Kamis, 14 Desember 2017

Kelindan

sumber blogspot

“Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’ yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan, gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama manusia,”
tulis R.A. Kartini dalam penggalan suratnya kepada Nona E.H. Zeehandelaar, sahabatnya di Belanda pada 25 Mei 1899. Barangkali harapan Kartini masa itu adalah keniscayaan baginya. Ibarat barang mewah yang hanya ada di Eropa.

Dalam banyak tulisannya, Kartini memang memiliki mimpi besar atas lahirnya kebebasan, khusus bagi perempuan di negerinya masa itu. Ia ingin merdeka sama seperti laki-laki; ingin bebas sekolah di mana saja, menulis apapun, bebas menikah dengan siapa saja atau tidak sama sekali, bebas menentukan jalan hidupnya, dan dalam banyak hal lainnya. Suatu hal berharga, yang sama sekali tak pernah ada di Indonesia sebelumnya.

Dia pernah menulis kepada Zeehandelaar bahwa kebebasan di Indonesia mungkin baru bisa direngkuh oleh empat sampai lima generasi setelahnya, tidak untuk saat ini, katanya. Tulisan itu seperti sebuah sabda yang niscaya terjadi. Barangkali, ucapan Kartini itu merujuk pada kita saat ini. Sekarang kita yang mendapatkan harapan Kartini masa itu. Hampir sejak lahir, kita menikmati kemerdekaan, rasa aman, dan kebebasan tanpa kepedihan seperti yang dialaminya.

Mungkin kamu sudah tahu, saya lahir di antara keluarga Jawa yang tenteram, merdeka, bahagia, dan diliputi rasa aman. Dulu semasa kecil, saya kira dunia juga tercipta seperti itu; selamanya merdeka dan bahagia abadi. Orang tua saya tak pernah cerita tentang tragedi kemanusiaan semacam G30 S/PKI, pembunuhan Talangsari, Poso, kematian Marsinah, pembantaian di Timor-Timur, atau hilangnya para aktivis. Barangkali orang tua tak terlalu tahu tentang masalah pelik itu, atau informasi yang sangat terbatas masuk desa kami.

Peradaban memang tak pernah datang tiba-tiba. Mungkin saya harus mengucapkan banyak terima kasih kepada Kartini yang menyalakan seberkas cahaya di antara kegelapan. Berterimakasih kepada para aktivis yang mempertaruhkan rasa aman dan nyawa demi kemerdekaan kemanusiaan. Saya juga harus berterimakasih pada segala sejarah yang membentuk kita.

Kini hampir semua perempuan dapat sekolah ke manapun dia mau, bisa memilih pasangan sesukanya, riang dan gembira, bekerja dalam bidang apapun tanpa batasan gender, dan melakukan segalanya seperti yang digambarkan Postmodernisme, bahkan menebar satire sekalipun. Tapi ada satu yang kita lalaikan dari cita-cita Kartini. Apakah kita sudah berjuang untuk masyarakat luas dan kebahagiaan umat manusia?

Hal itu yang saya rasakan menjadi keniscayaan saat ini. Saya seperti generasi yang terbius kenikmatan kebebasan. Padahal sadar atau tidak, kebebasan itu sebuah fantasi. Antara satu hal dengan yang lain selalu tarik-menarik saling mengikat. Manusia kadang lupa, mereka masih dikekang oleh ruang dan waktu yang selalu membatasinya. Itu adalah bukti sederhana bahwa tidak ada kebebasan abadi seperti pola pikir ketika masih kanak-kanak dulu.

Kartini bicara kata ‘kebebasan’, bagi saya, itu hal progresif dan relevan di masanya. Tapi jika kita tarik kata ‘kebebasan’ yang sama pada hari ini, tentu akan bermakna berbeda. Bahkan mungkin bebas yang bisa kita dapatkan melampaui kata ‘kebebasan’ itu sendiri. Saya kira maksud Kartini, memaknai kebebasan bukan sekadar harfiah, tapi juga secara esensi dan melihat esksistensinya atau konteksnya.

Saya akan sedikit mencontohkan; bahwa sebenarnya sekarang saya kehilangan empati pada perjuangan mahasiswa yang demonstrasi menuntut keadilan. Apa yang mereka perjuangkan telah kehilangan esensinya. Mereka gampang dibeli oleh kepentingan dan penguasa. Saya kira mereka kehilangan gairah untuk selalu bertanya. Bahkan mungkin benar kelakar warganet yang menamai demonstran masa kini dengan sebutan ‘pasukan nasi bungkus’. Akhirnya masyarakat kehilangan kepercayaan pada perjuangan mahasiswa.

Bahkan saya juga kehilangan respek terhadap para aktivis yang menuntut pengungkapan kematian aktivis Munir Said. Mereka demonstrasi sepanjang tahun di depan Istana Negara. Mereka seolah-olah lupa bahwa yang dikehendaki Munir bukan sekadar pembongkaran dalang kematiannya, melainkan keadilan dan kesetaraan di Indonesia. Hal yang mencolok di mata saya adalah diskriminasi penganut kepercayaan diabaikan negara. Belum ditambah ratusan kasus sengketa agraria dan masalah politik agama. Surga dan neraka itu sebuah cerita yang seringkali membius kita.

Sudah barang tentu kita menuntut pemerintah membongkar skandal pembunuhan Munir. Tapi yang utama adalah bagaimana kita meneladani kebajikan Munir di kehidupan sehari-hari, di bidangnya masing-masing. Dengan cara itu, kelak dapat mengungkap siapa di balik pembunuhan Munir. Memperjuangkan emansipasi perempuan juga sebuah kewajiban, karena belum seluruhnya perempuan di Indonesia sudah menikmati itu. Masalahnya, setelah itu, apa yang harus dilakukan?

Sahabat Didid, sebenarnya saya ingin sedikit berceloteh, boleh dibilang meracau saja. Secara umum, sebagian besar masyarakat kita sudah mendapatkan rasa kebebasan itu, seperti yang diperjuangkan para pendahulu kita. Masalahnya, saya sering melihat mereka terombang-ambing arus, mudah diprovokasi, gampang diadu, dan sangat rentan terjadinya perpecahan. Ujung-ujungnya terciptalah kebebasan yang intoleran.

Poinnya, saya melihat kebebasan di diri kita sering kebablasan. Bahkan kita sering tak paham mana hak dan kewajiban. Sehingga banyak pihak yang menunggangi kebebasan untuk kepentingan tertentu. Ada yang menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan agar dilegalkan sebagai LGBT, negara Islam, para aktivis ingin bebas agar bisa jadi politisi, dan lain sebagainya. Artinya kita sudah memonopoli kebebasan untuk kepentingan kelompok kita. Atau sekadar memenuhi hak, tanpa menyinggung tanggung jawab.

Saya jadi bertanya kepada diri saya sendiri, lalu kebebasan yang selama ini saya miliki apakah sudah berguna bagi masyarakat? Apa sih hal mendasar, tanggung jawab saya sebagai manusia? Bagaimana saya bisa melakukannya? Apa yang harus saya perbuat? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kadang berkelindan memenuhi pikiran. Itu kenapa saya kadang nyeletuk, ingin sekali mempunyai panti asuhan. Karena saya sendiri belum tahu persis apa tanggung jawab saya di dunia ini. Mungkin benar kata Rumi, hidup hanya proses pencarian.

Bisa jadi apa yang saya gelisahkan ini juga menjadi masalah bagi para pemuda generasi. Saya tidak tahu persis. Kadang muncul jawaban-jawaban klise seperti lakukanlah apa yang bisa kamu lakukan. Berbuat baik kepada semua orang, menyantuni anak yatim, dan bekerjalah semampumu dengan penuh sungguh-sungguh. Menurut saya itu saran yang benar, tapi tidak tepat untuk sebuah jawaban atas pertanyaan apa tanggung jawab saya di dunia ini. Makanya saya sebut sebagai jawaban klise.

Sebenarnya saya kesulitan merumuskan tanggung jawab karena saya bingung, entah mau ke mana. Dalam artian, apakah bekerja sebagai wartawan itu cukup untuk menjawab pertanyaan tanggung jawab tadi? Tentu pertanyaannya yang mendasar adalah siapakah saya? Kenapa saya diciptakan di dunia? Apa tugas saya di dunia ini? Ah.... ini makin membingungkan. Setiap pertanyaan menciptakan pertanyaan lain yang saling memburu minta dijawab. Setidaknya, saya suka menulis, biarpun toh masih belepotan.

Sementara ini, saya belum memiliki jawaban. Makanya saya sering membenturkan diri pada masalah. Tujuannya agar mental ini digembleng, nurani terasah, dan belajar memikul beban. Kalau kata Tan Malaka, hidup ini terbentur, terbentur, terbentur,,,,, terbentuk. Kalau lama terbentuknya ya dibenturkan terus. Tapi, saya belum tahu apakah itu jalan yang benar, sejauh ini itulah satu-satunya hal yang mendekati jawaban.

Seorang pemikir Islam pernah mengatakan tugas pertama manusia yakni menjadi manusia, kemudian memanusiakan manusia, lalu mengajak ke jalan ketuhanan, setelah itu tugasnya para nabi yakni para pembaharu. Kebanyakan dari kita masih berada di level pertama, yakni belajar menjadi manusia. Termasuk saya sekarang ini, masih di level paling awal menjadi manusia. Karena itu, bagi saya, memaknai kebebasan Kartini adalah belajar menjadi manusia, mencari tahu apa itu hak dan tanggung jawab, lalu membedakannya.

Kebenaran sejati hanya milik Tuhan, saya cuma remah-remah yang selalu gelisah.

Hormat saya, sahabatmu di Jakarta.
20 September 2017

-------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate