![]() |
Sumber Foto Kompas: Bapak Pers Nasional, Rosihan Anwar memangku satu di antara senjata andalannya, mesin ketik kuno semasa masih hidup. |
Sejak lahirnya pers pertama di Indonesia, pada
tahun 1712, koran pertama di Indonesia, dinamai De Heeren Zeventien.Namun koran yang digagas oleh para direktur VOC
itu ternyata harus kandas sebelum diterbitkan lantaran kekuatiran pemerintah
VOC masa itu. (Atmakusumah 2009 : 1-18) mencatat baru 32 tahun kemudian,
tepatnya pada 7 Agustus 1744 surat kabar pertama yang dinamai Bataviasche Nouvelles en Politique
Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) diterbitkan sebagai
surat kabar mingguan oleh saudagar di Batavia.
Namun sayangnya, dua tahun
kemudian surat kabar tersebut dilarang terbit oleh gubernur atas perintah
direktur VOC di Belanda karena dianggap membahayakan. Koran itu di tutup pada
20 Juni 1746 karena VOC khawatir para pesaing dagangnya akan memperoleh
keuntungan dari berita di surat kabar tersebut.
Pada pertengahan abad ke 18 itu, cikal bakal
lahirnya pers di Indonesia dimulai. Namun, selama lebih dari seratus tahun
berikutnya rakyat pribumi belum bisa mengonsumsi media massa kala itu.Ini
terjadi lantaran kebanyakan koran diterbitkan hanya untuk saudagar VOC bukan
untuk rakyat pribumi. Di samping itu khalayak pribumi juga belum banyak yang
mengenal baca-tulis.
Kemudian, 30 tahun setelah ditutupnya koran
pertama, VOC kembali menerbitkan koran kedua, Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang) yang memuat berbagai informasi
pelelangan yang diselenggarakan VOC. Surat izin terbit diberikan kepada L.
Dominicus, Juru Cetak di Batavia. Namun surat kabar itu harus disensor ketat.
Menyadari kebutuhan informasi yang sangat berperan
dalam dunia usaha perdagangan mereka. Jauh setelah itu, pada tahun 1856
pemerintah VOC kemudian membuat undang-undang pers (Drukpersreglement) atau lengkapnya disebut Reglement op de Drukwerken in Nederlands-Indie (Peraturan Barang
Cetak di Hindia Belanda). Sayangnya,
kebijakan tersebut justru yang makin membatasi, merintangi independensi
kebijaan redaksi media pers secara preventif.Pasalnya, setiap produk pers
diwajibkan untuk memberikan tembusan kepada tiga pejabat pemerintahan masa itu
sebelum koran itu diterbitkan. Karena itu undang-undang pers kemudian
diperbarui pada 1906 dengan agak melonggarkan pembatasan terhadap pers melalui
pengawasan represif. Tidak lagi pengawasan preventif. Namun media pers masih
tetap harus mengirimkan tembusan pasca-cetak kepada pejabat pemerintahan VOC
dalam waktu 24 jam sesudah diterbitkan dan diedarkan.
Ratusan tahun pers dikuasai oleh para konglomerat
VOC, barulah pada tahun 1907 surat kabar pertama Medan Prijaji, yang digagas dan diproduksi seluruhnya oleh
orang-orang pribumi sebagai alat propaganda kemerdekaan menjadi cikal-bakal
terbentuknya pers di Indonesia secara independen.Koran yang dipelopori oleh Tirto Adhi Surjo (TAS) itu memberikan sajian yang kritis dimana tak hanya memberikan informasi semata, melainkan menjadi penyuluh
keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya,
mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan
mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat
bangsanya dengan usaha perdagangan. Namun di tahun berikutnya,
untuk menekan kebebasan pers dan membungkam suara pribumi yang ramai dari koran
bawah tanah (gerakan pers partisan) dalam menyuluhkan kemerdekaan, pembatasan
karya jurnalistik semakin dikuatkan dengan ditelurkannya undang-undang
pembredelan pada tahun 1931, (Persbreidel
Ordonnantie). Pembredelan dilakukan lantaran gubernur jenderal VOC
menganggap pers yang kritis hanya sebagai pengganggu ketertiban umum. Apabila
masih dianggap mengganggu, masa pembredelan akan diperpanjang kembali.
Pasca runtuhnya VOC atas penjajahan Jepang di
Indonesia pun sama seperti,pers “masih mati suri”. Pada tahun 1942 hingga 1945
Jepang memberlakukan undang-undang dengan mewajibkan setiap media pers memiliki
surat izin terbit. Atmakusumah (Tuntutan Zaman, Kebebasan Pers 2009 : 19) dalam
bukunya menceritakan, Jepang menempatkan penasihat di kantor surat kabar, seperti
surat kabar milik saudagar belanda, milik orang indonesia yang anti-Jepang, dan
surat kabar Tionghoa yang menentang agresi Jepang ke Indonesia.
Masa-masa sulit pers
Indonesia juga terjadi pasca era kemerdekaan tepatnya pada orde lama dan orde
baru. Pada era tersebut pers masih dibungkam kebebasannya dengan diwajibkan
setiap media massa memilki surat izin terbit. Pemerintah tidak segan membredel
media massa yang tidak sejalan dengan prgram pemerintahan. Bahkan kerap
melakukan intimidasi dan penculikan terhadap wartawan.
Barulah pada era reformasi, pers dapat menghirup
kebebasan berpikir dan bersuara. Tentunya, hal tersebut sangat dipengaruhi
lahirnya undang undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Dalam realitas
kini, media massa tidak lagi ketakutan akan dibredel dan disensor. Media massa
sekarang bukan sekedar sebagai sumber informasi kepada khalayaknya. media massa
sudah menjadi bagian dari masyarakat dalam mengontruksikan realitas ke dalam
sebuah wacana.
Wakil direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Suka
pada harian Jakarta Post April 2008 bahkan menegaskan bahwa paska lahirnya
kebebasan pers, Indonesia menjadi satu-satunya negara bebas di Asia Tenggara.
“Demokrasi Indonesia sangat berutang kepada eksistensi media pers yang bebas.
Tanpa kebebasan pers, demokrasi kita akan mati sejak awal. Kita harus
mengingatkan diri sendiri, bahwa pers adalah benteng dari demokrasi,” ujarnya.
Seperti yang tertuang dalam undang undang dasar
1945 pasal 28 tentang kebebasan untuk berpikir dan bersuara. Oleh karena itu
undang undang pers 1999 juga mengatur tentang kebebasan wartawan memiliki hak
tolak. Selain itu yang terpenting adalah kebebasan untuk mencari, memperoleh,
dan menyebarluaskan gagasan serta informasi. Lalu sebagai orang yang bebas,
wartawan diperkenankan secara bebas untuk memilih dan membuat organisasi
wartawan.
Hal tersebut menandai sebagai awal dari proses
jurnalisme yang mengedepankan kepentingan masyarakat di Indonesia. Kemudian
seperti yang pernah ditulis oleh (Schramm dalam Werner dan James 2009 : 373)
tentang empat teori pers.Seiring berjalannya waktu, kebebasan pers di Indonesia
menentukan dirinya sebagai pers yang bertanggung jawab pada sosial dan sebagai
pers liberal. Dan dapat terlibat secara langsung dalam mengontruksikan wacana
antara komunikasi pemerintah ke masyarakat, maupun sebaliknya: komunikasi
masyarakat ke pemerintah.
Dalam pengelompokan sistem pers yang terkenal di
dunia itu, Schramm lebih rinci membuktikan bahwa setelah abad dua puluh ada
gagasan dari para praktisi pers akan teori tanggung jawab sosial. Teori
tersebut memberikan ruang bagi publik untuk lebih bebas bersuara. Bahwa setiap
orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak
dalam forum. Di sini media massa secara penuh dikontrol oleh masyarakat itu
sendiri, Schramm dalam Werner dan James (2009 : 377).
Sedangkan teori liberal menurut Schramm adalah
dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak-hak
alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Pers liberal menemukan
dirinya sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari
keuntungan (Werner dan James 2009: 374).
Namun seperti halnya pedang, meskipun pers di
Indonesia sudah jelas memilih sistem pers yang bertanggung jawab terhadap
sosial dan berdasar pada teori liberalisme, namun secara harfiah pers tetaplah
pers. Media massa juga membentuk dirinya sebagai citra berdasarkan informasi
yang setiap saat disajikannya. Dikatakan oleh (Jalaluddin Rakhmat 2009 : 224),
bahwa setiap realitas yang ditampilkan media adalah realitas yag sudah
diseleksi. Realitas tangan kedua (second
hand reality). Ia mencontohkan, televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk
ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lainnya. Begitu pun dengan koran dengan
melalui proses gatekeeper, menapis berbagai berita kemudian memuat berita
tentang darah dan dada (blood and breast).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar