Senin, 23 Februari 2015

Sejarah Pers Indonesia: Pra-Kemerdekaan Hingga Masa Demokrasi

Sumber Foto Kompas: Bapak Pers Nasional, Rosihan Anwar memangku satu di antara senjata andalannya, mesin ketik kuno semasa masih hidup.
Sejak lahirnya pers pertama di Indonesia, pada tahun 1712, koran pertama di Indonesia, dinamai De Heeren Zeventien.Namun koran yang digagas oleh para direktur VOC itu ternyata harus kandas sebelum diterbitkan lantaran kekuatiran pemerintah VOC masa itu. (Atmakusumah 2009 : 1-18) mencatat baru 32 tahun kemudian, tepatnya pada 7 Agustus 1744 surat kabar pertama yang dinamai Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) diterbitkan sebagai surat kabar mingguan oleh saudagar di Batavia. 
Namun sayangnya, dua tahun kemudian surat kabar tersebut dilarang terbit oleh gubernur atas perintah direktur VOC di Belanda karena dianggap membahayakan. Koran itu di tutup pada 20 Juni 1746 karena VOC khawatir para pesaing dagangnya akan memperoleh keuntungan dari berita di surat kabar tersebut.
Pada pertengahan abad ke 18 itu, cikal bakal lahirnya pers di Indonesia dimulai. Namun, selama lebih dari seratus tahun berikutnya rakyat pribumi belum bisa mengonsumsi media massa kala itu.Ini terjadi lantaran kebanyakan koran diterbitkan hanya untuk saudagar VOC bukan untuk rakyat pribumi. Di samping itu khalayak pribumi juga belum banyak yang mengenal baca-tulis.
Kemudian, 30 tahun setelah ditutupnya koran pertama, VOC kembali menerbitkan koran kedua, Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang) yang memuat berbagai informasi pelelangan yang diselenggarakan VOC. Surat izin terbit diberikan kepada L. Dominicus, Juru Cetak di Batavia. Namun surat kabar itu harus disensor ketat.
Menyadari kebutuhan informasi yang sangat berperan dalam dunia usaha perdagangan mereka. Jauh setelah itu, pada tahun 1856 pemerintah VOC kemudian membuat undang-undang pers (Drukpersreglement) atau lengkapnya disebut Reglement op de Drukwerken in Nederlands-Indie (Peraturan Barang Cetak di Hindia Belanda). Sayangnya, kebijakan tersebut justru yang makin membatasi, merintangi independensi kebijaan redaksi media pers secara preventif.Pasalnya, setiap produk pers diwajibkan untuk memberikan tembusan kepada tiga pejabat pemerintahan masa itu sebelum koran itu diterbitkan. Karena itu undang-undang pers kemudian diperbarui pada 1906 dengan agak melonggarkan pembatasan terhadap pers melalui pengawasan represif. Tidak lagi pengawasan preventif. Namun media pers masih tetap harus mengirimkan tembusan pasca-cetak kepada pejabat pemerintahan VOC dalam waktu 24 jam sesudah diterbitkan dan diedarkan.
Ratusan tahun pers dikuasai oleh para konglomerat VOC, barulah pada tahun 1907 surat kabar pertama Medan Prijaji, yang digagas dan diproduksi seluruhnya oleh orang-orang pribumi sebagai alat propaganda kemerdekaan menjadi cikal-bakal terbentuknya pers di Indonesia secara independen.Koran yang dipelopori oleh Tirto Adhi Surjo (TAS) itu memberikan sajian yang kritis dimana tak hanya memberikan informasi semata, melainkan menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan. Namun di tahun berikutnya, untuk menekan kebebasan pers dan membungkam suara pribumi yang ramai dari koran bawah tanah (gerakan pers partisan) dalam menyuluhkan kemerdekaan, pembatasan karya jurnalistik semakin dikuatkan dengan ditelurkannya undang-undang pembredelan pada tahun 1931, (Persbreidel Ordonnantie). Pembredelan dilakukan lantaran gubernur jenderal VOC menganggap pers yang kritis hanya sebagai pengganggu ketertiban umum. Apabila masih dianggap mengganggu, masa pembredelan akan diperpanjang kembali.
