Kamis, 14 Desember 2017

Akar Ketiak

sumber Tempo
Kalau melihat kasus reklamasi, saya jadi ingat Multatuli. Ia adalah penderitaan rakyat pribumi (sebutan Hindia Belanda) saat dijajah kolonialisme melalui kaki tangan feodalisme. Cerita ini pertama kali ditulis oleh Eduard Douwes Dekker _Ia menginspirasi pemikiran Raden Ajeng Kartini tentang keadilan dan kesetaraan_. Belakangan kita mengenal Pramoedya Ananta Toer, seoarang pria hebat yang memijarkan sejarah bangsa kepada generasi penerus.

Anggaplah reklamasi itu adalah sistem tanam paksa era kolonial. Belanda mewajibkan petani pribumi menanam komoditas ekspor Eropa. Saat panen mereka wajib menjual ke Belanda dengan harga rendah. Petani masih diperas dengan pajak penghasilan, sementara orang-orang miskin dibuang ke kamp kerja paksa. Kolonialisme bercokol lebih dari tiga abad memanfaatkan kaki tangan cara feodalisme para bupati, tumenggung, atau pemimpin daerah yang rakus. Belanda hanya perlu menjamin kenikmatan bupati, agar pemimpin daerah itu bisa mencambuk rakyatnya sendiri.

Barangkali itu juga terjadi saat ini, meski tidak persis penyiksaan dan penderitaan pribumi masa kolonialisme. Tapi bisa kita rasakan, bagaimana pemerintah membunuh nelayan dengan perlahan, seperti mengiris nadi? Bagaimana pemerintah mengeksploitasi alam tanpa pernah peduli? Bagaimana mereka membunuh keadilan dengan uang?

Pekan lalu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bicara lantang, bahwa benar-benar telah mencabut moratorium reklamasi Pulau C, D, dan G. Ketiga pulau buatan itu sudah dianggap layak dijejak dan dibangun lagi. Pengembang sumringah mendengar itu. Mereka bilang, sanksi telah rampung dipenuhi, “Kami lanjutkan pembangunan.”

Kuasa Hukum PT Kapuk Naga Indah, Kresna Wasedanto cerita berapi-api tentang proyeksi perusahaannya. Pertama mereka ingin agar segera dapat izin mendirikan bangunan (IMB), menyusul kemudian harapan pembahasan raperda reklamasi dilanjutkan oleh DPRD DKI Jakarta. Saya melihat senyumnya, “Sesuai hukum positif, reklamasi ini memang sudah jelas (dilanjutkan),” kata dia pekan lalu.

Sebenarnya, saya muak dengan cara mereka, menghalalkan segala cara. Kamu tahu sendiri, dua pulau milik Agung Sedayu itu dibangun secara ilegal. Sekonyong-konyong menggunung pasir di tengah laut dan bercokol bangunan di atasnya tahun lalu. Bangunan itu didirikan tanpa memiliki IMB dan izin peruntukan rencana tata ruang wilayah. Bahkan amdal dan izin lingkungan dibuat asal-asalan. Perusahaan sempat disanksi dan diminta berhenti bekerja selama proses perbaikan. Kenyataannya, satu per satu bangunan terus bercokol sampai kini.

Aktivis lingkungan dan para peneliti dari sejumlah lembaga pemerintah memborbardir mereka dengan kritik. Satu di antaranya hasil laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menganggap reklamasi akan memperparah kerusakan lingkungan di Teluk Jakarta. Belum lagi ditambah rencana pembangunan giant sea wall, melintang di tengah laut, dari ujung timur tembus ujung barat Jakarta. “Itu menciptakan sebuah comberan raksasa,” kata Peneliti Senior KKP, Widodo Pranowo.

Luhut membantah kritik itu dengan meminjam mulut ahli yang diboyong dari Institut Teknologi Bandung (ITB), peneliti Korea, Jepang, dan Belanda. Insinyur-insinyur bayaran itu diminta membuat permodelan bahwa reklamasi dilakukan untuk menanggulangi penurunan muka tanah di Jakarta dan abrasi di Jakarta. Belakangan muncul bantahan dari para alumni ITB bahwa mereka sama sekali tak merekomendasikan reklamasi.

Bagi orang awam seperti saya, argumen reklamasi dapat mengendalikan penurunan muka tanah di Jakarta adalah omong kosong. Tentu kamu lebih paham dibanding saya, bahwa lapisan tanah itu menyimpan cadangan air. Jika semua warga Jakarta menyedot air tanah, maka kemungkinan tanah akan ambles atau terjadi land subsidence. Setahu saya, cadangan air juga berfungsi menjaga ekosistem. Tokyo pada 60-an pernah mengalami kondisi serupa. Satu-satunya cara yang mereka lakukan adalah dengan memperketat penggunaan air tanah dan memperbaiki mitigasi air dari hulu hingga muara.

Benar katamu, masalah utama di Jakarta adalah manajemen pengelolaan air. Dulu kamu pernah cerita bahwa Kawasan Strategis Nasional Jabodetabek Puncak Cianjur harus memiliki mitigasi. Caranya dengan membuat kanal dan embung-embung di sejumlah titik dari kawasan Puncak hingga Jakarta. Tujuannya untuk mengendalikan air agar tidak terjun bebas ke hilir Jakarta. Saya rasa para peneliti KKP, LIPI, atau IPB juga sudah memikirkan itu. Termasuk dengan mengatasi limbah yang bebas dibuang ke sungai tanpa pengolahan.

Kenyataannya, orientasi pemerintah tidak seprogresif itu. Tujuan mereka hanyalah mengejar uang. Agar pengembang dapat berinvestasi ratusan triliun ke Indonesia. Sederhana saja, mereka bakal dapat uang tunai dari pajak tanpa perlu kerja dan mikir keras. Saya menduga bahwa ini tidak terlepas dari skandal suap-menyuap. Hanya saja kita sulit membuktikannya; setidaknya belum untuk saat ini.

Seandainya pemerintah melihat secara obyektif permasalahan di Jakarta, tentu mereka tak bakal tergesa-gesa seperti Luhut. Di ibu kota ini, ada sekitar 70 ribu masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari ikan. Sementara, nanti dermaga mereka, bakal diimpit dengan akar beton. Mereka harus membelah empang raksasa sepanjang 3 mil sebelum melihat lautan lepas. Jarak itu akan merusak alur pelayaran dan pola bisnis nelayan. Ini sudah terbukti di Singapura; praktis nelayan sudah mati.

Beberapa hari lalu saya mendapat salinan surat penyelidikan kasus reklamasi yang dilakukan polisi. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya katanya sedang menelisik dugaan penggunaan lahan reklamasi tanpa izin. Belum jelas siapa yang lapor dan terlapor. Polisi hanya mengatakan tidak ada pelapor, mereka hanya menyelidiki dugaan tindak pidana, karena sedang santer momentum pencabutan moratorium reklamasi. Rasanya aneh, polisi mendadak rajin seperti itu _apalagi lebih rajin ketimbang penyidik KPK_. Saya menduga pengembang sedang dilaporkan, tapi oleh siapa? Entahlah.

Kalaupun pengembang dilaporkan, itu juga sudah sewajarnya. Reklamasi tidak terlepas dari kepentingan bisnis sembilan naga, dan kepentingan politik. Kata politisi Gerindra, reklamasi akan jadi dagangan politik 2019. Sudah menjadi rahasia umum, Luhut adalah orang-orang dekat para cukong-cukong penguasa negeri ini; yang kemudian membiayai kampanye Presiden Joko Widodo. Saya rasa ini sebuah konspirasi, perlu dipertimbangkan sekaligus juga diragukan. Tapi melihat kebijakan “karpet merah” untuk pengembang reklamasi dan sikap Jokowi, patutlah kita menganalisa konspirasi murahan itu.

Melihat kasus ini, Menteri KKP Susi Pudjiastuti dari awal lebih banyak memilih diam diri. Tapi sebenarnya anak buahnya diminta gerilya. Para pejabat eselon satu sampai golongan terakhir disuruh kritis atas penilaian reklamasi. Ini yang membuat Luhut sering geram dengan analisa mereka. Terakhir, saat pengumuman pencabutan moratorium, KKP tak diundang. Dugaannya, Luhut marah dengan KKP. Saya dengar informasi itu dari sejumlah pejabat di kementeriannya Susi.

Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya kelihatan memilih manut saja atas perintah Luhut. Dia tak bisa berkutik. Ibarat film komedi Warkop DKI, “maju kena, mundur kena”. Siti sama sekali tak pernah mengkritik pengembang, tidak seperti saat jabatan Rizal Ramli sebelum diganti Luhut. Saya pernah menulis itu, dan mengkritik KLHK tak pernah awas terhadap pelanggaran pengembang. Senyampang saja, Siti dan para anak buahnya ngambek musuhin Tempo, dan ending-nya tak mau diwawancara lagi.

Saya berharap kita tetap sadar, bahwa sekecil apapun kemampuan kita, ini tak boleh dibiarkan. Kalaupun kita hanya punya semangat, itu bisa ditularkan untuk membangkitkan yang buta. Kalau kita hanya punya pena, tentu itu, pelan-pelan, dapat membunuh ketidakadilan di negeri ini. Setidak-tidaknya kita selalu berbuat. Entahlah, apakah jalan saya sekarang ini benar? Saya hanya sekadar percaya, bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, di antara orang-orang lapar, miskin, dan yang disingkirkan.

Terima kasih sahabatku, telah menemani saya cerita. Bagaimana dengan kabar hutanmu di sana? Apakah kamu masih memiliki gairah yang sama untuk sederhana dengan semesta? Merawat pohon, memikirkan aliran air, mengamati bintang orions, melihat bentangan khatulistiwa, menghitung kunang-kunang, atau sekadar menanam sayur tanpa tanah. Semoga semangat kita selalu terjaga, sesibuk apapun itu, untuk melihat hidup ini dengan cara sederhana.

Kebenaran hanya milik Tuhan, saya hanya ketidaktahuan.


Salam hormat saya dari sahabatmu di Jakarta,
Minggu, 8 Oktober 2017


--------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate