beberapa bulan berikutnya, dia juga dinobatkan oleh Majalah Fortune sebagai tokoh terhebat ke-24 di dunia. Posisi Risma tepat di atas pendiri Facebook, Mark Zukerbercg yang berada di urutan ke-25.
Dalam berbagai kesempatan ia juga sering diundang dalam seminar internasional maupun diskusi internasional. Namanya saat ini telah menggaung dan banyak dikenal masyarakat di belahan dunia. Sejumlah negara bahkan melirik dan menjalin kedekatan hubungan diplomatis antar wilayah.
Di skala nasional, integritas Risma sudah tidak diragukan lagi sebagai wali kota. Bahkan saat rezim Presiden Joko Widodo dimulai, Risma pernah digadang-gadang sebagai calon menteri di kabinet. Secara khusus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminangnya untuk menjadi menteri.
Dalam beberapa kesempatan bertemu wartawan, Risma pun mengakui itu. Meski tidak dengan cara buka-bukaan, namun itu bisa dilihat dari guyonannya bersama wartawan. Tapi dia memutuskan untuk menolak tawaran jabatan menteri dan tetap memimpin Surabaya.
Tidak ada yang tahu, kenapa dia menolak jabatan strategis itu dan tetap memilih sebagai Wali Kota Surabaya. Saat ini, di akhir masa jabatannya Risma memiliki kesempatan untuk maju lagi menjadi Wali Kota Surabaya di periode kedua. Namun sama, sampai saat ini dia juga tak kunjung memberi keterangan resmi tentang niatnya maju lagi sebagai wali kota.
Di sepanjang jalan di Surabaya juga masih terlihat bersih, tanpa satu pun baliho yang mengatasnamakan Risma akan maju kembali. Ini bertolak belakang dengan sejumlah daerah di Jawa Timur. Hampir semua kawasan di daerah telah dipenuhi baliho pasangan incumbent, yang bakal mencalonkan kembali.
Bahkan jika ada aliansi masyarakat yang mendukung Risma untuk maju lagi sebagai wali kota melalui berbagai poster dan baliho pun buru-buru Satuan Polisi Pamong Praja Surabaya membersihkannya. Padahal saat ini proses pemilihan wali kota 2015 mulai berjalan, namun di mata publik Risma masih terlihat santai.
Di pertengahan Mei 2015 lalu, Risma tampak sering bolak-balik Surabaya-Jakarta. Dalam beberapa kesempatan ia menjadi pembicara di banyak tempat. Namun yang menarik, ia dikatakan bertemu dengan Megawati. Ini dibuktikan dengan adanya pendaftaran nama Risma sebagai Calon Wali Kota Surabaya melalui Dewan Pimpinan Pusat PDIP di Jakarta.
Ini mengindikasikan bahwa Risma akan dicalonkan kembali oleh Dewan Pimpinan Cabang PDIP Surabaya sebagai wali kota. Artinya, kecil kemungkinan Risma akan dicalonkan partai lain atau bahkan maju secara independen.
Di satu sisi, sejumlah partai seperti Gerindra, PKB, PKS, PAN, Golkar, dan PPP mengaku telah membentuk poros koalisi. Tujuannya untuk melawan Risma. Caranya dia menggadang-gadang musisi nasional, Ahmad Dhani untuk didapuk menjadi Calon Wali Kota yang mereka usung.
Jika memang benar, maka pertarungan politik Risma dengan Dhani bakal semakin seru. Mengingat keduanya juga sama-sama orang Surabaya dan memiliki popularitas yang kuat. Hanya saja Ahmad Dhani juga belum bicara banyak soal wacana itu. Meski demikian, jika disimpulkan selama lima tahun terakhir, masihkah masyarakat Surabaya menghendaki Risma sebagai wali kota?
Harus dicermati, apa yang ditulis Dan Sperber dan Deirdre Wilson tentang teori relevansi. Bahwa asumsi-asumsi yang diperoleh dari memori masyarakat itu datang dengan derajat kepercayaan yang kuat. Asumsi ini dibangun oleh skema-skema asumsi yang lengkap dan datang dengan cara yang sangat masuk akal.
Ini memiliki koherensi ketika publik menilai Risma bahwa selama ini berhasil memimpin Surabaya. Ini dibuktikan dengan adanya penghargaan-penghargaan yang diperoleh Risma, diyakini sebagai simbol keberhasilan dan kepercayaan publik terhadap dia. Skema ini juga dibangun dari konsistensi Risma menjaga kredibilitasnya sebagai wali kota.
Jika teori tersebut juga diterapkan kepada Ahmad Dhani maka hasilnya akan berbeda. Karena publik berasumsi bahwa dia adalah musisi. Dia memang orang Surabaya, namun bukan berarti dia bisa memimpin Surabaya. Integritas Ahmad Dhani dalam memimpin Surabaya juga sama sekali belum teruji. Kepercayaan-kepercayaan inilah yang dibangun publik secara berkala dan berkelanjutan.
Secara sederhana Dan Sperber menggambarkan bahwa perusahaan yang mengeluarkan biaya lebih kecil dikatakan lebih produktif, dibanding perusahaan yang mengeluarkan biaya lebih besar. Padahal kedua perusahaan itu menghasilkan jumlah produksi yang sama (Teori Relevansi, 183:2009).
Artinya jika merujuk pada pertanyaan sebelumnya, apakah Risma masih dikehendaki warga Surabaya? Tentu jawaban ini hanya bisa diyakinkan saat selesai pemilihan wali kota pada 9 Desember 2015 mendatang. Namun dilihat dari tolok ukur beberapa elemen teori asumtif dan relevansi, warga Surabaya belum melihat sosok lain yang lebih hebat dari Risma.

Translate