Sabtu, 05 Agustus 2017

Tukang Kayu, Dosen, dan Arsitek Sederhana



Sebalok kayu jati kemerah-merahan sedang tengadah di teras sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Seorang pria duduk menjepit menyerut kayu itu, yang mungkin sama tuanya. Selepas buih serutan terkikis tipis, ia mengangkat balok jatinya. Matanya membidik memastikan bahwa jati itu sudah benar-benar lurus.

Mungkin uban dan pengalaman yang selalu membantunya memberi tolok ukur kapan sebatang kayu berubah bentuk balok. Itu adalah alat ukur sederhana untuk membuat sebuah kusen, atau bingkai jendela. Tak lama, ia berhenti sejenak, mungkin mengambil nafas, atau sekadar menikmati sebatang Dji Sam Soe.

Sore sudah tergelincir menunggu malam. Pria tua itu bangkit dari duduk, menggapai gembor. Seolah-olah sudah mengerti bahwa beragam jenis tanaman di depan rumahnya menunggu sumber kehidupan darinya. Air mengucur gemericik, bersentuhan dengan dedaunan.

Kenikmatannya mensyukuri hidup mendadak terganggu dengan kedatanganku. Seorang mahasiswa semester paling akhir yang sedang bingung menyusun skripsi. Aku datang memelas agar bisa melanjutkan bimbingan skripsi. Pria penyerut kayu itu adalah seorang dosen paling disiplin dan tegas di fakultas.

Sebenarnya aku sempat melakukan bimbingan dengannya sekitar setahun sebelumnya. Kami berbincang tentang penentuan judul skripsi yang tepat. Ia menyarankan agar membuat judul skripsi yang sederhana, yang paling mudah bagi saya. Kami sepakat. Selebihnya perbincangan mengarah ke situasi politik yang entah kenapa terus meradang. 

Namun karena memang mahasiswa bebal, skripsi itu kutinggalkan begitu saja. Sampai akhirnya penyesalan mendesir di pikiran. Karena memang harus sadar, tanpa ijazah, mustahil bisa menjadi wartawan nantinya. Itu adalah angan-angan sejak di bangku sekolah.

"Dua minggu lagi ujian skripsi. Tidak bisa bimbingan lagi, kamu kemana saja?"

"Tapi skripsi saya sudah hampir rampung pak, saya mohon maaf pak karena saya kerja."

"Ah alasan saja kamu," katanya menyergah.

Tapi ia tak benar-benar menolak. Mungkin ia tak sampai hati melihat bocah ingusan ini memelas datang ke rumahnya. Pria itu mengambil kacamatanya lalu membaca skripsi yang kutenteng dan masih dijepit klip hitam. Nantinya aku sering bolak-balik ke rumahnya, bimbingan privat.

"Ini bukan skripsi, masih banyak yang perlu direvisi, dua minggu tak akan cukup."

"Makanya saya kemari pak untuk minta revisi."

Aku berusaha membujuknya agar menerimaku lagi sebagai mahasiswa bimbingannya. Sebelumnya aku juga sempat menemuinya di kampus merayunya. Sampai-sampai kubawakan tuak, minuman khas Tuban kesukaannya. Segala daya kukerahkan agar ia mau menjadi dosen pembimbing lagi. Memang dasar mahasiswa bebal.

Tapi lagi-lagi ia luluh juga. Ia menerima draft skripsi itu. Pria itu mengambil pena dan seketika berselancar di atas lembar demi lembar draft skripsiku. Dalam batin, tekor banyak ini, skripsi dicoret-coret semua karena salah. Beruntungnya, hanya kesalahan tulis atau sekadar salah mengurutkan pembabakan bab. Selebihnya, ia sudah mengamini rumusan dan metodologi penelitian yang sudah ditentukan.

Waktu itu skripsi yang kuangkat adalah pemberitaan Tempo yang seolah-olah memihak Joko Widodo pada pemilihan presiden 2014. Ini bagian kritik seorang mahasiswa komunikasi terhadap korporasi pers, kataku berlagak. Apalagi, Tempo juga mengarahkan agenda seting dengan menunjukkan kontroversi Prabowo Subianto semasa masih menjadi perwira TNI. Kelak, justru aku bergabung dengan Tempo dan akhirnya cengar-cengir saat tahu alasannya.

Skripsiku tak semulus itu. Memakai toga memang jalan terjal. Aku sempat dilarang dekan ikut ujian karena terlambat mengumpulkan skripsi. Padahal waktu itu, skripsi sudah rampung menunggu dijilid. Sampai-sampai kepala ini membuncah menantang sang dekan.

Apalagi dekan itu seolah-olah menuding bahwa skripsi itu bukan hasil jerih payahku. "Kalau bapak tidak percaya, silahkan uji saya sekarang, saya sudah 'ngelotok' dengan skripsi ini," bentak saya sambil membanting sebendel skripsi di hadapannya. Tapi dekan itu tak menggubris. Aku sempat putus asa rasanya.

Ternyata pria tua itu, tanpa sepengetahuanku membujuk dekan agar membolehkan aku ikut ujian. Mengingat dia paham bahwa sudah kurampungkan tugas dengan cepat, tak sampai dua pekan. Pria itu yang sebenarnya berada di belakangku. Ia dengan daya kritisnya sering mempertanyakan alur berpikir tulisanku. Dari dia, akhirnya aku banyak belajar bagaimana menulis karya ilmiah. Ternyata berat jadi akademisi. Ada banyak bahasa akademik yang membingungkan. 

Sejak kurampungkan skripsi, jarang ke kampus, dan apalagi sudah sibuk kerja, aku tak pernah lagi datang padanya. Memang dasar mahasiswa durhaka lagi bebal. Terkadang aku rindu padanya. Apalagi dengan prinsip hidupnya yang sederhana. Kata dia, hidup sesederhana Dji Sam Soe dan segelas tuak.

Yang paling mengesankan adalah saat ia membangun rumahnya sendiri. Biasanya, ketika ada uang lebih, disisihkan untuk merampungkan rumahnya. Ia adalah tukang kayu, dosen, sekaligus arsitek. Seorang arsitek kesederhanaan hidup.

Biasanya, selepas mengajar di beberapa kampus ia menjalani rutinitasnya menjadi tukang kayu. Pria itu hanya mengenakan singlet, celana pendek, dan mengisap rokok Dji Sam Soe. Setahuku, ia hidup berdua dengan sang istri. Anak-anaknya sudah memiliki kehidupan di kota lain. 

Nama lengkapnya adalah I Wayan Nuada. Seorang bapak pemikir dari Bali yang merantau ke tanah Jawa. Pengetahuanku hanya sedikit tentangnya. Tapi dia sudah menginspirasi banyak hal padaku. Terutama soal kesederhanaan, kedisiplinan, dan ketekunan. Di situlah titik balik dari sebuah kebahagiaan yang hakiki.

Semalam, dosen saya itu ternyata tiba-tiba mengomentari statusku di Facebook. Waktu itu sedang mengkritik tentang fanatisme agama. Dia tiba-tiba nyeletuk bilang aku sudah menjadi ustad. Ah rasanya malu aku, sembari menampik pernyataannya. Padahal sebenarnya cuma begundal yang hidup di jalanan.

"Wah mulai kapan Sdr Avit Hidayat ini jadi Ustad, salam kangen Pak Ustad. Kalau ada waktu saya undang ke rumah, kita bersenda gurau di rumah," kata dia di laman komentar Facebook-ku. Duh rasanya malu mendengarnya. Harusnya aku yang menyapa dan datang ke rumahnya tanpa perlu diminta. Tapi dasar tetap murid bebal ya begitu.

Semoga bulan depan aku bisa menyempatkan izin cuti untuk bertandang ke rumah bapak. Senang rasanya bergurau bersama beliau. Pikiran-pikirannya selalu menyegarkan, membawa gairah hidup. Aku sempat menceritakan tentang nasib skripsi itu. Ia mengomentarinya. 

"Itu karena anda berani berkata sendiri dan tidak menggunakan kata orang lain. Menurut orang Jawa, anda tidak menggunakan kembung jare. Selamat berprestasi, saya bangga denganmu." Saya juga bangga memiliki guru seperti bapak. Semoga bapak diberi kesehatan dan keberkahan agar ilmunya bermanfaat di dunia atau di kehidupan selanjutnya kelak.

Salam dari mahasiswa bebalmu,
Avit Hidayat

Translate