Sumber Foto Ilustrasi Tempo |
Ada
rasa bersalah di dalam diri. Seharusnya aku tidak pernah membuatnya menangis.
Seharusnya tidak, tapi pada akhirnya aku terlihat bagai manusia yang keji dan
bengis. Seketika aku tak bisa memaafkan diri sendiri. Ada perasaan untuk
melihatnya lagi sembari mengecup kening dan mengucapkan maaf.
Satu
lain hal, aku juga masih penasaran padanya, gadis itu. Tapi dia sudah lari dan
menghilang. Masuk di antara gang-gang sempit, Jakarta. Susah sepertinya untuk
menemukannya lagi. Tapi rasa penasaran ini sudah tak tertahan lagi, seperti
sedang membuncah di atas ubun.
Tanpa
pikir panjang, aku pun mengikutinya, langkah kaki yang membuatnya menghilang di
antara padatnya kendaraan. Aku berhenti di sebuah gang kecil, memastikan bahwa
bocah kecil berambut ikal itu masuk ke dalam gang itu.
Di
pintu masuk gang, tertulis gang melati, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Gang
itu cukup sempit, hanya cukup untuk dilalui oleh satu kendaraan, itu pun hanya
motor. Di kiri jalan setapak itu, ada pemandangan sebuah kali, lumayan besar.
Sedangkan kanannya adalah kawasan perkampungan padat yang banyak dihuni oleh
warga pendatang Jakarta, khas logat Jawa bercampur Batak.
Aku
terus berjalan menyusuri jalan itu. Masuk ke dalam kampung dengan jalan
meliuk-liuk. Tak berapa lama ada sebuah pertigaan kecil yang sepi. Ada beberapa
rumah yang terkunci, tapi saat berada di pertigaan itu, tak ada satu pun orang.
Begitu pun dengan warga yang lewat, sepi. Aku amati lagi pertigaan sempit,
berpola cabang ketapel itu.
Di
sisi kanan jalan, terlihat portal sudah mulai rusak karena sering dilalui
kendaraan. Sementara jalan ke kiri terlihat masih cukup bagus, tanda jarangi
orang melewatinya. Sementara aku menduga gadis itu tinggal tak jauh, pasti di
daerah ini.
Gadis
kecil usia 9 tahun tidak akan pergi dari rumah cukup jauh, kecuali dia bukan
gadis biasa. Tapi tunggu, gadis ini bukan sekedar bocah biasa. Sekecil itu, dia
sudah menenteng gitar dan bisa memainkannya. Terlebih dia tidak sekadar hafal
satu-dua lagu, tapi beberapa lagu berbahasa Inggris.
Berarti
gadis itu adalah bocah yang cukup cerdas. Lebih cerdas dibanding aku. Meski
begitu, apa tidak mengherankan jika rumahnya sangat jauh dari jalan raya, aku
menemukannya tadi. Aku masih belum percaya dan berpikir ia tinggal tak jauh
dari sini.
Aku
memilih berbelok ke kiri, lalu masuk ke dalam gang yang makin sempit dibanding
sebelumnya. Lagi-lagi tak ada satu pun warga yang ada di depan rumah. Saya
pikir semua warga memilih tidur siang, karena terik matahari sedang menyengat.
Aku
memilih satu di antara rumah, kemudian mengetuk pintunya. Seorang ibu-ibu
gendut membuka pintu rumah sembari membenarkan letak kancing bajunya. Tanpa
basa-basi aku menanyakan gadis itu dengan ciri-ciri yang disebutkan.
“Oh,
itu mungkin si Shopie, mas,” kata dia. Dia lalu menunjuk sebuah rumah di
penghujung gang buntu, dekat kali. Tak berapa lama ada tangis bayi dari dalam
rumah perempuan gendut itu. “Maaf ya mas, saya sedang menyusui.”
Aku
meraba-raba dalam hati saat mendengar nama Sophie. Cukup puas dengan penjelasan
perempuan itu, aku bergegas mendekati rumah yang ditunjukkannya. Dari jarak
sekitar 20 meter saya melihat rumah berdinding triplek warna cokelat
kehitam-hitaman.
Rumah
itu terlihat seperti bedeng reyot dengan genteng seng. Rumahnya agak miring,
mungkin karena dekat dengan kali. Saat air meluap, bisa saja rumah itu
diterjang ombak dan membuatnya agak doyong ke kiri.
Di
depan rumah itu, aku lihat seorang pria usia 55 tahun sedang memilah rongsokan.
Tubuhnya agak kerempeng dan berkulit gelap. Wajahnya sudah kisut, berkumis
tipis, dan berjenggot. Rambutnya ikal seperti rambut gadis itu. Aku menebak itu
adalah ayah Sophie.
#Sesi_Pertama_Bagian_2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar