Kamis, 14 Desember 2017

Berpikir di Masjid

ilustrasi pengharapan. blogspot 


      "setiap pengetahuan dan ilmu itu mulia dan berharga."


Sekitar empat tahun lalu, enam orang pemuda santri di Yogyakarta memiliki keresahan yang sama. Kegelisahan mereka tertumpuk dalam pikiran. Ada banyak pertanyaan yang kelindan mengenai siapa Tuhan, hukum penciptaan, ideologi, manusia, semesta, atau hal-hal rumit lain tentang beragam pikiran manusia. Apa semua itu? Keresahan yang satu beradu dengan keresahan lain, seperti bisul kemerah-merahan yang hendak meletup.

Satu di antara mereka adalah Ariq Nazar, pemuda lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta yang biasa menjadi sekretaris takmir masjid setempat. Ariq dan kawan-kawannya ingin membuat sebuah perbedaan. Ia bersama M. Yasir selaku ketua, Lukman, dan beberapa pemuda lain punya gagasan membuat wadah diskusi bagi kalangan pemuda. Cita-citanya untuk melunasi dahaga penasaran mereka tentang ilmu pengetahuan. Apalagi di sana kajian diskusi dan budaya literasi masih minim.

“Waktu itu, kajian (di masjid) hanya untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, kami berpikir kajian segmen mahasiswa belum tergarap,” kata Ariq saat ditemui Tempo pekan lalu, Kamis, 20 Juli 2017. Dalam proses berpikir itu, terceletuklah ide membangkitkan Ngaji Filsafat. Pembahasan tentang pelbagai pemikir dunia.

Kata dia, di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, memang punya sejarah berkumpulnya para pemuda progresif. Kajian semacam filsafat telah dimulai sejak 1970-an, atau saat-saat masjid itu baru didirikan. Para mahasiswa pergerakan dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu untuk diskusi. Namun kajian itu terhenti, entah mengapa.

Mereka memiliki semangat untuk mengembalikan budaya itu. Pada awalnya, ide bermuncul Ngaji Filsafat akan digelar sekali dalam sepekan dengan durasi sehari penuh. Para pemateri pun disiapkan dari berbagai universitas termasuk Universitas Gajah Mada (UGM) dan UIN Kalijaga. Namun rencana satu ini kandas, karena dirasa terlalu berat bagi peserta. Terutama bagi generasi milenial.

Enam pemuda itu merombak ide. Ngaji Filsafat hanya akan digelar dalam waktu beberapa jam dengan seorang pemateri yang ditentukan. Mereka kemudian memilih dosen filsafat di UIN Kalijaga Yogyakarta bernama Fahruddin Faiz, seorang doktor dari kampus yang sama. “Kami merasa Pak Faiz dapat menyasar segmen mahasiswa dengan bahasa universal (mudah dipahami awam),” tutur dia.

Fahruddin Faiz menyanggupi ajakan tersebut. Ia mulai mengisi kajian Ngaji Filsafat pada 2013. “Pertimbangannya saat itu sederhana saja; ada teman-teman mahasiswa, aktivis masjid yang berminat belajar tentang falsafah dan hikmah,” kata Faiz. “Mereka rela apabila saya yang membeberkannya untuk mereka.”

Tujuan Faiz hanya sederhana, meramaikan masjid, membuka wawasan, berbagi pengetahuan, menemukan hikmah, dan menjalankan tugas kemanusiaan yakni mencari ilmu. Dia juga menjelaskan alasannya menerima tawaran berbagi ilmu filsafat di kampus. Masjid menurutnya, adalah tempat yang memiliki konotasi egaliter dan tidak ‘menekan’ dibanding kampus, atau mimbar akademik.

“Apa yang saya sampaikan di Ngaji Filsafat pasti bukan materi yang luar biasa bagi para elit akademisi kampus,” ucap dia. Karena itu sangat cocok diselenggarakan di dalam masjid. Orang berbagai latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya bisa ikut nimbrung berbagi.
                                                                   
Tema-tema yang ia bahas juga menarik bagi para pemuda. Setiap kali acara digelar, jumlah pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan di antara peserta banyak yang datang dari luar kota, termasuk Jakarta. Suatu waktu, kata dia, Faiz menjumpai rombongan dua bus penuh datang dan duduk bersila mendengarkan pengajiannya.

Pengajiannya membahas berbagai pemikiran tokoh dari Barat, Timur, Indonesia, Jawa, Islam, Hindu, Radikalisme, Toleransi, Cinta, Kebencian, hingga Atheisme. Bagi dia, setiap pengetahuan dan ilmu itu mulia dan berharga. Pertama, pengetahuan atau ilmu mengenai siapapun tentang apapun, manusia bisa mengambil ‘hikmah’ yang relevan untuk kehidupan, baik secara positif maupun negatif.

“Kedua, pilihan akan kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan kita tidak akan memiliki nilai tanpa landasan pengetahuan yang memadai,” tutur dia. Demikian pula pengingkaran manusia atas yang keliru dan keburukan. “Untuk menolak atheisme, kita harus paham akan apa itu atheisme. Tanpa ilmu, jangan-jangan kita membenci atheisme sementara perilaku mental kita sebenarnya sangat atheistik.”

Ia sadar bahwa ada juga beberapa orang yang mengkritiknya. Dia mengartikan kritik itu sebagai bentuk perhatian. Justru kritik yang datang kepadanya bersifat membangun dan memperbaiki. Tak pernah ada kritik yang mengintimidasi atau menekan.

Biasanya Faiz setiap bulan akan menentukan tema yang akan dibahas untuk empat kali pertemuan, setiap Rabu malam. Tema itu ia tentukan dan ia racik sendiri. Para peserta dapat duduk bersila di dalam masjid sambil menonton layar proyektor yang berisi materi pengajian.

Ia mengaku sempat mengalami masa-masa berat menyampaikan materi. Di saat apa yang ada di kepalanya kadang tidak mudah diterjemahkan melalui mulut. “Namun saya selalu berpesan kepada teman-teman yang ngaji, ‘mencari ilmu itu wajib, mendapatkan ilmu itu urusan Allah’, jadi tidak ada masalah sedikit pun seandainya tidak ada satu ‘poin’ pengetahuan yang bisa dipahami dari ngaji, karena kewajiban kita hanya berusaha memahami.”

Penulis buku Filosofi Cinta Khalil Gibran itu juga tak pernah membahas filsafat dengan rumus, retorika, atau metode tertentu. Ia menerjemahkan pikiran banyak filosof yang membingungkan menjadi mudah dicerna. Bagi dia, apa yang dibicarakan oleh para filosof sebenarnya dunia yang sama-sama kita alami kini. Hal ini yang membuatnya berinisiatif mengilustrasikan ke hal-hal ringan yang terjadi di sekeliling.

Terakhir kali, Faiz mengisi pengajian Rabu pekan lalu. Tema yang ia angkat pasca-Lebaran yakni filsafat kebencian. Dilandasi keprihatinan tentang kebencian yang kian banyak di saat ini, khususnya di media sosial. “Hampir semua media sosial-media informasi menggunakan diksi persuasif yang tujuannya adalah mengajak ‘membenci’, baik itu membenci seseorang, sekelompok orang, pemikiran tertentu, lembaga tertentu.”

Pria yang juga menulis buku Filosof Juga Manusia itu mengatakan bahwa kebencian sebenarnya merugikan bagi diri sendiri. Dia berharap kita mendayagunakan akal-budi agar tidak membiarkan diri hanyut oleh banjirnya pengetahuan palsu dan kepatuhan buta.

Faiz juga pernah membahas pemikirannya Aktivis Feminisme asal Mesir, Nawal El-Saadawi. Menurut dia, Nawal mengkritik tradisi khitan bagi perempuan. Nawal meneliti tradisi itu hingga Sudan. Perempuan yang pernah dipenjara penguasa selama 13 tahun itu juga membeberkan diskriminasi terhadap kaum hawa.

Sampai saat ini Nawal masih kritis, meski telah berumur lebih dari 80 tahun. Ia juga menjadi satu di antara pelopor penggulingan rezim Mesir kala itu, Husni Mubarak. Ia sempat diwawancarai Wartawan Tempo Qaris Tajudin saat ikut demonstrasi menggulingkan penguasa.

“Paling tidak semoga ngaji ini membuka mata kita, termasuk saya sendiri, bahwa sangat banyak hal yang tidak kita ketahui, membuat kita naik kelas dari level tidak tahu bahwa kita tidak tahu menjadi tahu kalau kita tidak tahu.” Dia berharap, dari kesadaran ini nantinya akan lahir generasi yang mencintai dan memuliakan ilmu.

Kemudian menggerakkan peradaban dari kesibukan saling menjatuhkan menjadi kegembiraan berlomba dalam kebaikan. Caranya dengan meningkatkan kualitas diri melalui pengayaan wawasan ilmu dan pengetahuan.

*tulisan ini tak dimuat redaktur, sehingga saya simpan di blog pribadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate