Sumber Foto Tempo |
Jakarta- Kebebasan
pers dewasa ini apa benar sudah kebablasan? Atmakusumah pernah mengatakan bahwa
saat ini memasuki era kebebasan yang kebablasan. Tapi bagi saya, bukan
kebebasannya yang kebablasan, tapi aturannya tidak kuat. Ibaratnya, media massa
saat ini digambarkan seperti mesin mobil balap. Sedangkan sampai saat ini
Undang-Undang Pers masih seperti rem untuk mobil angkutan umum.
Memang, dewasa ini
produk pers dituntut untuk lebih cepat. Terlebih di era portal media seperti
saat ini, pelbagai media massa mendadak berlomba-lomba agar bisa menampilkan
berita secepat-cepatnya kepada masyarakat. Berbagai macam jenis berita itu
menjejali otak netizen (pembaca) selama 24 jam dengan jarak hitungan menit.
Jika dikalkulasikan,
rata-rata media massa dapat menerbitkan 500 hingga 700 berita per hari. Dengan
berita sebanyak itu, pastinya membutuhkan banyak wartawan yang tersebar di
seluruh wilayah. Namun dari sekian banyak berita yang ada, berapa persen yang
berkualitas?
Untuk mengejar target
jumlah berita tersebut, wartawan diperas untuk mengejar kuantitas berita tanpa
mempedulikan akurasi dan nilai berita itu sendiri. Ini yang menjadi kritik saya
selama ini. Wartawan sepertinya hanya menjadi seorang public relation sebuah
perusahaan lalu menawarkan berbagai promo sebuah produk. Atau bahkan sekadar corong kepentingan kelompok tertentu.
Apalagi di banyak
portal online tanah air. Sudah tidak perlu disebut lagi isi beritanya. Saya
kira, hanya sedikit media mainstream yang punya prinsip untuk mengedepankan
penting-tidaknya sebuah informasi untuk dipublikasikan.
Padahal berita dibuat
untuk memberi pandangan masyarakat atas substansi informasi, bukan berdasar pada kuantitas informasi. Contoh kecil yang harus kita petik adalah
pemberitaan terkait program UPS yang sudah masuk dalam E-Budgeting Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta. Program ini sempat mencuat dan menjadi trending topic
saat DPRD DKI Jakarta mengajukan hak angket kepada Gubernur DKI Jakarta.
Alasan DPRD DKI
Jakarta mengajukan hak angket, lantaran program e-budgeting dianggap tidak bisa
mengakomodir kepentingan anggotanya. Selain itu, DPRD juga menganggap bahwa
RAPBD yang diajukan Gubernur DKI Jakarta ke Kemendagri belum disahkan dalam
Sidang Paripurna.
Logika berpikir
sederhananya, news value yang harus ditonjolkan adalah terkait terobosan
e-budgeting yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Relevansi program
tersebut, negara mana yang sudah menggunakan? Kemudian, meninjau alasan secara
realistis kenapa DPRD DKI Jakarta mengajukan hak angket dan menolak rencana
tersebut?
Yang terjadi, justru berbagai portal media beramai-ramai memberitakan perseteruan antara Ahok
dan Lulung. Padahal jika dilihat secara substansinya, konflik antara kedua
belah pihak ini tidak relevan dengan kebenaran yang harusnya disampaikan ke
publik. Memang asyik ketika terjadi tek-tok konflik dalam sebuah berita, apalagi itu antara gubernur dan anggota dewan. Apakah alasan itu yang menjadi alasannya?
Mirisnya lagi, sejumlah
media massa mengangkat sosok Lulung habis-habisan di saat menjadi trending topic di Twitter. Bahkan
beramai-ramai mempublikasikan sosok Lulung. Mulai dari foto meme Lulung,
pernak-pernik, kaos, dan berbagai macam hal lainnya.
Korbannya adalah
masyarakat itu sendiri. Apalagi jika kita telaah, kebanyakan pembaca portal online saat ini
adalah masyarakat usia produktif. Mulai dari 20 hingga 30 tahun. Sementara saat ini mereka sebagian besar telah meninggalkan budaya membaca koran atau majalah cetak. Artinya, di dunia maya, mereka
kebanyakan hanya bisa membaca berita sampah yang tidak berkualitas.