Pasca runtuhnya VOC atas penjajahan Jepang di Indonesia pun sama seperti,pers “masih mati suri”. Pada tahun 1942 hingga 1945 Jepang memberlakukan undang-undang dengan mewajibkan setiap media pers memiliki surat izin terbit. Atmakusumah (Tuntutan Zaman, Kebebasan Pers 2009 : 19) dalam bukunya menceritakan, Jepang menempatkan penasihat di kantor surat kabar, seperti surat kabar milik saudagar belanda, milik orang indonesia yang anti-Jepang, dan surat kabar Tionghoa yang menentang agresi Jepang ke Indonesia.
Masa-masa sulit pers Indonesia juga terjadi pasca era kemerdekaan tepatnya pada orde lama dan orde baru. Pada era tersebut pers masih dibungkam kebebasannya dengan diwajibkan setiap media massa memilki surat izin terbit. Pemerintah tidak segan membredel media massa yang tidak sejalan dengan prgram pemerintahan. Bahkan kerap melakukan intimidasi dan penculikan terhadap wartawan.
Barulah pada era reformasi, pers dapat menghirup kebebasan berpikir dan bersuara. Tentunya, hal tersebut sangat dipengaruhi lahirnya undang undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Dalam realitas kini, media massa tidak lagi ketakutan akan dibredel dan disensor. Media massa sekarang bukan sekedar sebagai sumber informasi kepada khalayaknya. media massa sudah menjadi bagian dari masyarakat dalam mengontruksikan realitas ke dalam sebuah wacana.
Wakil direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Suka pada harian Jakarta Post April 2008 bahkan menegaskan bahwa paska lahirnya kebebasan pers, Indonesia menjadi satu-satunya negara bebas di Asia Tenggara. “Demokrasi Indonesia sangat berutang kepada eksistensi media pers yang bebas. Tanpa kebebasan pers, demokrasi kita akan mati sejak awal. Kita harus mengingatkan diri sendiri, bahwa pers adalah benteng dari demokrasi,” ujarnya.
Seperti yang tertuang dalam undang undang dasar 1945 pasal 28 tentang kebebasan untuk berpikir dan bersuara. Oleh karena itu undang undang pers 1999 juga mengatur tentang kebebasan wartawan memiliki hak tolak. Selain itu yang terpenting adalah kebebasan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi. Lalu sebagai orang yang bebas, wartawan diperkenankan secara bebas untuk memilih dan membuat organisasi wartawan.
Hal tersebut menandai sebagai awal dari proses jurnalisme yang mengedepankan kepentingan masyarakat di Indonesia. Kemudian seperti yang pernah ditulis oleh (Schramm dalam Werner dan James 2009 : 373) tentang empat teori pers.Seiring berjalannya waktu, kebebasan pers di Indonesia menentukan dirinya sebagai pers yang bertanggung jawab pada sosial dan sebagai pers liberal. Dan dapat terlibat secara langsung dalam mengontruksikan wacana antara komunikasi pemerintah ke masyarakat, maupun sebaliknya: komunikasi masyarakat ke pemerintah.
Dalam pengelompokan sistem pers yang terkenal di dunia itu, Schramm lebih rinci membuktikan bahwa setelah abad dua puluh ada gagasan dari para praktisi pers akan teori tanggung jawab sosial. Teori tersebut memberikan ruang bagi publik untuk lebih bebas bersuara. Bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum. Di sini media massa secara penuh dikontrol oleh masyarakat itu sendiri, Schramm dalam Werner dan James (2009 : 377).
Sedangkan teori liberal menurut Schramm adalah dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak-hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Pers liberal menemukan dirinya sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan (Werner dan James 2009: 374).
Namun seperti halnya pedang, meskipun pers di Indonesia sudah jelas memilih sistem pers yang bertanggung jawab terhadap sosial dan berdasar pada teori liberalisme, namun secara harfiah pers tetaplah pers. Media massa juga membentuk dirinya sebagai citra berdasarkan informasi yang setiap saat disajikannya. Dikatakan oleh (Jalaluddin Rakhmat 2009 : 224), bahwa setiap realitas yang ditampilkan media adalah realitas yag sudah diseleksi. Realitas tangan kedua (second hand reality). Ia mencontohkan, televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lainnya. Begitu pun dengan koran dengan melalui proses gatekeeper, menapis berbagai berita kemudian memuat berita tentang darah dan dada (blood and breast).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate