Senin, 18 Desember 2017

Remahan Rengginang

sumber blogspot
"Yang saya takutkan itu bukan miskin, tapi menjadi bodoh."

Saya selalu merasa tulisan saya paling jelek. Mungkin karena jarang menulis. Ketika menulispun, itu berita. Saya merasa sukar untuk menumpahkan perasaan. Paling-paling saya menyeret seorang teman, mengajaknya bicara. Kalau tak ada, saya tak masalah untuk merenung atau setidak-tidaknya bicara sendiri.

Jikapun saya menulis, itu cerita yang sangat pendek, yang kira-kira itu bisa mewakili beragam hal yang saya pikirkan. Atau menulis essay, opini, atau semacamnya. Itu pun saya mengalami kendala dalam hal elementer. Seperti merunutkan gagasan, menempatkan plot, membuat karakter. Duh, mungkin saya yang terlalu rumit atau memang kadung bebal.

Sampai saya bertemu dengan tulisan-tulisan perempuan itu, lebih tepatnya gadis itu. Karena ia jauh lebih muda dibanding saya. Tapi tidak dengan metode berpikirnya. Menurut saya, pikirannya jauh lebih dewasa ketimbang usianya. Mungkin kehidupan yang membentuknya. Entahlah, setahu saya, ia dibesarkan dari keluarga yang terpisah. Saya menaruh hormat pada gadis itu.

Ia rajin menulis di blog. Menuliskan beberapa proses di hidupnya. Tentang kuliahnya, kakak, ayah, atau ibu yang terbentang jarak. Tulisannya memikat; ia kenal dengan banyak pemikir dan saya rasa, ilmu pengetahuan itu diimplementasikan dalam kesehariannya. Katanya, berkontemplasi dengan semesta, hidup seimbang.

Harus diakui, saya belajar banyak darinya, meski belum sebulan mengenalnya. Menurut saya dia adalah perempuan yang diuji zaman seperti yang pernah dikisahkan Pram. Makanya saya terinsipirasi menulis ini. Menulis beberapa hal yang saya lalui akhir-akhir ini. Semoga ini membantu untuk menyiasati ingatan yang rentan dirundung lupa.

Beberapa waktu lalu saya membaca buku tentang Syeh Siti Jenar, tapi belum rampung. Di waktu yang sama, saya sedang membaca kumpulan cerpennya Putu Wijaya, Seno, Camus, dan mulai belajar membaca sejarah dari Pram. Kebiasaan saya memang begitu; membaca beberapa buku sekaligus, untuk menumpas bosan. Ada tulisan yang sangat sulit dimengerti, lalu kutinggalkan sejenak, beralih ke hal-hal sederhana, kemudian dilanjutkan saat otak sudah dahaga.

Bagi saya, Syeh Siti Jenar salah satu filsuf klasik di Indonesia. Mungkin saja karena jalan hidupnya mirip Socrates atau Abdullah Al-Hallaj. Katanya, ia mati digantung karena pikirannya "Manunggaling kawulo Gusti." Di masa itu ia menjadi pelopor pemberontakan terhadap pembentukan majelis ulama Walisanga. Sebuah perhimpunan ulama di tanah Jawa yang berpusat di Demak, sekitar abad ke-15. Siti Jenar mengkritik agama yang dimonopoli untuk kepentingan politik atau untuk menyukseskan suatu paham tertentu. Bahkan ia menganggap, orang-orang hanya sibuk memberhalakan agama.

Bagi saya itu bukan mitologi, karena ini persis dengan apa yang dipikirkan oleh emak saya beberapa waktu lalu. Dia cerita kalau salah seorang penganut ajaran kembali ke zaman nabi dikubur tanpa disalati. Kata tetangga mereka, sang mayat beda aliran dan semasa hidupnya tidak pernah salat di masjid setempat. Itu yang kemudian melegitimasi agar membenamkan mayat itu seperti bangkai binatang. Kata emak saya, "Sekeji itu manusia karena agama?"

Apa ini sudah cukup untuk disebut sebagai diary? Semoga ya. Jangan banyak-banyak dulu, takutnya otak saya boncel-boncel. Maklum, saya hanya remahan rengginang di toples Kong Guan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate