Minggu, 18 Oktober 2015

Melihat Cermin: Menguntit Jejak Gadis Kecil

Sumber Foto Ilustrasi Tempo
Ada rasa bersalah di dalam diri. Seharusnya aku tidak pernah membuatnya menangis. Seharusnya tidak, tapi pada akhirnya aku terlihat bagai manusia yang keji dan bengis. Seketika aku tak bisa memaafkan diri sendiri. Ada perasaan untuk melihatnya lagi sembari mengecup kening dan mengucapkan maaf.

Satu lain hal, aku juga masih penasaran padanya, gadis itu. Tapi dia sudah lari dan menghilang. Masuk di antara gang-gang sempit, Jakarta. Susah sepertinya untuk menemukannya lagi. Tapi rasa penasaran ini sudah tak tertahan lagi, seperti sedang membuncah di atas ubun.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengikutinya, langkah kaki yang membuatnya menghilang di antara padatnya kendaraan. Aku berhenti di sebuah gang kecil, memastikan bahwa bocah kecil berambut ikal itu masuk ke dalam gang itu.

Di pintu masuk gang, tertulis gang melati, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Gang itu cukup sempit, hanya cukup untuk dilalui oleh satu kendaraan, itu pun hanya motor. Di kiri jalan setapak itu, ada pemandangan sebuah kali, lumayan besar. Sedangkan kanannya adalah kawasan perkampungan padat yang banyak dihuni oleh warga pendatang Jakarta, khas logat Jawa bercampur Batak.

Aku terus berjalan menyusuri jalan itu. Masuk ke dalam kampung dengan jalan meliuk-liuk. Tak berapa lama ada sebuah pertigaan kecil yang sepi. Ada beberapa rumah yang terkunci, tapi saat berada di pertigaan itu, tak ada satu pun orang. Begitu pun dengan warga yang lewat, sepi. Aku amati lagi pertigaan sempit, berpola cabang ketapel itu.

Di sisi kanan jalan, terlihat portal sudah mulai rusak karena sering dilalui kendaraan. Sementara jalan ke kiri terlihat masih cukup bagus, tanda jarangi orang melewatinya. Sementara aku menduga gadis itu tinggal tak jauh, pasti di daerah ini.

Gadis kecil usia 9 tahun tidak akan pergi dari rumah cukup jauh, kecuali dia bukan gadis biasa. Tapi tunggu, gadis ini bukan sekedar bocah biasa. Sekecil itu, dia sudah menenteng gitar dan bisa memainkannya. Terlebih dia tidak sekadar hafal satu-dua lagu, tapi beberapa lagu berbahasa Inggris.

Berarti gadis itu adalah bocah yang cukup cerdas. Lebih cerdas dibanding aku. Meski begitu, apa tidak mengherankan jika rumahnya sangat jauh dari jalan raya, aku menemukannya tadi. Aku masih belum percaya dan berpikir ia tinggal tak jauh dari sini.

Aku memilih berbelok ke kiri, lalu masuk ke dalam gang yang makin sempit dibanding sebelumnya. Lagi-lagi tak ada satu pun warga yang ada di depan rumah. Saya pikir semua warga memilih tidur siang, karena terik matahari sedang menyengat.

Aku memilih satu di antara rumah, kemudian mengetuk pintunya. Seorang ibu-ibu gendut membuka pintu rumah sembari membenarkan letak kancing bajunya. Tanpa basa-basi aku menanyakan gadis itu dengan ciri-ciri yang disebutkan.

“Oh, itu mungkin si Shopie, mas,” kata dia. Dia lalu menunjuk sebuah rumah di penghujung gang buntu, dekat kali. Tak berapa lama ada tangis bayi dari dalam rumah perempuan gendut itu. “Maaf ya mas, saya sedang menyusui.”

Aku meraba-raba dalam hati saat mendengar nama Sophie. Cukup puas dengan penjelasan perempuan itu, aku bergegas mendekati rumah yang ditunjukkannya. Dari jarak sekitar 20 meter saya melihat rumah berdinding triplek warna cokelat kehitam-hitaman.

Rumah itu terlihat seperti bedeng reyot dengan genteng seng. Rumahnya agak miring, mungkin karena dekat dengan kali. Saat air meluap, bisa saja rumah itu diterjang ombak dan membuatnya agak doyong ke kiri.

Di depan rumah itu, aku lihat seorang pria usia 55 tahun sedang memilah rongsokan. Tubuhnya agak kerempeng dan berkulit gelap. Wajahnya sudah kisut, berkumis tipis, dan berjenggot. Rambutnya ikal seperti rambut gadis itu. Aku menebak itu adalah ayah Sophie.

#Sesi_Pertama_Bagian_2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate