![]() |
sumber Tempo |
Kalau
melihat kasus reklamasi, saya jadi ingat Multatuli. Ia adalah penderitaan
rakyat pribumi (sebutan Hindia Belanda) saat dijajah kolonialisme melalui kaki
tangan feodalisme. Cerita ini pertama kali ditulis oleh Eduard Douwes Dekker _Ia
menginspirasi pemikiran Raden Ajeng Kartini tentang keadilan dan kesetaraan_.
Belakangan kita mengenal Pramoedya Ananta Toer, seoarang pria hebat yang memijarkan
sejarah bangsa kepada generasi penerus.
Anggaplah
reklamasi itu adalah sistem tanam paksa era kolonial. Belanda mewajibkan petani
pribumi menanam komoditas ekspor Eropa. Saat panen mereka wajib menjual ke
Belanda dengan harga rendah. Petani masih diperas dengan pajak penghasilan,
sementara orang-orang miskin dibuang ke kamp kerja paksa. Kolonialisme bercokol
lebih dari tiga abad memanfaatkan kaki tangan cara feodalisme para bupati,
tumenggung, atau pemimpin daerah yang rakus. Belanda hanya perlu menjamin
kenikmatan bupati, agar pemimpin daerah itu bisa mencambuk rakyatnya sendiri.
Barangkali
itu juga terjadi saat ini, meski tidak persis penyiksaan dan penderitaan
pribumi masa kolonialisme. Tapi bisa kita rasakan, bagaimana pemerintah
membunuh nelayan dengan perlahan, seperti mengiris nadi? Bagaimana pemerintah
mengeksploitasi alam tanpa pernah peduli? Bagaimana mereka membunuh keadilan
dengan uang?
Pekan
lalu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bicara lantang,
bahwa benar-benar telah mencabut moratorium reklamasi Pulau C, D, dan G. Ketiga
pulau buatan itu sudah dianggap layak dijejak dan dibangun lagi. Pengembang
sumringah mendengar itu. Mereka bilang, sanksi telah rampung dipenuhi, “Kami
lanjutkan pembangunan.”
Kuasa
Hukum PT Kapuk Naga Indah, Kresna Wasedanto cerita berapi-api tentang proyeksi
perusahaannya. Pertama mereka ingin agar segera dapat izin mendirikan bangunan
(IMB), menyusul kemudian harapan pembahasan raperda reklamasi dilanjutkan oleh
DPRD DKI Jakarta. Saya melihat senyumnya, “Sesuai hukum positif, reklamasi ini
memang sudah jelas (dilanjutkan),” kata dia pekan lalu.
Sebenarnya,
saya muak dengan cara mereka, menghalalkan segala cara. Kamu tahu sendiri, dua
pulau milik Agung Sedayu itu dibangun secara ilegal. Sekonyong-konyong
menggunung pasir di tengah laut dan bercokol bangunan di atasnya tahun lalu.
Bangunan itu didirikan tanpa memiliki IMB dan izin peruntukan rencana tata
ruang wilayah. Bahkan amdal dan izin lingkungan dibuat asal-asalan. Perusahaan
sempat disanksi dan diminta berhenti bekerja selama proses perbaikan.
Kenyataannya, satu per satu bangunan terus bercokol sampai kini.
Aktivis
lingkungan dan para peneliti dari sejumlah lembaga pemerintah memborbardir
mereka dengan kritik. Satu di antaranya hasil laporan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) yang menganggap reklamasi akan memperparah kerusakan lingkungan
di Teluk Jakarta. Belum lagi ditambah rencana pembangunan giant sea wall, melintang di tengah laut, dari ujung timur tembus
ujung barat Jakarta. “Itu menciptakan sebuah comberan raksasa,” kata Peneliti
Senior KKP, Widodo Pranowo.
Luhut
membantah kritik itu dengan meminjam mulut ahli yang diboyong dari Institut
Teknologi Bandung (ITB), peneliti Korea, Jepang, dan Belanda. Insinyur-insinyur
bayaran itu diminta membuat permodelan bahwa reklamasi dilakukan untuk
menanggulangi penurunan muka tanah di Jakarta dan abrasi di Jakarta. Belakangan
muncul bantahan dari para alumni ITB bahwa mereka sama sekali tak
merekomendasikan reklamasi.
Bagi
orang awam seperti saya, argumen reklamasi dapat mengendalikan penurunan muka
tanah di Jakarta adalah omong kosong. Tentu kamu lebih paham dibanding saya,
bahwa lapisan tanah itu menyimpan cadangan air. Jika semua warga Jakarta
menyedot air tanah, maka kemungkinan tanah akan ambles atau terjadi land subsidence. Setahu saya, cadangan
air juga berfungsi menjaga ekosistem. Tokyo pada 60-an pernah mengalami kondisi
serupa. Satu-satunya cara yang mereka lakukan adalah dengan memperketat
penggunaan air tanah dan memperbaiki mitigasi air dari hulu hingga muara.
Benar
katamu, masalah utama di Jakarta adalah manajemen pengelolaan air. Dulu kamu
pernah cerita bahwa Kawasan Strategis Nasional Jabodetabek Puncak Cianjur harus
memiliki mitigasi. Caranya dengan membuat kanal dan embung-embung di sejumlah
titik dari kawasan Puncak hingga Jakarta. Tujuannya untuk mengendalikan air
agar tidak terjun bebas ke hilir Jakarta. Saya rasa para peneliti KKP, LIPI,
atau IPB juga sudah memikirkan itu. Termasuk dengan mengatasi limbah yang bebas
dibuang ke sungai tanpa pengolahan.
Kenyataannya,
orientasi pemerintah tidak seprogresif itu. Tujuan mereka hanyalah mengejar
uang. Agar pengembang dapat berinvestasi ratusan triliun ke Indonesia.
Sederhana saja, mereka bakal dapat uang tunai dari pajak tanpa perlu kerja dan
mikir keras. Saya menduga bahwa ini tidak terlepas dari skandal suap-menyuap.
Hanya saja kita sulit membuktikannya; setidaknya belum untuk saat ini.
Seandainya
pemerintah melihat secara obyektif permasalahan di Jakarta, tentu mereka tak
bakal tergesa-gesa seperti Luhut. Di ibu kota ini, ada sekitar 70 ribu
masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari ikan. Sementara, nanti
dermaga mereka, bakal diimpit dengan akar beton. Mereka harus membelah empang
raksasa sepanjang 3 mil sebelum melihat lautan lepas. Jarak itu akan merusak
alur pelayaran dan pola bisnis nelayan. Ini sudah terbukti di Singapura;
praktis nelayan sudah mati.
Beberapa
hari lalu saya mendapat salinan surat penyelidikan kasus reklamasi yang
dilakukan polisi. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya katanya
sedang menelisik dugaan penggunaan lahan reklamasi tanpa izin. Belum jelas
siapa yang lapor dan terlapor. Polisi hanya mengatakan tidak ada pelapor,
mereka hanya menyelidiki dugaan tindak pidana, karena sedang santer momentum
pencabutan moratorium reklamasi. Rasanya aneh, polisi mendadak rajin seperti
itu _apalagi lebih rajin ketimbang penyidik KPK_. Saya menduga pengembang
sedang dilaporkan, tapi oleh siapa? Entahlah.
Kalaupun
pengembang dilaporkan, itu juga sudah sewajarnya. Reklamasi tidak terlepas dari
kepentingan bisnis sembilan naga, dan kepentingan politik. Kata politisi
Gerindra, reklamasi akan jadi dagangan politik 2019. Sudah menjadi rahasia
umum, Luhut adalah orang-orang dekat para cukong-cukong penguasa negeri ini;
yang kemudian membiayai kampanye Presiden Joko Widodo. Saya rasa ini sebuah
konspirasi, perlu dipertimbangkan sekaligus juga diragukan. Tapi melihat
kebijakan “karpet merah” untuk pengembang reklamasi dan sikap Jokowi, patutlah
kita menganalisa konspirasi murahan itu.
Melihat
kasus ini, Menteri KKP Susi Pudjiastuti dari awal lebih banyak memilih diam
diri. Tapi sebenarnya anak buahnya diminta gerilya. Para pejabat eselon satu sampai
golongan terakhir disuruh kritis atas penilaian reklamasi. Ini yang membuat
Luhut sering geram dengan analisa mereka. Terakhir, saat pengumuman pencabutan
moratorium, KKP tak diundang. Dugaannya, Luhut marah dengan KKP. Saya dengar
informasi itu dari sejumlah pejabat di kementeriannya Susi.
Sementara
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya kelihatan memilih manut
saja atas perintah Luhut. Dia tak bisa berkutik. Ibarat film komedi Warkop DKI,
“maju kena, mundur kena”. Siti sama sekali tak pernah mengkritik pengembang,
tidak seperti saat jabatan Rizal Ramli sebelum diganti Luhut. Saya pernah
menulis itu, dan mengkritik KLHK tak pernah awas terhadap pelanggaran
pengembang. Senyampang saja, Siti dan para anak buahnya ngambek musuhin Tempo, dan ending-nya
tak mau diwawancara lagi.
Saya
berharap kita tetap sadar, bahwa sekecil apapun kemampuan kita, ini tak boleh
dibiarkan. Kalaupun kita hanya punya semangat, itu bisa ditularkan untuk
membangkitkan yang buta. Kalau kita hanya punya pena, tentu itu, pelan-pelan,
dapat membunuh ketidakadilan di negeri ini. Setidak-tidaknya kita selalu
berbuat. Entahlah, apakah jalan saya sekarang ini benar? Saya hanya sekadar
percaya, bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, di antara orang-orang lapar, miskin,
dan yang disingkirkan.
Terima
kasih sahabatku, telah menemani saya cerita. Bagaimana dengan kabar hutanmu di
sana? Apakah kamu masih memiliki gairah yang sama untuk sederhana dengan
semesta? Merawat pohon, memikirkan aliran air, mengamati
bintang orions, melihat bentangan khatulistiwa, menghitung kunang-kunang, atau
sekadar menanam sayur tanpa tanah. Semoga semangat kita selalu terjaga, sesibuk
apapun itu, untuk melihat hidup ini dengan cara sederhana.
Kebenaran
hanya milik Tuhan, saya hanya ketidaktahuan.
Salam
hormat saya dari sahabatmu di Jakarta,
Minggu,
8 Oktober 2017
--------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar