Sabtu, 24 Oktober 2015

#BencanaKabutAsap: Simpanse Terakhir

Sumber Foto Tempo

#BencanaKabutAsap #SaveSatwaIndonesia
Matanya memerah, iritasi. Berulang kali jarinya melalui kelopak mata berusaha mencapai titik perih. Sementara ia terlalu sibuk untuk menyadari air matanya menetes di antara ranting pohon yang mati. Tangan kirinya digelayuti dua bayi simpanse yang malang. Sang induk terus mengelus anaknya, yang memiliki bulu halus tapi berubah jadi keriting dalam sesaat.

Saya tidak mengenalinya, karena ia tak memiliki nama. Ia tak pernah menghisap rokok, atau bahkan membutuhkan minyak goreng, sehingga tak pernah memerlukan kelapa sawit. Sementara tak jauh dari rumahnya yang hampir hangus, manusia tak pernah bisa mengerti kesakitannya. Karena ia hanya bisa meraung, sedangkan telinga manusia sepertinya kedap dipenuhi kabut asap.

Di rimbunnya akar pohon api sudah menjilat, asap semakin tebal. Induk simpanse menggendong kedua bayinya menjauh. Melalui satu pohon ke pohon yang lain. Menganyunkan tangan dan kaki di antara cabang ranting yang belum hangus. Dua bayinya mencengkram erat tubuh induknya.

Sesaat sang induk berhenti mengayun, menapak di sebuah cabang pohon yang lumayan besar. Matanya menerawang berulang kali berkedip menahan perih. Melongok di antara pepohonan yang suram, ia kemudian melolong. Wajah paniknya begitu kentara saat ia tak lagi melihat dan mendengar raungan koloninya. Seekor induk simpanse dan dua bayinya tertinggal dari kawanan.

Sementara sang induk kebingungan, dua bayinya tak mau diam. Mereka meronta-ronta dari gendongan. Jemari kecilnya mencakar-cakar wajah induk simpanse. Seolah hendak protes bahwa matanya perih dan tubuhnya panas dijilat suhu udara yang tinggi di atas rata-rata.

Mereka semakin meraung saat angin berhembus kuat menerpanya, dibarengi kabut pekat. Sang induk dalam sesaat seolah membentak dengan menunjukkan gigi taringnya yang tajam menyeringai. Dia ingin memberi isyarat. "Diam, kita akan keluar dari sini."

Tapi ia tak pernah memiliki tujuan pasti, yang ada dalam pikirannya bagaimana dapat menemukan air dan menghirup oksigen, bukan terpaan asap. Dia juga tak tahu arah mata air, tak mengetahui arah angin kemana akan menerpa, dan tak pernah tahu ke mana mencari tempat perlindungan. Mereka hanya tahu rumahnya terbakar, kawanannya pergi entah kemana, dan api berkobar di mana-mana.

Angin semakin kencang berhembus dari belakang tubuhnya. Suhu panas menyeruak di antara ranting kering dan dedaun yang gugur. Sementara api yang lahap seolah mengejarnya, berseru untuk diam dan meratap seperti pohon mahoni yang malas berlari. Sang induk cepat menyadarinya, ia mengayunkan lagi lengannya.

Ia semakin cepat mengayunkan kaki dan tangannya, berusaha mencapai ranting yang kuat. Tapi kenyataannya tak semua ranting itu kuat, hanya beberapa jenis pohon saja. Beberapa kali ia menggapai ranting rapuh, tapi tubuhnya lebih elastis untuk cepat bergerak menggapai cabang ranting yang lebih kuat.

Satu, dua, tiga, dan lebih banyak lagi ranting lapuk terlewati dengan mudah. Sang induk berusaha keras berlari menjauhi titik api yang menjalar. Tapi keberuntungan selalu di tangan manusia, tak pernah tercipta untuk mereka. Ketika tangannya mencengkram ranting yang paling rapuh dari jenis pohon pualam, tubuh mereka terperosok menggelantung. Dalam sekejap ranting yang tak kuat menahan beban tiga simpanse sekaligus pun patah.

Mereka terjatuh, bergulung-gulung dengan tanah gersang yang dahaga datangnya hujan. Dua anaknya terlempar melesat di antara lereng dataran, tersangkut batang pohon yang doyong ke bibir lereng. Sementara sang induk masih terperosok mengikuti grafitasi menarik tubuhnya hingga batas paling dasar dataran.

Tubuhnya menghantam puluhan pohon bertaring dengan duri yang menyeringai. Kepala dan dadanya terbentur batu cadas, menyerupai gundukan akik. Hantaman yang keras itu membuatnya pingsan sekonyong-konyong. Sementar dua anak simpanse yang tersangkut pohon panik meraung-raung kebingungan, mencari induknya.

Di saat bersamaan, api terus menjalar lebih ganas karena dituntun angin yang memburu. Api memang tak memiliki daya saat terdiam, tapi jauh lebih perkasa saat diberi kekuatan. Energinya berangsur-angsur bertambah saat ranting kering dan pohon yang lapuk menawarkan jasa. Matahari yang tak puas menghisap embun pun turut membantunya. Ditambah angin yang luar biasa sepoi menjadi juru arah ke mana api harus melahap.

Selasa, 20 Oktober 2015

Melihat Cermin: Menuntun Sophie Melihat Masa Depan

Sumber Foto Ilustrasi Tempo


“Ketika masa sudah berubah. Di mana pujangga telah berganti era, saat gelap menjadi terang, saat hijau menjadi kelabu, dan kelabu menjadi gelap, aku ingin menemukanmu di kesunyian. Mengecup keningmu dan mengucapkan maaf.”


Selesai pulang kerja, aku tak sabar menuju rumah. Mandi, mengganti baju, dan pergi menemuinya. Sudah terbesit dalam benak apa yang ingin aku lakukan. Ya, entah mengapa sejak kejadian itu ada rasa penasaran dengannya. Melihat tatapan matanya yang nakal, darah terasa mendidih, sudut telinga berdesir karena suara lidah menyelinap.

Ah sudahlah jangan dibahas lagi. Toh pada akhirnya harus limbung, gelagapan karena anti-kemapanan. Setibanya di rumah, aku ingin membawakan sesuatu untuknya. Tapi apa yang ia suka? Dari mana cara mengetahui kesukaannya?

Sebentar aku berselancar di layar smartphone, mencari-cari sesuatu dari dirinya di dalam akun Facebook. Mudah untuk mencarinya, dengan mengetik nama depannya, aku bisa melihat parasnya yang sedu sedang menatapku tajam.

Foto profilnya menunjukkan suatu isyarat. Rambutnya yang lebat ia lipat dijadikan sanggul. Telinganya terlihat sempurna dengan leher yang sedikit menggoda saat dilihat. Lehernya sedikit gemuk dengan guratan lemak di antara tenggorokannya. Selain itu, Ada sebuah tanda lahir pada lehernya.

Senyumnya terlihat mengembang dengan bibir merah kayu manis. Saat melihat hidungnya yang pesek, pancaran aura perempuan Asia menyemburat. Ia seolah mewakili citra perempuan yang pernah saya temui di seluruh Indonesia.

Tak bosan-bosannya mata ini menjamahnya. Tapi aku harus selesaikan segera, sebelum matahari tergelincir. Di dalam profilnya ada sebuah nama kota tempat ia dilahirkan. Kemudian tanggal dan bulan saat ia lahir. Beberapa saat Google sudah tahu apa yang harus dilakukan, mencari zodiaknya.

Dia terlahir sebagai seorang perempuan Cancer, yang cantik. Dari satu di antara laman website ramalan zodiak merinci, seorang perempuan dengan zodiak cancer adalah sosok yang sensitif. Penuh dengan emosi, sehingga suasana hatinya selalu fluktuatif. Dia adalah perempuan yang setia, dan menyukai hal-hal yang istimewa bagi hidupnya.

Dengan cepat saya mulai menginterpretasikan kepribadiannya itu. Saya kira dia adalah penyuka seni. Mungkin sebuah lagu tentang jiwa akan memainkan suasana hatinya yang mudah berubah itu. Di dalam smartphone, kebetulan aku memiliki lagu puitis dari penyanyi slengekan.

“Jangan dengarkan orang bicara. Jangan ikuti orang, mereka cuma sirik sama kita,” begitu grup band, Slank menyairkan arti dari jiwanya. Jujur ini adalah saat-saat yang menguras banyak hal. Waktu, pikiran, tenaga, termasuk perasaan.

“Ketika masa sudah berubah. Di mana pujangga telah berganti era, saat gelap menjadi terang, saat hijau menjadi kelabu, dan kelabu menjadi gelap, aku ingin menemukanmu di kesunyian. Mengecup keningmu dan mengucapkan maaf.”

Aku menuliskan sajak itu di sebuah kertas tissu, yang akan kuberikan padanya. Aku ingin mengingatkannya tentang masa depan. Di saat-saat dia tidak akan mengenal lagi lagu sumbang yang ia nyanyikan, tumpukan sampah, dan rumah bedeng yang menghimpitnya. Meskipun toh saat ini, ia hanya seorang bocah perempuan, usia 9 tahun. Aku ingin ia menyimpannya untuk waktu yang akan lama.


Sementara itu aku melaju menuju perempatan biasanya, untuk kembali melihatnya. Kali itu ada niatan untuk menatapnya lebih dekat. Mengobrol tentang dunia kanak-kanaknya yang tidak menyenangkan. Kemudian mengajarinya berbagai hal tentang kehidupan yang akan ia jalani di masa mendatang. Karena aku sangat mengerti masa lalu dan masa yang tak pernah ia bayangkan.

Minggu, 18 Oktober 2015

Melihat Cermin: Memetik Gitar Sophie

Sumber Foto Ilustrasi Tempo


Matanya mulai memerah diseliputi kantung tebal yang menghitam. Beberapa kali ia memetik senar, tapi tak kunjung nyaring. Ia ulangi sekali lagi, dengan nada serak di batas tenggorokannya yang parau. Persis seperti nyanyian terompet kertas. Dentingan senarnya memecah keramaian, sebentar, lirih-lirih syair khas berbau ranjang pun mengalun terbata-bata.

Dia adalah Sophie Pramita, bocah 9 tahun yang menghabiskan hampir sepanjang hari di lampu merah perempatan pinggiran kota. Tubuhnya sedikit kurus, rambut ikal, dengan muka bulat, menenggelamkan hidung peseknya. Yang paling mengesankan adalah sorot matanya. Pupilnya hitam dengan kornea yang menyudut, seperti pisau tajam yang menguliti siapa pun yang dilihatnya.

Wajahnya kusam, dekil, dengan bau tak sedap yang menyeruak di balik keringat dinginnya. Memang, Sophie jarang mandi. Saban hari, ia hanya mendapatkan jatah satu kali saja. Terkadang, saat sabun batang habis, ia hanya mengandalkan guyuran air untuk membersihkan tubuhnya.

Tapi semua itu tak pernah memudarkan kecantikannya, lebih tepatnya parasnya cukup manis. Sekilas ia persis dengan ibunya, Margareth Sondak. Wajah mereka hampir sama, berbentuk bulat dan bibir menawan. Namun Margareth tak terlihat manis. Untuk satu hal itu, Sophie mewarisi wajah ayahnya, Mahmud Gofrun yang manis. Sayangnya dia tak mewarisi mancungnya hidung si-Mahmud.

Gadis itu anak ke empat dari lima bersaudara. Ia memiliki tiga kakak laki-laki dan satu adik perempuan. Sophie tinggal bersama empat saudara bersama ayahnya di sebuah bedeng tak jauh dari kali, Jakarta Barat. Mereka tinggal terpisah dari ibunya, setelah orang tuanya memutuskan untuk cerai.

Untuk saat ini, itu bukan persoalan bagi Sophie. Ia tidak terlalu memusingkan masalah orang tuanya. Atau bahkan, gadis sekecil itu, belum bisa mengerti kenapa ia tak bisa bertemu dengan sang ibu. Satu-satunya pertanyaan yang sering menyelimutinya adalah, kenapa ia tak sekolah.

Sophie memang belum sekolah, lebih tepatnya tak kunjung sekolah. Apalagi kalau bukan masalah ekonomi. Ayahnya hanya seorang pengepul sampah. Setiap hari ia memiliki tugas untuk mengumpulkan sampah di dua RW. Dia digaji setiap bulan Rp 700 ribu. Untuk menyambung kehidupan sehari-hari, ayah dan kakak sulungnya menambal kekurangan dengan mengumpulkan botol plastik.

Sudahlah, tak bakal cukup waktu semalam untuk mengupas masalah itu. Malam itu Sophie harus kerja lebih keras. Harus lebih lama memetik gitar dan lebih banyak menyanyikan puluhan lagu yang tak ia pahami seluruhnya.

Suara mobil dan tumpukan motor saling mendesak, merangsek bak sapi beringas yang ingin meloncati lampu merah. Setiap kali lampu merah menyala, ia memiliki kesempatan satu menit untuk mendendangkan sebuah lagu. Lalu ia berkeliling, antara satu mobil ke mobil lain untuk mendapat recehan.

Sudah hampir lima jam ia berdiri di tempat itu. Ia duduk di trotoar jalanan, lalu mengeluarkan seluruh recehan di balik kantong plastik bekas bungkus boks permen. Ia juga merogoh saku roknya.

Ia teliti dalam hal membeda-bagikan uang sesuai dengan angka nominalnya. Untuk uang recehan ia kantongi dalam tas kresek warna hitam. Sedangkan uang dengan nominal Rp 5 ribu hingga puluhan ribu ia kantong di dalam rok warna merah yang sering ia kenakan.

Dia menghitung dengan cermat. Tangannya cekatan untuk merapikan uang yang kusut. Meski matanya terasa semakin berat, tak jadi soal baginya. Karena pendapatan malam itu jauh lebih menggembirakan. Setengah jam kemudian, ia menuliskan ke dalam catatannya, Sophie mendapat uang Rp 87 ribu.

Dalam hatinya, masih tersisa Rp 37 ribu untuk ia tabung. Sementara Rp 50 ribu adalah kewajibannya untuk memberi setoran ke Mahmud yang selalu galak terhadapnya. Mahmud memang galak dan perhitungan soal uang. Apalagi jika sudah melihat jumlah pendapatan hasil mengamen Sophie tak mencapai target.

Saat itu, ia tersenyum sumringah. Terasa lega, karena di sepertiga malam yang tersisa ia tak perlu untuk bersusah payah berdiri cukup lama di samping lampu merah. Meski demikian, ia tak berani pulang lebih cepat. Biasanya orang tuanya bakal memarahinya saat melihat Sophie pulang sebelum tengah malam.

Karena itu ia memutuskan untuk istirahat di tempat yang sama, pojok lampu merah. Ia duduk menggagahi portal pejalan kaki. Kemudian tangannya bersender di atas lutut tertekuk sebagai alas agar, kepalanya bisa rebah seketika. Beberapa saat ia tertidur pulas dengan posisi yang memprihatinkan.

Sesekali ia tampak terjaga karena mendengar kebisingan kendaraan memenuhi ujung telinganya. Memang saat tengah malam memang bukanlah jam kritis kemacetan, hanya saja, ulah pengendara yang kebut-kebutan atau balap liar kerap mengganggu tidurnya.

Ia tak pernah protes akan hal itu, lebih tepatnya tak berani. Sophie hanya meluapkannya dengan menggerutu sendiri. Beberapa detik kemudian ia sudah menguap lagi, kepalanya pun sudah tak tertahan untuk tegak.

Tak ada yang mempedulikannya. Terkadang, karena saking berat kantuk menyelimutinya, ia kerap terjatuh dari posisi duduknya. Reflek tubuhnya, seketika menuntunnya untuk berada seperti posisi semula.

Dua jam kemudian ia tersadar pelan-pelan, saat kendaraan sudah mulai bermunculan. Dia sudah pandai menebak, saat itu berarti telah memasuki pukul 03.00 WIB. Mudah untuk mengetahuinya. Sophie hanya cukup melihat, jika kendaraan yang berlalu lalang adalah para pedagang sayur-mayur, berarti saat itu sudah mendekati waktu subuh. Setidaknya, satu jam sebelum kumandang azan benar-benar terngiang di telinganya.

Ia pun bergegas merapikan diri sekadarnya, dengan cara mengucek kelopak dan sudut matanya agar bisa cepat mengusir rasa kantuk. Sophie kemudian pulang ke rumah dengan membawa uang Rp 87 ribu.

Aku  asyik mengamatinya dari kejauahan, lupa bahwa semalaman aku memandanginya. Sebentar lagi, matahari menyeruak, kepadatan bertambah. Aku pun bergegas pulang, berbeda arah dengan rumah Sophie. Di dalam perjalanan aku masih membayangkannya. Begitu pun saat kerja, terkantuk-kantuk aku melamunkan bocah 9 tahun itu.

#Sesi_Pertama_Bagian_3

Melihat Cermin: Menguntit Jejak Gadis Kecil

Sumber Foto Ilustrasi Tempo
Ada rasa bersalah di dalam diri. Seharusnya aku tidak pernah membuatnya menangis. Seharusnya tidak, tapi pada akhirnya aku terlihat bagai manusia yang keji dan bengis. Seketika aku tak bisa memaafkan diri sendiri. Ada perasaan untuk melihatnya lagi sembari mengecup kening dan mengucapkan maaf.

Satu lain hal, aku juga masih penasaran padanya, gadis itu. Tapi dia sudah lari dan menghilang. Masuk di antara gang-gang sempit, Jakarta. Susah sepertinya untuk menemukannya lagi. Tapi rasa penasaran ini sudah tak tertahan lagi, seperti sedang membuncah di atas ubun.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengikutinya, langkah kaki yang membuatnya menghilang di antara padatnya kendaraan. Aku berhenti di sebuah gang kecil, memastikan bahwa bocah kecil berambut ikal itu masuk ke dalam gang itu.

Di pintu masuk gang, tertulis gang melati, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Gang itu cukup sempit, hanya cukup untuk dilalui oleh satu kendaraan, itu pun hanya motor. Di kiri jalan setapak itu, ada pemandangan sebuah kali, lumayan besar. Sedangkan kanannya adalah kawasan perkampungan padat yang banyak dihuni oleh warga pendatang Jakarta, khas logat Jawa bercampur Batak.

Aku terus berjalan menyusuri jalan itu. Masuk ke dalam kampung dengan jalan meliuk-liuk. Tak berapa lama ada sebuah pertigaan kecil yang sepi. Ada beberapa rumah yang terkunci, tapi saat berada di pertigaan itu, tak ada satu pun orang. Begitu pun dengan warga yang lewat, sepi. Aku amati lagi pertigaan sempit, berpola cabang ketapel itu.

Di sisi kanan jalan, terlihat portal sudah mulai rusak karena sering dilalui kendaraan. Sementara jalan ke kiri terlihat masih cukup bagus, tanda jarangi orang melewatinya. Sementara aku menduga gadis itu tinggal tak jauh, pasti di daerah ini.

Gadis kecil usia 9 tahun tidak akan pergi dari rumah cukup jauh, kecuali dia bukan gadis biasa. Tapi tunggu, gadis ini bukan sekedar bocah biasa. Sekecil itu, dia sudah menenteng gitar dan bisa memainkannya. Terlebih dia tidak sekadar hafal satu-dua lagu, tapi beberapa lagu berbahasa Inggris.

Berarti gadis itu adalah bocah yang cukup cerdas. Lebih cerdas dibanding aku. Meski begitu, apa tidak mengherankan jika rumahnya sangat jauh dari jalan raya, aku menemukannya tadi. Aku masih belum percaya dan berpikir ia tinggal tak jauh dari sini.

Aku memilih berbelok ke kiri, lalu masuk ke dalam gang yang makin sempit dibanding sebelumnya. Lagi-lagi tak ada satu pun warga yang ada di depan rumah. Saya pikir semua warga memilih tidur siang, karena terik matahari sedang menyengat.

Aku memilih satu di antara rumah, kemudian mengetuk pintunya. Seorang ibu-ibu gendut membuka pintu rumah sembari membenarkan letak kancing bajunya. Tanpa basa-basi aku menanyakan gadis itu dengan ciri-ciri yang disebutkan.

“Oh, itu mungkin si Shopie, mas,” kata dia. Dia lalu menunjuk sebuah rumah di penghujung gang buntu, dekat kali. Tak berapa lama ada tangis bayi dari dalam rumah perempuan gendut itu. “Maaf ya mas, saya sedang menyusui.”

Aku meraba-raba dalam hati saat mendengar nama Sophie. Cukup puas dengan penjelasan perempuan itu, aku bergegas mendekati rumah yang ditunjukkannya. Dari jarak sekitar 20 meter saya melihat rumah berdinding triplek warna cokelat kehitam-hitaman.

Rumah itu terlihat seperti bedeng reyot dengan genteng seng. Rumahnya agak miring, mungkin karena dekat dengan kali. Saat air meluap, bisa saja rumah itu diterjang ombak dan membuatnya agak doyong ke kiri.

Di depan rumah itu, aku lihat seorang pria usia 55 tahun sedang memilah rongsokan. Tubuhnya agak kerempeng dan berkulit gelap. Wajahnya sudah kisut, berkumis tipis, dan berjenggot. Rambutnya ikal seperti rambut gadis itu. Aku menebak itu adalah ayah Sophie.

#Sesi_Pertama_Bagian_2

Sabtu, 17 Oktober 2015

Melihat Cermin: Gadis

Sumber Foto Ilustrasi Tempo
Diam-diam aku mencumbumu. Aku melihat sorot mata yang jengah dan hidung yang menahan bau amis, kulitku. Aku masih sibuk bertumpu pada keserekahan iblis. Di puncak surga kecil tiba-tiba aku tersentak membanting badan. Nyaliku menciut tertindih rengekan bocah kecil, mengiba. Limbung rasanya, tak mampu berdiri.
Rambutnya ikal berantakan menutup sebagian wajahnya. Tangan dan kakinya juga gemetar menahan sakit. Aku berusaha membenarkan kemejanya yang compang-camping. Kuambil gitar kecilnya, dan kugendong ke pinggir jalan.
Dia tak bergeming saat pikiranku berusaha mengerti perasaannya. Gadis kecil itu justru memalingkan muka dan menyahut kembali gitar kesayangannya. Ia tak mengizinkan aku menyentuh sedikit pun. Dalam tangis ia seolah marah besar. Itu sangat terlihat dari wajahnya yang merah padam.
Tak berapa lama, dia menekuk lutut dan menenggelamkan wajahnya di antara sela sela paha. Ia tak mengizinkan siapa pun mengetahui apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Sementara dia sedang bertanding dengan gejolaknya yang merah padam, aku tertahan, tercekat.
Lirih-lirih aku mengelus rambutnya di antara riuh kendaraan yang serakah. Tangisnya masih terdengar, pelan. Sesegukannya tak habis-habis, sepertinya sedang luber semua air matanya. Sementara sudut trotoar yang panas tak sabar untuk menunggu tumpahan air matanya. Aku hanya bisa mengamatinya, berharap ia membutuhkan sesuatu.
Tak lama ia kemudian melihatku sesaat. Dia mengamatiku lebih jauh lagi. Mulai dari rambutku yang lusuh, mata yang menghitam, dan pipiku yang tirus. Aku berusaha membantunya dengan mendekat. Dia tahu, lalu menggeser pantatnya agak jauh kemudian tertunduk lagi. Ia belum menuntaskan dendam tangisnya, gadis itu melanjutkan lagi.
Aku menarik nafas besar, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menenangkan seorang gadis berusia 9 tahun. Tapi sesuatu tiba-tiba terlintas di benak. Aku mendendangkan lagu anak-anak. Lagu itu bercerita tentang kuda yang mendekati pelangi, lalu melompat-lompat saat gerimis menyentuh kulitnya.
Tetapi tak ada tanda-tanda darinya, saya kira dia bosan mendengarkan itu. Beberapa saat saya baru sadar. Bagaimana bisa, seorang yang telah memiliki gitar kesayangan menyukai lagu kanak-kanak seperti itu. Jelas basi baginya. Aku merasa bodoh saja di hadapan bocah ini.
Sementara gadis itu masih tak bosan menangis. Aku berpikir, harus cari cara lain. Cara yang lebih efektif bagi anak seusia dia tapi dengan intrik yang menarik bagi seorang penyuka gitar. Agak lama saya berpikir, memeras otak di antara terik yang menyengat.
Aku masih menerawang, melihat sekeliling. Tiba-tiba tangisnya terhenti. Dia masih terdiam lalu mengangkat wajah bulatnya. Sembari membasuh air mata yang bercampur peluh keringat dan ingus, gadis itu mengamatiku. Tak berapa lama ia berdiri, kemudian secepat kilat ia lari menjauhiku.
Beberapa saat tubuhnya lenyap tak terlihat di antara padatnya tumpukan kendaraan berjejal manusia. Tak sepatah kata pun yang bisa saya ucapkan, tak juga memanggilnya. Aku kemudian bangkit dari duduk sembari mengingat parasnya. Aku belum mengenalnya. Tapi ada rasa penasaran yang begitu hebat untuk mengetahui namanya.

Translate