Senin, 18 Desember 2017

Remahan Rengginang

sumber blogspot
"Yang saya takutkan itu bukan miskin, tapi menjadi bodoh."

Saya selalu merasa tulisan saya paling jelek. Mungkin karena jarang menulis. Ketika menulispun, itu berita. Saya merasa sukar untuk menumpahkan perasaan. Paling-paling saya menyeret seorang teman, mengajaknya bicara. Kalau tak ada, saya tak masalah untuk merenung atau setidak-tidaknya bicara sendiri.

Jikapun saya menulis, itu cerita yang sangat pendek, yang kira-kira itu bisa mewakili beragam hal yang saya pikirkan. Atau menulis essay, opini, atau semacamnya. Itu pun saya mengalami kendala dalam hal elementer. Seperti merunutkan gagasan, menempatkan plot, membuat karakter. Duh, mungkin saya yang terlalu rumit atau memang kadung bebal.

Sampai saya bertemu dengan tulisan-tulisan perempuan itu, lebih tepatnya gadis itu. Karena ia jauh lebih muda dibanding saya. Tapi tidak dengan metode berpikirnya. Menurut saya, pikirannya jauh lebih dewasa ketimbang usianya. Mungkin kehidupan yang membentuknya. Entahlah, setahu saya, ia dibesarkan dari keluarga yang terpisah. Saya menaruh hormat pada gadis itu.

Ia rajin menulis di blog. Menuliskan beberapa proses di hidupnya. Tentang kuliahnya, kakak, ayah, atau ibu yang terbentang jarak. Tulisannya memikat; ia kenal dengan banyak pemikir dan saya rasa, ilmu pengetahuan itu diimplementasikan dalam kesehariannya. Katanya, berkontemplasi dengan semesta, hidup seimbang.

Harus diakui, saya belajar banyak darinya, meski belum sebulan mengenalnya. Menurut saya dia adalah perempuan yang diuji zaman seperti yang pernah dikisahkan Pram. Makanya saya terinsipirasi menulis ini. Menulis beberapa hal yang saya lalui akhir-akhir ini. Semoga ini membantu untuk menyiasati ingatan yang rentan dirundung lupa.

Beberapa waktu lalu saya membaca buku tentang Syeh Siti Jenar, tapi belum rampung. Di waktu yang sama, saya sedang membaca kumpulan cerpennya Putu Wijaya, Seno, Camus, dan mulai belajar membaca sejarah dari Pram. Kebiasaan saya memang begitu; membaca beberapa buku sekaligus, untuk menumpas bosan. Ada tulisan yang sangat sulit dimengerti, lalu kutinggalkan sejenak, beralih ke hal-hal sederhana, kemudian dilanjutkan saat otak sudah dahaga.

Bagi saya, Syeh Siti Jenar salah satu filsuf klasik di Indonesia. Mungkin saja karena jalan hidupnya mirip Socrates atau Abdullah Al-Hallaj. Katanya, ia mati digantung karena pikirannya "Manunggaling kawulo Gusti." Di masa itu ia menjadi pelopor pemberontakan terhadap pembentukan majelis ulama Walisanga. Sebuah perhimpunan ulama di tanah Jawa yang berpusat di Demak, sekitar abad ke-15. Siti Jenar mengkritik agama yang dimonopoli untuk kepentingan politik atau untuk menyukseskan suatu paham tertentu. Bahkan ia menganggap, orang-orang hanya sibuk memberhalakan agama.

Bagi saya itu bukan mitologi, karena ini persis dengan apa yang dipikirkan oleh emak saya beberapa waktu lalu. Dia cerita kalau salah seorang penganut ajaran kembali ke zaman nabi dikubur tanpa disalati. Kata tetangga mereka, sang mayat beda aliran dan semasa hidupnya tidak pernah salat di masjid setempat. Itu yang kemudian melegitimasi agar membenamkan mayat itu seperti bangkai binatang. Kata emak saya, "Sekeji itu manusia karena agama?"

Apa ini sudah cukup untuk disebut sebagai diary? Semoga ya. Jangan banyak-banyak dulu, takutnya otak saya boncel-boncel. Maklum, saya hanya remahan rengginang di toples Kong Guan.

Kamis, 14 Desember 2017

Berpikir di Masjid

ilustrasi pengharapan. blogspot 


      "setiap pengetahuan dan ilmu itu mulia dan berharga."


Sekitar empat tahun lalu, enam orang pemuda santri di Yogyakarta memiliki keresahan yang sama. Kegelisahan mereka tertumpuk dalam pikiran. Ada banyak pertanyaan yang kelindan mengenai siapa Tuhan, hukum penciptaan, ideologi, manusia, semesta, atau hal-hal rumit lain tentang beragam pikiran manusia. Apa semua itu? Keresahan yang satu beradu dengan keresahan lain, seperti bisul kemerah-merahan yang hendak meletup.

Satu di antara mereka adalah Ariq Nazar, pemuda lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta yang biasa menjadi sekretaris takmir masjid setempat. Ariq dan kawan-kawannya ingin membuat sebuah perbedaan. Ia bersama M. Yasir selaku ketua, Lukman, dan beberapa pemuda lain punya gagasan membuat wadah diskusi bagi kalangan pemuda. Cita-citanya untuk melunasi dahaga penasaran mereka tentang ilmu pengetahuan. Apalagi di sana kajian diskusi dan budaya literasi masih minim.

“Waktu itu, kajian (di masjid) hanya untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, kami berpikir kajian segmen mahasiswa belum tergarap,” kata Ariq saat ditemui Tempo pekan lalu, Kamis, 20 Juli 2017. Dalam proses berpikir itu, terceletuklah ide membangkitkan Ngaji Filsafat. Pembahasan tentang pelbagai pemikir dunia.

Kata dia, di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, memang punya sejarah berkumpulnya para pemuda progresif. Kajian semacam filsafat telah dimulai sejak 1970-an, atau saat-saat masjid itu baru didirikan. Para mahasiswa pergerakan dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu untuk diskusi. Namun kajian itu terhenti, entah mengapa.

Mereka memiliki semangat untuk mengembalikan budaya itu. Pada awalnya, ide bermuncul Ngaji Filsafat akan digelar sekali dalam sepekan dengan durasi sehari penuh. Para pemateri pun disiapkan dari berbagai universitas termasuk Universitas Gajah Mada (UGM) dan UIN Kalijaga. Namun rencana satu ini kandas, karena dirasa terlalu berat bagi peserta. Terutama bagi generasi milenial.

Enam pemuda itu merombak ide. Ngaji Filsafat hanya akan digelar dalam waktu beberapa jam dengan seorang pemateri yang ditentukan. Mereka kemudian memilih dosen filsafat di UIN Kalijaga Yogyakarta bernama Fahruddin Faiz, seorang doktor dari kampus yang sama. “Kami merasa Pak Faiz dapat menyasar segmen mahasiswa dengan bahasa universal (mudah dipahami awam),” tutur dia.

Fahruddin Faiz menyanggupi ajakan tersebut. Ia mulai mengisi kajian Ngaji Filsafat pada 2013. “Pertimbangannya saat itu sederhana saja; ada teman-teman mahasiswa, aktivis masjid yang berminat belajar tentang falsafah dan hikmah,” kata Faiz. “Mereka rela apabila saya yang membeberkannya untuk mereka.”

Tujuan Faiz hanya sederhana, meramaikan masjid, membuka wawasan, berbagi pengetahuan, menemukan hikmah, dan menjalankan tugas kemanusiaan yakni mencari ilmu. Dia juga menjelaskan alasannya menerima tawaran berbagi ilmu filsafat di kampus. Masjid menurutnya, adalah tempat yang memiliki konotasi egaliter dan tidak ‘menekan’ dibanding kampus, atau mimbar akademik.

“Apa yang saya sampaikan di Ngaji Filsafat pasti bukan materi yang luar biasa bagi para elit akademisi kampus,” ucap dia. Karena itu sangat cocok diselenggarakan di dalam masjid. Orang berbagai latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya bisa ikut nimbrung berbagi.
                                                                   
Tema-tema yang ia bahas juga menarik bagi para pemuda. Setiap kali acara digelar, jumlah pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan di antara peserta banyak yang datang dari luar kota, termasuk Jakarta. Suatu waktu, kata dia, Faiz menjumpai rombongan dua bus penuh datang dan duduk bersila mendengarkan pengajiannya.

Pengajiannya membahas berbagai pemikiran tokoh dari Barat, Timur, Indonesia, Jawa, Islam, Hindu, Radikalisme, Toleransi, Cinta, Kebencian, hingga Atheisme. Bagi dia, setiap pengetahuan dan ilmu itu mulia dan berharga. Pertama, pengetahuan atau ilmu mengenai siapapun tentang apapun, manusia bisa mengambil ‘hikmah’ yang relevan untuk kehidupan, baik secara positif maupun negatif.

“Kedua, pilihan akan kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan kita tidak akan memiliki nilai tanpa landasan pengetahuan yang memadai,” tutur dia. Demikian pula pengingkaran manusia atas yang keliru dan keburukan. “Untuk menolak atheisme, kita harus paham akan apa itu atheisme. Tanpa ilmu, jangan-jangan kita membenci atheisme sementara perilaku mental kita sebenarnya sangat atheistik.”

Ia sadar bahwa ada juga beberapa orang yang mengkritiknya. Dia mengartikan kritik itu sebagai bentuk perhatian. Justru kritik yang datang kepadanya bersifat membangun dan memperbaiki. Tak pernah ada kritik yang mengintimidasi atau menekan.

Biasanya Faiz setiap bulan akan menentukan tema yang akan dibahas untuk empat kali pertemuan, setiap Rabu malam. Tema itu ia tentukan dan ia racik sendiri. Para peserta dapat duduk bersila di dalam masjid sambil menonton layar proyektor yang berisi materi pengajian.

Ia mengaku sempat mengalami masa-masa berat menyampaikan materi. Di saat apa yang ada di kepalanya kadang tidak mudah diterjemahkan melalui mulut. “Namun saya selalu berpesan kepada teman-teman yang ngaji, ‘mencari ilmu itu wajib, mendapatkan ilmu itu urusan Allah’, jadi tidak ada masalah sedikit pun seandainya tidak ada satu ‘poin’ pengetahuan yang bisa dipahami dari ngaji, karena kewajiban kita hanya berusaha memahami.”

Penulis buku Filosofi Cinta Khalil Gibran itu juga tak pernah membahas filsafat dengan rumus, retorika, atau metode tertentu. Ia menerjemahkan pikiran banyak filosof yang membingungkan menjadi mudah dicerna. Bagi dia, apa yang dibicarakan oleh para filosof sebenarnya dunia yang sama-sama kita alami kini. Hal ini yang membuatnya berinisiatif mengilustrasikan ke hal-hal ringan yang terjadi di sekeliling.

Terakhir kali, Faiz mengisi pengajian Rabu pekan lalu. Tema yang ia angkat pasca-Lebaran yakni filsafat kebencian. Dilandasi keprihatinan tentang kebencian yang kian banyak di saat ini, khususnya di media sosial. “Hampir semua media sosial-media informasi menggunakan diksi persuasif yang tujuannya adalah mengajak ‘membenci’, baik itu membenci seseorang, sekelompok orang, pemikiran tertentu, lembaga tertentu.”

Pria yang juga menulis buku Filosof Juga Manusia itu mengatakan bahwa kebencian sebenarnya merugikan bagi diri sendiri. Dia berharap kita mendayagunakan akal-budi agar tidak membiarkan diri hanyut oleh banjirnya pengetahuan palsu dan kepatuhan buta.

Faiz juga pernah membahas pemikirannya Aktivis Feminisme asal Mesir, Nawal El-Saadawi. Menurut dia, Nawal mengkritik tradisi khitan bagi perempuan. Nawal meneliti tradisi itu hingga Sudan. Perempuan yang pernah dipenjara penguasa selama 13 tahun itu juga membeberkan diskriminasi terhadap kaum hawa.

Sampai saat ini Nawal masih kritis, meski telah berumur lebih dari 80 tahun. Ia juga menjadi satu di antara pelopor penggulingan rezim Mesir kala itu, Husni Mubarak. Ia sempat diwawancarai Wartawan Tempo Qaris Tajudin saat ikut demonstrasi menggulingkan penguasa.

“Paling tidak semoga ngaji ini membuka mata kita, termasuk saya sendiri, bahwa sangat banyak hal yang tidak kita ketahui, membuat kita naik kelas dari level tidak tahu bahwa kita tidak tahu menjadi tahu kalau kita tidak tahu.” Dia berharap, dari kesadaran ini nantinya akan lahir generasi yang mencintai dan memuliakan ilmu.

Kemudian menggerakkan peradaban dari kesibukan saling menjatuhkan menjadi kegembiraan berlomba dalam kebaikan. Caranya dengan meningkatkan kualitas diri melalui pengayaan wawasan ilmu dan pengetahuan.

*tulisan ini tak dimuat redaktur, sehingga saya simpan di blog pribadi.


Akar Ketiak

sumber Tempo
Kalau melihat kasus reklamasi, saya jadi ingat Multatuli. Ia adalah penderitaan rakyat pribumi (sebutan Hindia Belanda) saat dijajah kolonialisme melalui kaki tangan feodalisme. Cerita ini pertama kali ditulis oleh Eduard Douwes Dekker _Ia menginspirasi pemikiran Raden Ajeng Kartini tentang keadilan dan kesetaraan_. Belakangan kita mengenal Pramoedya Ananta Toer, seoarang pria hebat yang memijarkan sejarah bangsa kepada generasi penerus.

Anggaplah reklamasi itu adalah sistem tanam paksa era kolonial. Belanda mewajibkan petani pribumi menanam komoditas ekspor Eropa. Saat panen mereka wajib menjual ke Belanda dengan harga rendah. Petani masih diperas dengan pajak penghasilan, sementara orang-orang miskin dibuang ke kamp kerja paksa. Kolonialisme bercokol lebih dari tiga abad memanfaatkan kaki tangan cara feodalisme para bupati, tumenggung, atau pemimpin daerah yang rakus. Belanda hanya perlu menjamin kenikmatan bupati, agar pemimpin daerah itu bisa mencambuk rakyatnya sendiri.

Barangkali itu juga terjadi saat ini, meski tidak persis penyiksaan dan penderitaan pribumi masa kolonialisme. Tapi bisa kita rasakan, bagaimana pemerintah membunuh nelayan dengan perlahan, seperti mengiris nadi? Bagaimana pemerintah mengeksploitasi alam tanpa pernah peduli? Bagaimana mereka membunuh keadilan dengan uang?

Pekan lalu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bicara lantang, bahwa benar-benar telah mencabut moratorium reklamasi Pulau C, D, dan G. Ketiga pulau buatan itu sudah dianggap layak dijejak dan dibangun lagi. Pengembang sumringah mendengar itu. Mereka bilang, sanksi telah rampung dipenuhi, “Kami lanjutkan pembangunan.”

Kuasa Hukum PT Kapuk Naga Indah, Kresna Wasedanto cerita berapi-api tentang proyeksi perusahaannya. Pertama mereka ingin agar segera dapat izin mendirikan bangunan (IMB), menyusul kemudian harapan pembahasan raperda reklamasi dilanjutkan oleh DPRD DKI Jakarta. Saya melihat senyumnya, “Sesuai hukum positif, reklamasi ini memang sudah jelas (dilanjutkan),” kata dia pekan lalu.

Sebenarnya, saya muak dengan cara mereka, menghalalkan segala cara. Kamu tahu sendiri, dua pulau milik Agung Sedayu itu dibangun secara ilegal. Sekonyong-konyong menggunung pasir di tengah laut dan bercokol bangunan di atasnya tahun lalu. Bangunan itu didirikan tanpa memiliki IMB dan izin peruntukan rencana tata ruang wilayah. Bahkan amdal dan izin lingkungan dibuat asal-asalan. Perusahaan sempat disanksi dan diminta berhenti bekerja selama proses perbaikan. Kenyataannya, satu per satu bangunan terus bercokol sampai kini.

Aktivis lingkungan dan para peneliti dari sejumlah lembaga pemerintah memborbardir mereka dengan kritik. Satu di antaranya hasil laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menganggap reklamasi akan memperparah kerusakan lingkungan di Teluk Jakarta. Belum lagi ditambah rencana pembangunan giant sea wall, melintang di tengah laut, dari ujung timur tembus ujung barat Jakarta. “Itu menciptakan sebuah comberan raksasa,” kata Peneliti Senior KKP, Widodo Pranowo.

Luhut membantah kritik itu dengan meminjam mulut ahli yang diboyong dari Institut Teknologi Bandung (ITB), peneliti Korea, Jepang, dan Belanda. Insinyur-insinyur bayaran itu diminta membuat permodelan bahwa reklamasi dilakukan untuk menanggulangi penurunan muka tanah di Jakarta dan abrasi di Jakarta. Belakangan muncul bantahan dari para alumni ITB bahwa mereka sama sekali tak merekomendasikan reklamasi.

Bagi orang awam seperti saya, argumen reklamasi dapat mengendalikan penurunan muka tanah di Jakarta adalah omong kosong. Tentu kamu lebih paham dibanding saya, bahwa lapisan tanah itu menyimpan cadangan air. Jika semua warga Jakarta menyedot air tanah, maka kemungkinan tanah akan ambles atau terjadi land subsidence. Setahu saya, cadangan air juga berfungsi menjaga ekosistem. Tokyo pada 60-an pernah mengalami kondisi serupa. Satu-satunya cara yang mereka lakukan adalah dengan memperketat penggunaan air tanah dan memperbaiki mitigasi air dari hulu hingga muara.

Benar katamu, masalah utama di Jakarta adalah manajemen pengelolaan air. Dulu kamu pernah cerita bahwa Kawasan Strategis Nasional Jabodetabek Puncak Cianjur harus memiliki mitigasi. Caranya dengan membuat kanal dan embung-embung di sejumlah titik dari kawasan Puncak hingga Jakarta. Tujuannya untuk mengendalikan air agar tidak terjun bebas ke hilir Jakarta. Saya rasa para peneliti KKP, LIPI, atau IPB juga sudah memikirkan itu. Termasuk dengan mengatasi limbah yang bebas dibuang ke sungai tanpa pengolahan.

Kenyataannya, orientasi pemerintah tidak seprogresif itu. Tujuan mereka hanyalah mengejar uang. Agar pengembang dapat berinvestasi ratusan triliun ke Indonesia. Sederhana saja, mereka bakal dapat uang tunai dari pajak tanpa perlu kerja dan mikir keras. Saya menduga bahwa ini tidak terlepas dari skandal suap-menyuap. Hanya saja kita sulit membuktikannya; setidaknya belum untuk saat ini.

Seandainya pemerintah melihat secara obyektif permasalahan di Jakarta, tentu mereka tak bakal tergesa-gesa seperti Luhut. Di ibu kota ini, ada sekitar 70 ribu masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari ikan. Sementara, nanti dermaga mereka, bakal diimpit dengan akar beton. Mereka harus membelah empang raksasa sepanjang 3 mil sebelum melihat lautan lepas. Jarak itu akan merusak alur pelayaran dan pola bisnis nelayan. Ini sudah terbukti di Singapura; praktis nelayan sudah mati.

Beberapa hari lalu saya mendapat salinan surat penyelidikan kasus reklamasi yang dilakukan polisi. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya katanya sedang menelisik dugaan penggunaan lahan reklamasi tanpa izin. Belum jelas siapa yang lapor dan terlapor. Polisi hanya mengatakan tidak ada pelapor, mereka hanya menyelidiki dugaan tindak pidana, karena sedang santer momentum pencabutan moratorium reklamasi. Rasanya aneh, polisi mendadak rajin seperti itu _apalagi lebih rajin ketimbang penyidik KPK_. Saya menduga pengembang sedang dilaporkan, tapi oleh siapa? Entahlah.

Kalaupun pengembang dilaporkan, itu juga sudah sewajarnya. Reklamasi tidak terlepas dari kepentingan bisnis sembilan naga, dan kepentingan politik. Kata politisi Gerindra, reklamasi akan jadi dagangan politik 2019. Sudah menjadi rahasia umum, Luhut adalah orang-orang dekat para cukong-cukong penguasa negeri ini; yang kemudian membiayai kampanye Presiden Joko Widodo. Saya rasa ini sebuah konspirasi, perlu dipertimbangkan sekaligus juga diragukan. Tapi melihat kebijakan “karpet merah” untuk pengembang reklamasi dan sikap Jokowi, patutlah kita menganalisa konspirasi murahan itu.

Melihat kasus ini, Menteri KKP Susi Pudjiastuti dari awal lebih banyak memilih diam diri. Tapi sebenarnya anak buahnya diminta gerilya. Para pejabat eselon satu sampai golongan terakhir disuruh kritis atas penilaian reklamasi. Ini yang membuat Luhut sering geram dengan analisa mereka. Terakhir, saat pengumuman pencabutan moratorium, KKP tak diundang. Dugaannya, Luhut marah dengan KKP. Saya dengar informasi itu dari sejumlah pejabat di kementeriannya Susi.

Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya kelihatan memilih manut saja atas perintah Luhut. Dia tak bisa berkutik. Ibarat film komedi Warkop DKI, “maju kena, mundur kena”. Siti sama sekali tak pernah mengkritik pengembang, tidak seperti saat jabatan Rizal Ramli sebelum diganti Luhut. Saya pernah menulis itu, dan mengkritik KLHK tak pernah awas terhadap pelanggaran pengembang. Senyampang saja, Siti dan para anak buahnya ngambek musuhin Tempo, dan ending-nya tak mau diwawancara lagi.

Saya berharap kita tetap sadar, bahwa sekecil apapun kemampuan kita, ini tak boleh dibiarkan. Kalaupun kita hanya punya semangat, itu bisa ditularkan untuk membangkitkan yang buta. Kalau kita hanya punya pena, tentu itu, pelan-pelan, dapat membunuh ketidakadilan di negeri ini. Setidak-tidaknya kita selalu berbuat. Entahlah, apakah jalan saya sekarang ini benar? Saya hanya sekadar percaya, bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, di antara orang-orang lapar, miskin, dan yang disingkirkan.

Terima kasih sahabatku, telah menemani saya cerita. Bagaimana dengan kabar hutanmu di sana? Apakah kamu masih memiliki gairah yang sama untuk sederhana dengan semesta? Merawat pohon, memikirkan aliran air, mengamati bintang orions, melihat bentangan khatulistiwa, menghitung kunang-kunang, atau sekadar menanam sayur tanpa tanah. Semoga semangat kita selalu terjaga, sesibuk apapun itu, untuk melihat hidup ini dengan cara sederhana.

Kebenaran hanya milik Tuhan, saya hanya ketidaktahuan.


Salam hormat saya dari sahabatmu di Jakarta,
Minggu, 8 Oktober 2017


--------------------------------------------

Kelindan

sumber blogspot

“Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’ yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan, gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama manusia,”
tulis R.A. Kartini dalam penggalan suratnya kepada Nona E.H. Zeehandelaar, sahabatnya di Belanda pada 25 Mei 1899. Barangkali harapan Kartini masa itu adalah keniscayaan baginya. Ibarat barang mewah yang hanya ada di Eropa.

Dalam banyak tulisannya, Kartini memang memiliki mimpi besar atas lahirnya kebebasan, khusus bagi perempuan di negerinya masa itu. Ia ingin merdeka sama seperti laki-laki; ingin bebas sekolah di mana saja, menulis apapun, bebas menikah dengan siapa saja atau tidak sama sekali, bebas menentukan jalan hidupnya, dan dalam banyak hal lainnya. Suatu hal berharga, yang sama sekali tak pernah ada di Indonesia sebelumnya.

Dia pernah menulis kepada Zeehandelaar bahwa kebebasan di Indonesia mungkin baru bisa direngkuh oleh empat sampai lima generasi setelahnya, tidak untuk saat ini, katanya. Tulisan itu seperti sebuah sabda yang niscaya terjadi. Barangkali, ucapan Kartini itu merujuk pada kita saat ini. Sekarang kita yang mendapatkan harapan Kartini masa itu. Hampir sejak lahir, kita menikmati kemerdekaan, rasa aman, dan kebebasan tanpa kepedihan seperti yang dialaminya.

Mungkin kamu sudah tahu, saya lahir di antara keluarga Jawa yang tenteram, merdeka, bahagia, dan diliputi rasa aman. Dulu semasa kecil, saya kira dunia juga tercipta seperti itu; selamanya merdeka dan bahagia abadi. Orang tua saya tak pernah cerita tentang tragedi kemanusiaan semacam G30 S/PKI, pembunuhan Talangsari, Poso, kematian Marsinah, pembantaian di Timor-Timur, atau hilangnya para aktivis. Barangkali orang tua tak terlalu tahu tentang masalah pelik itu, atau informasi yang sangat terbatas masuk desa kami.

Peradaban memang tak pernah datang tiba-tiba. Mungkin saya harus mengucapkan banyak terima kasih kepada Kartini yang menyalakan seberkas cahaya di antara kegelapan. Berterimakasih kepada para aktivis yang mempertaruhkan rasa aman dan nyawa demi kemerdekaan kemanusiaan. Saya juga harus berterimakasih pada segala sejarah yang membentuk kita.

Kini hampir semua perempuan dapat sekolah ke manapun dia mau, bisa memilih pasangan sesukanya, riang dan gembira, bekerja dalam bidang apapun tanpa batasan gender, dan melakukan segalanya seperti yang digambarkan Postmodernisme, bahkan menebar satire sekalipun. Tapi ada satu yang kita lalaikan dari cita-cita Kartini. Apakah kita sudah berjuang untuk masyarakat luas dan kebahagiaan umat manusia?

Hal itu yang saya rasakan menjadi keniscayaan saat ini. Saya seperti generasi yang terbius kenikmatan kebebasan. Padahal sadar atau tidak, kebebasan itu sebuah fantasi. Antara satu hal dengan yang lain selalu tarik-menarik saling mengikat. Manusia kadang lupa, mereka masih dikekang oleh ruang dan waktu yang selalu membatasinya. Itu adalah bukti sederhana bahwa tidak ada kebebasan abadi seperti pola pikir ketika masih kanak-kanak dulu.

Kartini bicara kata ‘kebebasan’, bagi saya, itu hal progresif dan relevan di masanya. Tapi jika kita tarik kata ‘kebebasan’ yang sama pada hari ini, tentu akan bermakna berbeda. Bahkan mungkin bebas yang bisa kita dapatkan melampaui kata ‘kebebasan’ itu sendiri. Saya kira maksud Kartini, memaknai kebebasan bukan sekadar harfiah, tapi juga secara esensi dan melihat esksistensinya atau konteksnya.

Saya akan sedikit mencontohkan; bahwa sebenarnya sekarang saya kehilangan empati pada perjuangan mahasiswa yang demonstrasi menuntut keadilan. Apa yang mereka perjuangkan telah kehilangan esensinya. Mereka gampang dibeli oleh kepentingan dan penguasa. Saya kira mereka kehilangan gairah untuk selalu bertanya. Bahkan mungkin benar kelakar warganet yang menamai demonstran masa kini dengan sebutan ‘pasukan nasi bungkus’. Akhirnya masyarakat kehilangan kepercayaan pada perjuangan mahasiswa.

Bahkan saya juga kehilangan respek terhadap para aktivis yang menuntut pengungkapan kematian aktivis Munir Said. Mereka demonstrasi sepanjang tahun di depan Istana Negara. Mereka seolah-olah lupa bahwa yang dikehendaki Munir bukan sekadar pembongkaran dalang kematiannya, melainkan keadilan dan kesetaraan di Indonesia. Hal yang mencolok di mata saya adalah diskriminasi penganut kepercayaan diabaikan negara. Belum ditambah ratusan kasus sengketa agraria dan masalah politik agama. Surga dan neraka itu sebuah cerita yang seringkali membius kita.

Sudah barang tentu kita menuntut pemerintah membongkar skandal pembunuhan Munir. Tapi yang utama adalah bagaimana kita meneladani kebajikan Munir di kehidupan sehari-hari, di bidangnya masing-masing. Dengan cara itu, kelak dapat mengungkap siapa di balik pembunuhan Munir. Memperjuangkan emansipasi perempuan juga sebuah kewajiban, karena belum seluruhnya perempuan di Indonesia sudah menikmati itu. Masalahnya, setelah itu, apa yang harus dilakukan?

Sahabat Didid, sebenarnya saya ingin sedikit berceloteh, boleh dibilang meracau saja. Secara umum, sebagian besar masyarakat kita sudah mendapatkan rasa kebebasan itu, seperti yang diperjuangkan para pendahulu kita. Masalahnya, saya sering melihat mereka terombang-ambing arus, mudah diprovokasi, gampang diadu, dan sangat rentan terjadinya perpecahan. Ujung-ujungnya terciptalah kebebasan yang intoleran.

Poinnya, saya melihat kebebasan di diri kita sering kebablasan. Bahkan kita sering tak paham mana hak dan kewajiban. Sehingga banyak pihak yang menunggangi kebebasan untuk kepentingan tertentu. Ada yang menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan agar dilegalkan sebagai LGBT, negara Islam, para aktivis ingin bebas agar bisa jadi politisi, dan lain sebagainya. Artinya kita sudah memonopoli kebebasan untuk kepentingan kelompok kita. Atau sekadar memenuhi hak, tanpa menyinggung tanggung jawab.

Saya jadi bertanya kepada diri saya sendiri, lalu kebebasan yang selama ini saya miliki apakah sudah berguna bagi masyarakat? Apa sih hal mendasar, tanggung jawab saya sebagai manusia? Bagaimana saya bisa melakukannya? Apa yang harus saya perbuat? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kadang berkelindan memenuhi pikiran. Itu kenapa saya kadang nyeletuk, ingin sekali mempunyai panti asuhan. Karena saya sendiri belum tahu persis apa tanggung jawab saya di dunia ini. Mungkin benar kata Rumi, hidup hanya proses pencarian.

Bisa jadi apa yang saya gelisahkan ini juga menjadi masalah bagi para pemuda generasi. Saya tidak tahu persis. Kadang muncul jawaban-jawaban klise seperti lakukanlah apa yang bisa kamu lakukan. Berbuat baik kepada semua orang, menyantuni anak yatim, dan bekerjalah semampumu dengan penuh sungguh-sungguh. Menurut saya itu saran yang benar, tapi tidak tepat untuk sebuah jawaban atas pertanyaan apa tanggung jawab saya di dunia ini. Makanya saya sebut sebagai jawaban klise.

Sebenarnya saya kesulitan merumuskan tanggung jawab karena saya bingung, entah mau ke mana. Dalam artian, apakah bekerja sebagai wartawan itu cukup untuk menjawab pertanyaan tanggung jawab tadi? Tentu pertanyaannya yang mendasar adalah siapakah saya? Kenapa saya diciptakan di dunia? Apa tugas saya di dunia ini? Ah.... ini makin membingungkan. Setiap pertanyaan menciptakan pertanyaan lain yang saling memburu minta dijawab. Setidaknya, saya suka menulis, biarpun toh masih belepotan.

Sementara ini, saya belum memiliki jawaban. Makanya saya sering membenturkan diri pada masalah. Tujuannya agar mental ini digembleng, nurani terasah, dan belajar memikul beban. Kalau kata Tan Malaka, hidup ini terbentur, terbentur, terbentur,,,,, terbentuk. Kalau lama terbentuknya ya dibenturkan terus. Tapi, saya belum tahu apakah itu jalan yang benar, sejauh ini itulah satu-satunya hal yang mendekati jawaban.

Seorang pemikir Islam pernah mengatakan tugas pertama manusia yakni menjadi manusia, kemudian memanusiakan manusia, lalu mengajak ke jalan ketuhanan, setelah itu tugasnya para nabi yakni para pembaharu. Kebanyakan dari kita masih berada di level pertama, yakni belajar menjadi manusia. Termasuk saya sekarang ini, masih di level paling awal menjadi manusia. Karena itu, bagi saya, memaknai kebebasan Kartini adalah belajar menjadi manusia, mencari tahu apa itu hak dan tanggung jawab, lalu membedakannya.

Kebenaran sejati hanya milik Tuhan, saya cuma remah-remah yang selalu gelisah.

Hormat saya, sahabatmu di Jakarta.
20 September 2017

-------------------------------

Translate