Bisa dibayangkan,
tiga puluh tahun lagi masyarakat yang saat ini membaca portal
online apa bisa menyesuaikan dengan dinamisnya ilmu pengetahuan di masa mendatang?
Kemungkinan, justru mereka akan skeptis dengan jurnalisme itu sendiri. Ini juga yang menjadi latar-belakang kenapa
minat baca masyarakat selalu rendah.
Hal ini terjadi
lantaran lemahnya pengawasan tentang produk pers itu sendiri. Alih-alih
sembunyi di balik tameng kebebasan pers, media massa justru membabi-buta dalam
menyediakan informasi. Saya katakan informasi, karena tidak semua media massa
bisa menyajikan berita.
Tentu yang harus kita
garis-bawahi dari kejadian ini adalah dengan melakukan revisi Undang-Undang
Pers Nomor 40 Tahun 1999. Saya melihat undang-undang ini sudah tidak mampu lagi
untuk menjadi wadah dinamisnya produk pers dewasa ini.
Apa yang bisa
dilakukan Dewan Pers saat banyak media massa yang tak memenuhi kaidah-kaidah
jurnalisme? Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach akhirnya hanya menjadi
ajang onani di dalam kelas kuliah jurusan Jurnalistik. Karena tidak ada jaminan
teori tersebut bakal diimplementasikan di kehidupan nyata.
Kita harus secara
bersama-sama mengritisi undang-undang pers itu sendiri. Apakah undang-undang
tersebut bisa mengakomodir kepentingan publik saat ini dan di masa yang akan
datang? Karena sejauh ini yang saya lihat, semangat UU Pers Tahun 1999 hanya
sebatas kebebasan pers itu sendiri.
Tentu jika diterapkan
di era saat ini, undang-undang tersebut telah usang untuk digunakan lagi. Perlu
dirombak total. Karena semangat saat itu hanya pada kebebasan pers, akibat dari
pembredelan yang dilakukan Orde Baru terhadap Tempo, Detik, Editor, dan sejumlah media lainnya.
Saat ini kita harus
merinci secara profesional di dalam undang-undang pers, bagaimana jurnalisme di
era demokrasi? Apa saja kriteria produk pers itu? Bagaimana seorang wartawan
bekerja? Standar profesi wartawan? Bagaimana mengatasi swa-sensor? Bagaimana
mengatur media massa secara profesional ditinjau dari bisnis dan peranannya
terhadap publik? Dan bagaimana membudayakan jurnalisme investigasi di
Indonesia?
Poin-poin di atas
harus dipikirkan bersama. Tidak hanya oleh para insan pers, melainkan juga
masyarakat dan eksekutif sebagai pemangku kebijakan. Karena bagaimana pun itu,
pers adalah cerminan dari kapasitas berpikir suatu bangsa itu sendiri.
Karena itu sudah
saatnya kita meninggalkan wacana gaji rendah wartawan dan kekerasan yang
dihadapi jurnalis. Ini adalah masalah usang yang berulang terus sampai kapan
pun nanti. Karena logikanya, masalah ini selesai ketika wartawan punya
kredibilitas saat bekerja.
Seyogya-nya
organisasi semacam Aliansi Jurnalis Independen maupun Persatuan Wartawan
Indonesia atau lainnya harus mampu mentransformasikan isu yang lebih relevan.
Tidak ada gunanya mengritisi tuntutan gaji tapi tidak mengritisi kapabilitas
diri.
Sebaliknya media
massa juga harus berani untuk siap bersaing dalam menyajikan kualitas berita
bukan saja kuantitas berita. Agar pekerjaan wartawan lebih efisien. Bayangkan,
seringkali, di satu kesempatan liputan ada ratusan wartawan yang melakukan
reportase hal yang sama. Alih-alih agar tidak ingin kebobolan berita, laporan
yang dibuat biasanya hanya ditulis oleh seorang wartawan lalu dibagikan ke
teman-temannya.
Opini ditulis di
Jakarta, Senin 29 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar