Rabu, 07 Desember 2011

AKU KEHILANGANMU

Aku kehilanganmu

pada jejak langlah ini

Aku rapuh kasih!

Kala kuterseret watu

kembali kejalan yang seharusnya

kita bersama-sama

adalah mimpi!

Aku tak dapat merengkuhmu

diujung perempatan jalan

yang masing-masing kita harus memilih

Aku rapuh kasih!

Jika bibir dan kata

mendangkalkan sampan

serta nahkodaku

menuju pelbuhanmu

Sungguh aku rapuh!

By: komet 14,Nov,2011


Sabtu, 03 Desember 2011

“DIKRIMINASI PELACUR: Perspektif Struktur Sosialnya”

Penulis: Senja Hidayat//

1. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan yang begitu signifikan manusia disuguhi realitas yang sangat mencengangkan tentang berbagai aspek kehidupan yang terus saja progres hingga bahkan regres. Mulai dari teknologi yang terus berkembang pesat, perkembangan budaya, sosial, politik hingga membentuk peradaban pembaharuan yang majemuk. Menurut Tamudji (1991: 142) modernisasi adalah jenis proses perubahan yang diupayakan sengaja. Namun tidak semua pandangan perubahan sengaja dapat digolongkan sebagai medernisasi. Ada pandangan yang menganggap bahwa proses perkembangan ke arah modern itu adalah perkembangan dalam alam pikiran/gagasan. Dalam masa perkembangan tersebut ke-semua aspek kehidupan tentunya tidak akan terlepas dari istilah komunikasi. Termasuk dari segi aspek kehidupan kaum terpinggirkan seperti para Pelacur. Oleh karena kebutuhan seksualitas dalam kehidupan manusia yang sangat penting, tidak hanya sebagai kebutuhan reproduksi, tetapi juga mengandung makna rekreasi. Entah sebagai kegiatan reproduksi ataupun wahana rekreasi semata sebagaimana dunia sosial lainnya, seksualitas memiliki performance, tata cara, komunikasi dan upacara-upacaranya sendiri. Dengan demikian seksualitas bukanlah sekedar masuknya kelamin Laki-Laki ke dalam kelamin Perempuan, namun ia telah memiliki hukum otonominya sendiri. Seksualitas juga masuk rana ekonomi, kesehatan, sosial, budaya, agama dan juga politik. Ini juga mengindikasikan bahwa seberapa lamakah usia seksualitas hadir di muka bumi ini? Yakni seberapa lama manusia dilahirkan di dunia. Dari sejak jaman Adam dan Hawa sampai saat ini dan terus hingga penghabisan masa bumi ini, eksistensi seksualitas akan mendampingi manusia hingga akhir hayatnya. Nur Syam (2010: 03). Seperti uraian di atas tentang seksualitas dalam eksistensinya. Pelacur yang dominan dengan dunia hitam dan gelap juga memiliki rana yang mencakup atas semua hal tersebut, seperti; agama, politik, sosial, dan budaya. Siapapun tidak akan mengingkarinya bahwa dunia pelacuran bukanlah pilihan utama di dalam bahtera kehidupan sosial masyarakat. Bahkan, tidak ada seorangpun yang bercita-cita menjadi seorang pelacur. Kerasnya kehidupan sosial dan bahkan tekanan psikologis hingga ekonomi yang membuat mereka terjerumus dan menjalani kehidupan yang kelam. Secara struktural para pelacur didekonstruksikan sebagai perempuan malam atau kupu-kupu malam hingga perempuan nakal yang menempati lembah hitam. Sebutannya yang melekat pada mereka pun bervariasi. Mulai dari; perempuan jalanan, lonte, sundal, pekerja seks, pelacur, begenggek, atau bahkan dalam bahasa Jawa biasa disebut upruk. Mereka adalah bagian dari tatanan sosial atau di dalam kelompok perempuan yang terbuang, ternista dan tak terhormat. Jika memandang dari sudut faktor ekonomi sebagaimana diungkapkan oleh Parsudi Suparlan (1994: XV), perempuan adalah komoditi dan ketika akses ekonomi tidak dia dapatkan maka jalan pintas yang dapat dilakukannya adalah dengan menjual dirinya sendiri (menjadikan dirinya pelacur). Karena perempuan adalah komoditi untuk pasar kerja, baik sebagai tenaga kerja murah ataupun sebagai komoditi hiburan. Hal senada juga ditambakan Mosco (1996: 60) juga menggambarkan adanya kekuasaan laki-laki dalam dunia kerja, dimana dalam lingkup kapitalisme perempuan selalu dibayar di bawah rata-rata, sementara laki-laki dibayar di atas rata-rata. Tidak peduli apakah status sosial perempuan itu sudah menikah atau belum. Ellys (2009: 114) menggambarkan, keberadaan diskriminasi perempuan tehadap dunia kerja tidak terlepas dari the economic man, yaitu laki-laki yang terlalu mengagungkan diri sebagai pekerja produktif, tapi sebenarnya mereka bekerja hanya untuk melarikan diri dari kekecewaan hidup ata sekedar bersenang-senang. Akibatnya, mereka melakukan segala cara untuk dapat meraih dan melakukan apapun yang bisa mereka perdayakan, atasi, dan jika perlu menghancurkan segala hal yang menentang mereka. Keberadaan perempuan yang berprofesi sebagai pelacur menempatkan mereka pada posisi yang ambivalen seperti yang diungkap Nur syam (2010: 77), bahwa praktik pelacuran di indonesia memang tidak seliberal di Thailand namun sikap pemerintah yang ambivalen, karena di satu sisi pelacuran dimusuhi karena dianggap sebagai tindakan penyelewengan seksual dan perdagangan manusia, tetapi di sisi lain dibutuhkan sebagai sarana untuk menambah devisa daerah. Keberadaan tempat pelacuran yang didapati di seluruh indonesia mengindikasikan bahwa ada dualisme perlakuan terhadap pelacur, yakni dibenci sekaligus diminati. Bahkan sperti kabupaten dan kota di seluruh jawa timur telah memiliki tempat pelacuran sendiri-sendiri. Meskipun dari beberapa kabupaten telah memiliki perda maksiat, namun tetap saja pelacuran mempunyai dunianya sendiri dan tidak dapat serta-merta disingkirkan. Hal itu disebabkan karena dunia pelacuran memiliki logikanya sendiri; selama ada pelanggan yang membutuhkan pelampiasan nafsu maka selama itu pula dunia seks bebas akan tetap ada. Kaum pelacur ini adalah kelompok masyarakat yang paling rentan dari banyak sisi. Mereka juga paling rentan terhadap terjangkitnya penyakit kelamin, seperti HIV-AIDS, yang merupakan penyakit mematikan sebagai akibat dari gonta-ganti pasangan seksual. Sulit dibayangkan bahwa mereka setiap hari harus bergelut dengan dunia kelamin yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tidak diketahui apakah orang yang bersetubuh dengannya adalah orang yang steril dari penyakit atau tidak. Oleh karena itu sangat wajar jika mereka dianggap hidup dalam kegelapan, Nur Syam (2010: 56). Dari perspektif di atas penulis mencoba menelisik dan membahas serta mengurai permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan kelompok Pelacur. Dari tinjauan latar belakang masalah di atas dapat penulis kaji sebagai makalah. Penulis tertarik untuk membahas dan mengurai realitas kehidupan kaum terpinggir seperti pelacur dari seluruh aspek baik sosial, ekonomi, agama dan politik. Untuk memperoleh pengetahuan dan memperdalam secara lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka penulis memberi judul dalam makalah ini “Diskriminasi Pelacur: perspektif struktur dan sosialnya  

2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan hal ter-pokok dalam sebuah penelitian maka dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis mencoba mengejewantahkannya atas dasar masalah-masalah yang mencuat bahkan mengakar di dalam dunia kepelacuran di Gandul. Terdapat beberapa hal terkait rumusan masalah tentang profesi pelacur ataupun kelompok masyarakat terpinggirkan seperti pelacur. Adalah sebagai berikut:
2.1. Memahami masalah-masalah yang terjadi di dunia kepelacuran seperti dari aspek agama, sosial, ekonomi dan politik.
2.2. Sejauh manakah Hak Asasi manusia dan gerakan Gender dapat menjembatani perempuan?
2.3. Bagaimana keberagaman kaum pelacur di tengah kehidupan yang carut-marut tersebut.Baik secara tekanan struktural maupun kultural?
2.4. Apakah yang harus dilakukan dalam mengendalikan pergerakkan dan pemberian jaminan struktur sosial pada kaum pelacur? Berangkat dari masalah-masalah di atas penulis mempersempit Makalah kepelacuran dalam konteks wilayah. Yakni kelompok pekerja seks di Gandul didusun Pakah, desa Gesing, kecamatan Semanding, kabupaten Tuban.  

3. Tujuan
Berdasarkan latar belakang perumusan masalah tersebut di atas, maka penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
3.1. Untuk mengetahui masalah-masalah yang terjadi di dunia kepelacuran seperti dari aspek agama, sosial, ekonomi dan politik.
3.2. Untuk mengetahui sejauh mana Hak Asasi manusia dan gerakan Gender dapat menjembatani perempuan.
3.3. Untuk mengetahui keberagaman kaum pelacur di tengah kehidupan yang carut-marut tersebut. Baik secara tekanan struktural maupun kultural.
3.4. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dalam mengendalikan pergerakkan dan pemberian jaminan struktur sosial pada kaum pelacur.  

4. Manfaat
Diharapkan makalah ini mempunyai manfaat yang berarti bagi penulis dan teman-teman sejawat Prodi Ilmu Komunikasi, angkatan 2008 serta bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Diharapkan bermanfaat baik perkembangan struktur dan kultur sosial masyarakat khususnya kaum terpinggirkan, pelacur.
• Manfaat Teoritis
a) Diharapkan dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi, tentang keragaman kehidupan dunia prostitusi beserta ambivelensinya.
• Manfaat Praktis
a) Dapat memberi sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan dunia prostitusi. Bagi perkembangan struktur maupun kulturnya
b) Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah ataupun pihak lainnya untuk memberikan jaminan keadilan sosial bagi seluruh masyarkat tanpa terkecuali baik dalam kesehjateraannya maupun tingkat kualitas pendidikan.    

5. Tinjauan pustaka 

5.1. Pengertian Komunikasi dan sensualitas
Kata atau istilah komunikasi ( dari bahasa inggris “communication” ), secara epistemologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Kata communis memiliki makana“berbagi” atau “menjadi milik bersama” yaitu usaha yang memiliki tujuan untukkebersamaan atau kesamaan makna. Komunikasi secara terminilogis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi ini adalah manusia.Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut dijelaskan secara efektif oleh Mulyana (2007) bahwa para ahli komunikasi sering mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyannya, The Structure and Function ofCommunication in Society. Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untukmenjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel to Whom with What Effect? Jika dikaitkan dengan proses sensualitas, komunikasi memiliki tempat tersendiri di dalam hukum-hukum seksualitas. Seksualitas adalah budaya manusia yang tertua. Di dalam sejarah agama-agama, terutama yang terkait dengan reproduksi, seksualitas adalah bagian terpenting dari proses reproduksi. Dengan proses seksualitaslah manusia dapat beranak-pinak mengembangkan keturunannya. Dengan demikian (Nur Syam: 2010: 42) mengatakan seksualitas adalah domestic area, sangat privat namun memiliki kekuatan luar biasa di dalam kehidupan manusia. Dunia ini memang berjalan seperti layaknya bandul. Pada masa lalu-terutama dalam masyarakat purba, mereka meiru perilaku binatang dalam berhubungan seks. Kemudian, seiring dengan ketatnya norma agama, muncullah seksualitas victorian dan pada saat yang lain ketika agama sudah memulai kehilangan daya rekat moralitasnya maka di kala itu muncul lagi “pasar raya” seksualitas dan bahkan muncul kebebasan seks tanpa batas. Dunia sekarang melaju kencang menuju revolusi seksual yang tidak terkendali. Oleh sebab itu merebaknya dunia pelacuran hingga daerah tentunya akibat dari manusia kehilangan nilai dan moralnya. Akibat perkembangan teknologi media, seksualitas yang semula berada di ruang domestic, sangat privat, dan berada di ruang-ruang khusus tiba-tiba memasuki wilayah publik dan bahkan masuk rana industri. Di negara-negara barat, industri seks telah memasuki masa keemasannya. Bahkan di Amerika Serikat industri seksualitas tidak main-main, nilainya bisa mencapai USD 12 miliar atau Rp. 108 triliun. Dalam era modern seperti ini yang ditandai dengan eksploitasi media informasi telah menyebabkan seksualitas menjadi lahan industri yang luar biasa, (Nur Syam: 2010: 46). Oleh sebab itu tidak heran jika peran media massa menyumbangkan perkembangan revolusi seks. Dari wacana kekinian media massa seperti televisi, internet dan lain sebagainya telah memberikan ruang yang sangat umum untuk membicaraka atau melakukan hubungan seksualitas secara terang-terangan. Dari pemikiran Nur Syam dapat dilihat adanya evolusi komunikasi dalam dunia kepelacuran. Dahulu sebelum era perkembangan internet dan media lainnya, dunia kepelacuran hanya terkonsentrasi bagi khalayak penikmat seks semata. Kini bukan lagi orang-orang dewasa yang dapat menikmati seks bebas melainkan anak di bawah umurpun dapat masuk dalam dunia kepelacuran. Bahkan tidak jarang kita melihat adanya berita di media massa, gadis dibawah umur, atau remaja menjual teman bahkan kekasihnya sendiri ke dunia pelacuran.

5.2. Ambivelensi feminisme perspektif dunia prostitusi.
Terdapat banyak faktor penyebab mengapa kaum perempuan mengalami bias (ketimpangan) gender, sehingga mereka belum dapat setara dengan laki-laki. Pertama, budaya patriarki yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik, yang belum sepenuhnya berpihak pada kaum perempuan. Ketiga, faktor ekonomi masyarakat, dimana sistem kapitalisme global yang melanda dunia, sering kali justru mengekploitasi kaum perempuan. Keempat, faktor intrepretasi teks-teks agama yang berbias gender (Mustaqim 2008: 15). Secara etimologis kata “feminisme” berasal dari bahasa latin, yaitu “feminia” yang berarti memliki sifat-sifat keperempuanan. Kemudian kata itu ditambah “ism” menjadi feminism, berarti paham keperempuanan yang ingin mengusung isu-isu gender. Yang berkaitan dengan nasip perempuan yang belum mendapatkan perlakuan secara adil di berbagai sektor kehidupan baik sosial, ekonomi, domestik, politik maupun pendidikan. Dalam perkembanganya kata tersebut digunakan untuk menunjuk teori persamaan kelamin (sexual equality). Dan secara historis, istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1895, dan sejak saat itu pula feminisme dikenal secara luas (Mustaqim 2008: 15). Pada masanya gerakan feminisme pernah tenggelam, kedudukan perempan hingga 1950-an tidak pernah digugat. Pada tahun 1960-an, saat gerakan-geraa liberal muncul dan terutama setelah Betty Friedan menerbitkan buku The Feminine Mystique (1963), gerakan feminisme barulah menuai jamannya (Nur Syam: 2010: 35). Oleh karena dalam hubungannya dengan banyaknya bukti kiranya dapat dinyatakan. Pertama, secara lintas budaya dan nyata di dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin maupun pola universal dari sekurang-kurangnya tingkat dominasi laki-laki hal itu merupakan akibat dari perbedaan bilogis yang mendasar antara kedua jenis kelamin. Kedua, variasi-variasi lintas budaya terutama dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin dan dalam intensitasdominasi laki-laki hendk dijelaskan terutama dengan mengacu pada susunan ekologi, teknologi, dan ekonomi. Ketiga, pada beberapa masyarakat, perang dapat secara kuat mengintensifkan pola-pola dominasi laki-laki atas perempuan. Selanjutnya, atas ketimpangan-ketimpangan struktur sosial perempuan juga berimbas dalam aktifitas dunia pelacuran atau khususnya industrialisasi dunia prostitusi. (Nur Syam: 2010: 80) di negara- negara di Asia Tenggara juga banyak tempat pelacuran, seperti di malaysia, singapura, filipina, indonesia, maupun negara-negara Asia Tengara lainnya. Akan tetapi, tempat prostitusi yang paling terkenal barangkali adalah pattaya di Thailand. Pemerintah Thailand sendiri bahkan menganggap pelacuran sebagai daerah tempat tujuan wisata. Oleh karna itu, pemerintah tidak melakukan permusuhan terhadap dunia pelacuran, tetapi justu memanfaatkannya sebagai daerah tujuan wisata yang dapat mendatangkan devisa bagi negara. Tempat pelacuran pun dikelola dengan baik sehingga terjadi simbolis mutualisme antara pelacuran dan tourisme. Sebuah penelitian yang menggugah minat mengenai dunia pelacuran di Thailand adalah tulisan Tham Dam Truong, tentang hubungan seks, uang, dan kekuasaan. Di Thailand, seks dikelola dan dikaitkan degan kebijakan tourisme. Dengan demikian, pelacuran tidak hanya dinikmati oleh para pelancong dalam negeri, tetapi ia bahkan digunakan sebagai daya tarik bagi para pelancong dari luar negeri. Upaya pemerintah Thailand mengenai hal ini berhasil dengan sangat baik sehingga wisata dan seksualitas menjadi dua sisi yang saling terkait dan simbiotik mutualistik. Sejarah gerakan melawan pelacuran dimulai pada abad XIX, yakni ketika pelacuran dianggap sebagai penyimpangan perilaku seksual. Jika sebelumnya pelacuran hanya menjadi fenomena pinggiran maka semenjak adanya gerakan politik pelacuran, persoalan ini tidak hanya menjadi urusan lokal, tetapi telah menjadi wacana negara. Di sini, kekuasaan pun mulai memerankan diri. Di Barat pun kemudian muncul sebagai regulasi yang terkait dengan persoalan pelacuran. Sebagai misal adalah munculnya Kesepakatan internasional tentang Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih pada 1904. Sejak saat itu, pelacuran dianggap kejahatan perdagangan, promiskuitas, dan tidak acuhan emosional. Lalu bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita terhadap prostitusi? Hingga sekarang, belum ada seorang pun yang berhasil secara tuntas mendekriminalisasi prostitusi dan mengeliminasi semua masalah yang berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah Indonesia hanya sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi lainnya, hal itu justru akan mendorong prostitusi berlangsung secara “bawah tanah”. Pada tahap berikutnya, prostitusi bawah tanah ini akan mendorong munculnya campur tangan organisasi kriminal terorganisasi maupun korupsi di kalangan penegak hukum, dan muncul masalah sosial lainnya. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional. Wujud dari pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual adalah munculnya kebijakan nasional yang mendorong pemerintah daerah membuat konsep “pusat kesenangan seksual” dengan cara mendirikan bangunan besar dan bertingkat di pusat bisnis di tengah-tengah kota. Akan lebih bijaksana karena dampak sosialnya paling kecil dibandingkan dengan membangun lokalisasi wanita tunasusila (WTS) di daerah yang bercampur baur dengan penduduk setempat.  

5.3. Aspek kehidupan pelacur dan model pendekatan komunikasi partisipatifnya
Komunikasi partisipatif ditujukan sebagai upaya memperkuat posisi perempuan dalam perubahan sosial dan suatu pendekatan yang sangat signifikan bagi terciptanya kesadaran. Komunikasi partisipatif merupakan komunikasi horisontal yang bersifat dua arah dan hanya terjadi antara partisipan yang sederajat atau setara, juga menciptakan penyebaran dan keseimbangan arus informasi yang sekaligus mendorng munculnya kemandirian. Berikutnya Ellys (2008: 23) mengemukakan lima konsep komunikasi partisipatif. Pertama, adalah conscientization, yaitu proses dimana manusia bukan hanya sebagai penerima pesan (receiver), tetapi juga sebagai subjek yang berpengetahuan, yang memperoleh pendalaman kesadaran tentang realitas sosiokultural yang membentuk hidup mereka, dan sekaligus sadar akan kapasitas mereka untuk melakukan perubahan pada realitas itu sendiri. Kedua, adalah model konvergen yang mempersyaratkan adanya patisipasi masyarakat (kelompok pelacur) dalam setiap perubahan sosial pembangunan. Di sni terjadi proses komunikasi dua arah dan interaktif karena adanya pertukaran makna diantara para pelakunya yang disebut dengan partisipan, bukan penerima ataupun pengirim, dimana masing-masing memiliki posisi yang sama. Ketiga, adalah pendekatan public sphere yang diperkenalkan Jurgen Habernas (1990). Ia berpendapat bahwa posisi yang seimbang akan memberikan kesempatan yang sama untuk mewujudkan kepentingan masing-masing. Para partisipan membangun kepentingan bersama melalui dialog yang terjadi di dalam. Dalam konsep ini, dialog merupakan aktifitas komunikasi terbuka dan dapat diakses oleh para peserta. Keempat, adalah geaaroots communication, yaitu komunikasi yang menggunakan indigenous media atau yang sering disebut engan media tradisional. Media yang mengakar di masyarakat dan tidak memerlukan biaya mahal sehingga diharapkan banyak masyarakat yang menggunakannya. Hal terpenting dari media ini adalah para peserta dilibatkan dalam proses ciptaan dan penggunaannya. Dari konsep yang diberikan oleh Ellys (2008) ini dapat mampu memberdayakan prostitusi, khususnya para pelacur dari segi aspek kehidupannya. selain dari pada itu juga mengkaji terhadap fenomena dunia prostitusi dan dapat menempatkan diri dalam posisi empati, bukan simpati, ataupun antipati. Dan tidak berada dalam posisi membela atau mencerca tindakan-tindakan yang dilakukan kaum pinggiran (pelacur) Dalam konsep teori Dramaturgi Trasendental yang dikembangkan oleh Nur Syam (2010:178) pun memberikan penafsiran yang sama terhadap dunia pelacuran dan dari interaksionisme simboliknya. Di dalam konsep teori interaksionisme simbolik, didapati adanya dialektika antara diri (self) dan pikiran (mind). Represetasi pikiran adalah “I” sementara representasi diri adalah “Me”. Antara I dan Me digambarkan dalam pernyataan Mead: bahwa diri pada dasarnya adalah proses sosial yang berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan. Hanya saja, I dan Me adalah proses yang terjadi di dalam proses diri yang lebih luas, keduanya bukanlah sesuatu (things). Mind and self adalah proses dialektis yang melibatkan impulse (dorongan hati), presepsi reaksi terhadap rangsangan dan manipulasi kemampuan untuk memilih sesuatu. Dari berbagai perspektif pendekatan tersebut para pelacur memiliki banyak faktor aspek kehidupannya. baik itu aspek sosio-kultur domestic maupun dalam dunia industrialisasinya, karena pada dasarnya dunia pelacuran dapat dilihat dari beberapa aspek seperti sosial, agama, politik maupun ekonomi. Kalau kita melihat dari aspek nilai agamisnya, apakah pelacur itu pernah sholat? Apakah pelacur itu pernah menyembah Tuhannya? Apakah pelacur itu dilaikkan oleh Tuhan dan diampuni selruh dosanya? Semua itu hanya tuhan yang tahu. Dan, jika melihat dari aspek sosialnya, apakah pelacur diterima dalam tatanan sosial-masyarakatnya masing-masing? Apakah pelacur diuntungkan sepenuhnya dari segi ekonomi? Dan apakah pelacur tidak bersinggungan langsung dengan kegiatan politik? Dan Tuhan itu adalah misteri, mestinya Dia hadir di dalam kemisterianNya itu sehingga jangan salahkan jika ada orang yang mengklaim memiliki pengalaman unik terkait dengan Tuhannya. Sebab, Tuhan bisa hadir di mana sja dan kapan saja serta kepada siapa saja (Nur Syam 2010:154). Maka dari itu sama sekali tidak diperkenankan diskriminasi kepada pihak manapun dalam hal ini tentang kehidupan pelacur, seperti dalam firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kalian orang yang teguh beraksi kepada Allah dengan adil dan janganlah kalian menjadikan urusan satu kaum menjadikan kalian berlaku tidak adil berlaku adillah kalian sesungguhnya ia lebih dekat kepada ketaqwaan kepada Allah sesunggunya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian perbuat ” (QS. Al-Maidah: 8) Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul mu'mini dinuhu, wa muru'atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn Hibban). (syafii 2006: 05/09) Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama,hinggalima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin jangan marah, (an la taghdlaba in istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).  

5.4. Hak Sosial Kemasyarakatan Perempuan Dan Pelacur
Ilmu pengetahuan biomedik maupun psikososiokultural makin lama makin paham akan kerumitan dan keanekaragaman seks (biologis), (identitas dan ekspresi) gender dan seksualitas (orientasi, pilihan, ekpresi atau tindak/perilaku seksual) kita manusia (Oetomo 2006: 09/08). Sekarang kita tahu bahwa kita tidak hanya dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sebagai berbagai tipe interseks, dan bahwa pembagian ketiganya pun tidak selalu rapi. Namun karena dominasi binerisme dalam ilmu pengetahuan biomedik modern, banyak bayi atau anak yang seks biologisnya tidak dengan segera dapat ditentukan adalah laki-laki atau perempuan itu, acapkali tanpa memperhatikan haknya untuk menentukan nasib sendiri menjalani pembedahan atau pemberian hormon sehingga di belakang hari dapat menyebabkan keadaan yang merugikan mereka. Kita yang teliti mengamati manusia di sekitar kita juga sudah lama tahu bahwa tidak semua anak laki-laki tumbuh menjadi laki-laki dewasa, dan tidak semua anak perempuan besar menjadi perempuan dewasa. Sebagian menjadi waria, tomboi, sentul, andro, no label dll. Ilmu pengetahuan maupun gerakan hak asasi manusia (HAM) juga kian mantap dengan konsep identitas maupun ekspresi gender serta transgender(isme), yang mencakupi juga transeksual(itas) dan transvestit(isme). Kita yang merasa diri laki-laki atau perempuan pun, apabila punya kecerdasan, kepekaan dan kebijakan untuk merenung atau berdialog dengan hati dan pikiran kita, niscaya sadar bahwa diri kita sebetulnya merupakan kombinasi yang tidak selalu stabil antara maskulinitas dan femininitas. Tak berlebihanlah yang mengatakan bahwa gender kita semua sebetulnya tidak stabil atau tetap, alias campur-campur (hibrid), berubah-ubah dengan berkembangnya kehidupan kita, cair, dan liminal atau dengan perkataan lain, kita semua sebetulnya transgender. Padahal jika memandang gender dari segi agama, (Mudjab 2002: 284) Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan kesehjateraan dan pendidikan yang bermanfaat serta membekali diri dengan ilmu pengetahuan, sehingga memungkinkan mereka untuk melaksanakan tugas serta kewajiban yang dibebankan di atas pundaknya. Rassululloh pernah menegaskan: “barang siapa mempunyai anak perempuan kemudian dididik dengan pendidikan yang baik, dipelihara serta diasuh dengan sebaik-baikya, diberi makan dengan makanan yang bergizi lagi halal, maka dia akan mendapat jaminan perlindungan dari siksa neraka.” Beberapa pemerhati sosial seperti Suhandjati juga memberikan tafsir yang sama kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya dalam konsep Islam menempatkan laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sederajat di mata Allah. Selain memiliki persamaan, diantara keduanya terdapat pula perbedaan yang terletak pada faktor biologis yang bersifat kodrati. Misalnya perempuan memiliki vagina, rahim dan indung telur sedangkan laki-laki memiliki penis dan sperma. Perbedaan kodrati itu menyebabkan keduanya saling membutuhkan karena “peran biologis” tidak dapat digantikan atau ditukarkan. Namun nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka. Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan. Dalam hal ini diupayakan untuk memberikan jaminan terhadap dunia pelacur dan penyelesaian problematikanya. Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah pelacur adalah suatu hal ang krusial. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi tersebut. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain. Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung. Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan. Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi “pajangan”. Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja.  

6. Daftar pustaka
Tarmudji, Tarsis. 1991. Aspek Dasar Kehidupan Sosial. Liberty Yogyakarta: Yogyakarta. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja rosdakarya: bandung Syam, Nur. 2010. Agama pelacur: Dramaturgi trasendental. LKIS: Yogyakarta Pembayun, Ellys Lestari. 2009. Perempuan VS Perempuan: realitas gender, Tayangan Gosip Dan dunia Maya. Nuansa: Bandung. 2008. Apa itu psikologi komunikasi?. aurajogja.files.wordpress.com/.../pengantar-ilmu-komunikasi-a5. PDF .2008. Prostitusi? Why?../gender-seksualitas-HAM. herlambangperdana.files.wordpress.com/ Mustaqim, Abdul.2008. paradigma tafsir feminis: membaca Al-quran dengan optik perempuan. Logung Pustaka: Yogyakarta. Mahalli, Ahmad Mudjab.2002. Membangun Pribadi Muslim. Menara kudus: yogyakarta. Rakhmat, Jalaludin. 2009. PSIKOLOGI KOMUNIKASI. Remaja Rosdakarya: bandung. . 2006. Memperjuangkan hak asasi manusia Berdasarkan identitas gender dan seksualitas Di indonesia. doetomo@gmail.com/ www.kit.nl/ils/exchange_content .2002. dalam “Bias Jender: pemahaman islam”.2002. Gama Media: Yogyakarta. Hakim, Masykur. 2003. Hak asasi manusia dalam perspektif islam. Amissco: Jakarta.

Translate