sumber blogspot |
“Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’ yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan, gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama manusia,” tulis R.A. Kartini dalam penggalan suratnya kepada Nona E.H. Zeehandelaar, sahabatnya di Belanda pada 25 Mei 1899. Barangkali harapan Kartini masa itu adalah keniscayaan baginya. Ibarat barang mewah yang hanya ada di Eropa.
Dalam
banyak tulisannya, Kartini memang memiliki mimpi besar atas lahirnya kebebasan,
khusus bagi perempuan di negerinya masa itu. Ia ingin merdeka sama seperti
laki-laki; ingin bebas sekolah di mana saja, menulis apapun, bebas menikah dengan siapa saja
atau tidak sama sekali, bebas menentukan jalan hidupnya, dan dalam banyak hal
lainnya. Suatu hal berharga, yang sama sekali tak pernah ada di Indonesia
sebelumnya.
Dia
pernah menulis kepada Zeehandelaar bahwa kebebasan di Indonesia mungkin baru bisa
direngkuh oleh empat sampai lima generasi setelahnya, tidak untuk saat ini,
katanya. Tulisan itu seperti sebuah sabda yang niscaya terjadi. Barangkali, ucapan Kartini itu merujuk pada kita saat ini. Sekarang
kita yang mendapatkan harapan Kartini masa itu. Hampir sejak lahir, kita
menikmati kemerdekaan, rasa aman, dan kebebasan tanpa kepedihan seperti yang
dialaminya.
Mungkin
kamu sudah tahu, saya lahir di antara keluarga Jawa yang tenteram, merdeka,
bahagia, dan diliputi rasa aman. Dulu semasa kecil, saya kira dunia juga tercipta
seperti itu; selamanya merdeka dan bahagia abadi. Orang tua saya tak pernah
cerita tentang tragedi kemanusiaan semacam G30 S/PKI, pembunuhan Talangsari,
Poso, kematian Marsinah, pembantaian di Timor-Timur, atau hilangnya para
aktivis. Barangkali orang tua tak terlalu tahu tentang masalah pelik itu, atau
informasi yang sangat terbatas masuk desa kami.
Peradaban
memang tak pernah datang tiba-tiba. Mungkin saya harus mengucapkan banyak
terima kasih kepada Kartini yang menyalakan seberkas cahaya di antara
kegelapan. Berterimakasih kepada para aktivis yang mempertaruhkan rasa aman dan
nyawa demi kemerdekaan kemanusiaan. Saya juga harus berterimakasih pada segala
sejarah yang membentuk kita.
Kini
hampir semua perempuan dapat sekolah ke manapun dia mau, bisa memilih pasangan
sesukanya, riang dan gembira, bekerja dalam bidang apapun tanpa batasan gender,
dan melakukan segalanya seperti yang digambarkan Postmodernisme, bahkan menebar satire sekalipun. Tapi ada satu
yang kita lalaikan dari cita-cita Kartini. Apakah kita sudah berjuang untuk
masyarakat luas dan kebahagiaan umat manusia?
Hal
itu yang saya rasakan menjadi keniscayaan saat ini. Saya seperti generasi yang
terbius kenikmatan kebebasan. Padahal sadar atau tidak, kebebasan itu sebuah
fantasi. Antara satu hal dengan yang lain selalu tarik-menarik saling mengikat.
Manusia kadang lupa, mereka masih dikekang oleh ruang dan waktu yang selalu
membatasinya. Itu adalah bukti sederhana bahwa tidak ada kebebasan abadi
seperti pola pikir ketika masih kanak-kanak dulu.
Kartini
bicara kata ‘kebebasan’, bagi saya, itu hal progresif dan relevan di masanya.
Tapi jika kita tarik kata ‘kebebasan’ yang sama pada hari ini, tentu akan
bermakna berbeda. Bahkan mungkin bebas yang bisa kita dapatkan melampaui kata
‘kebebasan’ itu sendiri. Saya kira maksud Kartini, memaknai kebebasan bukan
sekadar harfiah, tapi juga secara esensi dan melihat esksistensinya atau
konteksnya.
Saya
akan sedikit mencontohkan; bahwa sebenarnya sekarang saya kehilangan empati
pada perjuangan mahasiswa yang demonstrasi menuntut keadilan. Apa yang mereka
perjuangkan telah kehilangan esensinya. Mereka gampang dibeli oleh kepentingan
dan penguasa. Saya kira mereka kehilangan gairah untuk selalu bertanya. Bahkan mungkin benar kelakar warganet
yang menamai demonstran masa kini dengan sebutan ‘pasukan nasi bungkus’.
Akhirnya masyarakat kehilangan kepercayaan pada perjuangan mahasiswa.
Bahkan
saya juga kehilangan respek terhadap para aktivis yang menuntut pengungkapan kematian
aktivis Munir Said. Mereka demonstrasi sepanjang tahun di depan Istana Negara. Mereka
seolah-olah lupa bahwa yang dikehendaki Munir bukan sekadar pembongkaran dalang
kematiannya, melainkan keadilan dan kesetaraan di Indonesia. Hal yang mencolok
di mata saya adalah diskriminasi penganut kepercayaan diabaikan negara. Belum
ditambah ratusan kasus sengketa agraria dan masalah politik agama. Surga dan neraka itu sebuah cerita yang seringkali membius kita.
Sudah
barang tentu kita menuntut pemerintah membongkar skandal pembunuhan Munir. Tapi
yang utama adalah bagaimana kita meneladani kebajikan Munir di kehidupan
sehari-hari, di bidangnya masing-masing. Dengan cara itu, kelak dapat
mengungkap siapa di balik pembunuhan Munir. Memperjuangkan emansipasi perempuan
juga sebuah kewajiban, karena belum seluruhnya perempuan di Indonesia sudah
menikmati itu. Masalahnya, setelah itu, apa yang harus dilakukan?
Sahabat
Didid, sebenarnya saya ingin sedikit berceloteh, boleh dibilang meracau saja.
Secara umum, sebagian besar masyarakat kita sudah mendapatkan rasa kebebasan
itu, seperti yang diperjuangkan para pendahulu kita. Masalahnya, saya sering
melihat mereka terombang-ambing arus, mudah diprovokasi, gampang diadu, dan
sangat rentan terjadinya perpecahan. Ujung-ujungnya terciptalah kebebasan yang
intoleran.
Poinnya,
saya melihat kebebasan di diri kita sering kebablasan. Bahkan kita sering tak
paham mana hak dan kewajiban. Sehingga banyak pihak yang menunggangi kebebasan
untuk kepentingan tertentu. Ada yang menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan agar
dilegalkan sebagai LGBT, negara Islam, para aktivis ingin bebas agar bisa jadi
politisi, dan lain sebagainya. Artinya kita sudah memonopoli kebebasan untuk
kepentingan kelompok kita. Atau sekadar memenuhi hak, tanpa menyinggung
tanggung jawab.
Saya
jadi bertanya kepada diri saya sendiri, lalu kebebasan yang selama ini saya
miliki apakah sudah berguna bagi masyarakat? Apa sih hal mendasar, tanggung
jawab saya sebagai manusia? Bagaimana saya bisa melakukannya? Apa yang harus
saya perbuat? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kadang berkelindan memenuhi
pikiran. Itu kenapa saya kadang nyeletuk, ingin sekali mempunyai panti asuhan.
Karena saya sendiri belum tahu persis apa tanggung jawab saya di dunia ini.
Mungkin benar kata Rumi, hidup hanya proses pencarian.
Bisa
jadi apa yang saya gelisahkan ini juga menjadi masalah bagi para pemuda generasi.
Saya tidak tahu persis. Kadang muncul jawaban-jawaban klise seperti lakukanlah
apa yang bisa kamu lakukan. Berbuat baik kepada semua orang, menyantuni anak
yatim, dan bekerjalah semampumu dengan penuh sungguh-sungguh. Menurut saya itu
saran yang benar, tapi tidak tepat untuk sebuah jawaban atas pertanyaan apa
tanggung jawab saya di dunia ini. Makanya saya sebut sebagai jawaban klise.
Sebenarnya
saya kesulitan merumuskan tanggung jawab karena saya bingung, entah mau ke
mana. Dalam artian, apakah bekerja sebagai wartawan itu cukup untuk menjawab
pertanyaan tanggung jawab tadi? Tentu pertanyaannya yang mendasar adalah
siapakah saya? Kenapa saya diciptakan di dunia? Apa tugas saya di dunia ini?
Ah.... ini makin membingungkan. Setiap pertanyaan menciptakan pertanyaan lain
yang saling memburu minta dijawab. Setidaknya, saya suka menulis, biarpun toh
masih belepotan.
Sementara
ini, saya belum memiliki jawaban. Makanya saya sering membenturkan diri pada
masalah. Tujuannya agar mental ini digembleng, nurani terasah, dan belajar
memikul beban. Kalau kata Tan Malaka, hidup ini terbentur, terbentur,
terbentur,,,,, terbentuk. Kalau lama terbentuknya ya dibenturkan terus. Tapi,
saya belum tahu apakah itu jalan yang benar, sejauh ini itulah satu-satunya hal
yang mendekati jawaban.
Seorang
pemikir Islam pernah mengatakan tugas pertama manusia yakni menjadi manusia,
kemudian memanusiakan manusia, lalu mengajak ke jalan ketuhanan, setelah itu
tugasnya para nabi yakni para pembaharu. Kebanyakan dari kita masih berada di
level pertama, yakni belajar menjadi manusia. Termasuk saya sekarang ini, masih
di level paling awal menjadi manusia. Karena itu, bagi saya, memaknai kebebasan
Kartini adalah belajar menjadi manusia, mencari tahu apa itu hak dan tanggung
jawab, lalu membedakannya.
Kebenaran
sejati hanya milik Tuhan, saya cuma remah-remah yang selalu gelisah.
Hormat
saya, sahabatmu di Jakarta.
20
September 2017
-------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar