![]() |
ilustrasi pengharapan. blogspot |
"setiap pengetahuan dan ilmu itu mulia dan
berharga."
Sekitar empat tahun lalu, enam orang
pemuda santri di Yogyakarta memiliki keresahan yang sama. Kegelisahan mereka
tertumpuk dalam pikiran. Ada banyak pertanyaan yang kelindan mengenai siapa
Tuhan, hukum penciptaan, ideologi, manusia, semesta, atau hal-hal rumit lain
tentang beragam pikiran manusia. Apa semua itu? Keresahan yang satu beradu
dengan keresahan lain, seperti bisul kemerah-merahan yang hendak meletup.
Satu di antara mereka adalah Ariq Nazar,
pemuda lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta yang biasa menjadi
sekretaris takmir masjid setempat. Ariq dan kawan-kawannya ingin membuat sebuah
perbedaan. Ia bersama M. Yasir selaku ketua, Lukman, dan beberapa pemuda lain punya
gagasan membuat wadah diskusi bagi kalangan pemuda. Cita-citanya untuk melunasi
dahaga penasaran mereka tentang ilmu pengetahuan. Apalagi di sana kajian
diskusi dan budaya literasi masih minim.
“Waktu itu, kajian (di masjid) hanya untuk
bapak-bapak dan ibu-ibu, kami berpikir kajian segmen mahasiswa belum tergarap,”
kata Ariq saat ditemui Tempo pekan lalu, Kamis, 20 Juli 2017. Dalam proses
berpikir itu, terceletuklah ide membangkitkan Ngaji Filsafat. Pembahasan
tentang pelbagai pemikir dunia.
Kata dia, di Masjid Jenderal Sudirman
Yogyakarta, memang punya sejarah berkumpulnya para pemuda progresif. Kajian
semacam filsafat telah dimulai sejak 1970-an, atau saat-saat masjid itu baru didirikan.
Para mahasiswa pergerakan dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu untuk diskusi.
Namun kajian itu terhenti, entah mengapa.
Mereka memiliki semangat untuk
mengembalikan budaya itu. Pada awalnya, ide bermuncul Ngaji Filsafat akan
digelar sekali dalam sepekan dengan durasi sehari penuh. Para pemateri pun
disiapkan dari berbagai universitas termasuk Universitas Gajah Mada (UGM) dan
UIN Kalijaga. Namun rencana satu ini kandas, karena dirasa terlalu berat bagi
peserta. Terutama bagi generasi milenial.
Enam pemuda itu merombak ide. Ngaji
Filsafat hanya akan digelar dalam waktu beberapa jam dengan seorang pemateri
yang ditentukan. Mereka kemudian memilih dosen filsafat di UIN Kalijaga
Yogyakarta bernama Fahruddin Faiz, seorang doktor dari kampus yang sama. “Kami
merasa Pak Faiz dapat menyasar segmen mahasiswa dengan bahasa universal (mudah
dipahami awam),” tutur dia.
Fahruddin Faiz menyanggupi ajakan
tersebut. Ia mulai mengisi kajian Ngaji Filsafat pada 2013. “Pertimbangannya
saat itu sederhana saja; ada teman-teman mahasiswa, aktivis masjid yang
berminat belajar tentang falsafah dan hikmah,” kata Faiz. “Mereka rela apabila
saya yang membeberkannya untuk mereka.”
Tujuan Faiz hanya sederhana, meramaikan
masjid, membuka wawasan, berbagi pengetahuan, menemukan hikmah, dan menjalankan
tugas kemanusiaan yakni mencari ilmu. Dia juga menjelaskan alasannya menerima
tawaran berbagi ilmu filsafat di kampus. Masjid menurutnya, adalah tempat yang
memiliki konotasi egaliter dan tidak ‘menekan’
dibanding kampus, atau mimbar akademik.
“Apa yang saya sampaikan di Ngaji Filsafat
pasti bukan materi yang luar biasa bagi para elit akademisi kampus,” ucap dia.
Karena itu sangat cocok diselenggarakan di dalam masjid. Orang berbagai latar
belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya bisa ikut nimbrung berbagi.
Tema-tema yang ia bahas juga menarik bagi para pemuda. Setiap kali acara digelar, jumlah pengunjung mencapai ratusan orang. Bahkan di antara peserta banyak yang datang dari luar kota, termasuk Jakarta. Suatu waktu, kata dia, Faiz menjumpai rombongan dua bus penuh datang dan duduk bersila mendengarkan pengajiannya.
Pengajiannya membahas berbagai pemikiran
tokoh dari Barat, Timur, Indonesia, Jawa, Islam, Hindu, Radikalisme, Toleransi,
Cinta, Kebencian, hingga Atheisme. Bagi dia, setiap pengetahuan dan ilmu itu
mulia dan berharga. Pertama, pengetahuan atau ilmu mengenai siapapun tentang
apapun, manusia bisa mengambil ‘hikmah’ yang relevan untuk kehidupan, baik
secara positif maupun negatif.
“Kedua, pilihan akan kebenaran dan
kebaikan dalam kehidupan kita tidak akan memiliki nilai tanpa landasan
pengetahuan yang memadai,” tutur dia. Demikian pula pengingkaran manusia atas
yang keliru dan keburukan. “Untuk menolak atheisme, kita harus paham akan apa
itu atheisme. Tanpa ilmu, jangan-jangan kita membenci atheisme sementara
perilaku mental kita sebenarnya sangat atheistik.”
Ia sadar bahwa ada juga beberapa orang
yang mengkritiknya. Dia mengartikan kritik itu sebagai bentuk perhatian. Justru
kritik yang datang kepadanya bersifat membangun dan memperbaiki. Tak pernah ada
kritik yang mengintimidasi atau menekan.
Biasanya Faiz setiap bulan akan menentukan
tema yang akan dibahas untuk empat kali pertemuan, setiap Rabu malam. Tema itu
ia tentukan dan ia racik sendiri. Para peserta dapat duduk bersila di dalam
masjid sambil menonton layar proyektor yang berisi materi pengajian.
Ia mengaku sempat mengalami masa-masa
berat menyampaikan materi. Di saat apa yang ada di kepalanya kadang tidak mudah
diterjemahkan melalui mulut. “Namun saya selalu berpesan kepada teman-teman
yang ngaji, ‘mencari ilmu itu wajib, mendapatkan ilmu itu urusan Allah’, jadi
tidak ada masalah sedikit pun seandainya tidak ada satu ‘poin’ pengetahuan yang
bisa dipahami dari ngaji, karena kewajiban kita hanya berusaha memahami.”
Penulis buku Filosofi Cinta Khalil Gibran
itu juga tak pernah membahas filsafat dengan rumus, retorika, atau metode
tertentu. Ia menerjemahkan pikiran banyak filosof yang membingungkan menjadi
mudah dicerna. Bagi dia, apa yang dibicarakan oleh para filosof sebenarnya
dunia yang sama-sama kita alami kini. Hal ini yang membuatnya berinisiatif
mengilustrasikan ke hal-hal ringan yang terjadi di sekeliling.
Terakhir kali, Faiz mengisi pengajian Rabu
pekan lalu. Tema yang ia angkat pasca-Lebaran yakni filsafat kebencian.
Dilandasi keprihatinan tentang kebencian yang kian banyak di saat ini,
khususnya di media sosial. “Hampir semua media sosial-media informasi
menggunakan diksi persuasif yang tujuannya adalah mengajak ‘membenci’, baik itu
membenci seseorang, sekelompok orang, pemikiran tertentu, lembaga tertentu.”
Pria yang juga menulis buku Filosof Juga
Manusia itu mengatakan bahwa kebencian sebenarnya merugikan bagi diri sendiri.
Dia berharap kita mendayagunakan akal-budi agar tidak membiarkan diri hanyut
oleh banjirnya pengetahuan palsu dan kepatuhan buta.
Faiz juga pernah membahas pemikirannya
Aktivis Feminisme asal Mesir, Nawal El-Saadawi. Menurut dia, Nawal mengkritik
tradisi khitan bagi perempuan. Nawal meneliti tradisi itu hingga Sudan.
Perempuan yang pernah dipenjara penguasa selama 13 tahun itu juga membeberkan
diskriminasi terhadap kaum hawa.
Sampai saat ini Nawal masih kritis, meski
telah berumur lebih dari 80 tahun. Ia juga menjadi satu di antara pelopor
penggulingan rezim Mesir kala itu, Husni Mubarak. Ia sempat diwawancarai
Wartawan Tempo Qaris Tajudin saat ikut demonstrasi menggulingkan penguasa.
“Paling tidak semoga ngaji ini membuka mata kita, termasuk saya sendiri, bahwa sangat banyak hal yang tidak kita ketahui, membuat kita naik kelas dari level tidak tahu bahwa kita tidak tahu menjadi tahu kalau kita tidak tahu.” Dia berharap, dari kesadaran ini nantinya akan lahir generasi yang mencintai dan memuliakan ilmu.
Kemudian menggerakkan peradaban dari
kesibukan saling menjatuhkan menjadi kegembiraan berlomba dalam kebaikan.
Caranya dengan meningkatkan kualitas diri melalui pengayaan wawasan ilmu dan
pengetahuan.
*tulisan ini tak dimuat redaktur, sehingga saya simpan di blog pribadi.
*tulisan ini tak dimuat redaktur, sehingga saya simpan di blog pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar