Sabtu, 17 Oktober 2015

Melihat Cermin: Gadis

Sumber Foto Ilustrasi Tempo
Diam-diam aku mencumbumu. Aku melihat sorot mata yang jengah dan hidung yang menahan bau amis, kulitku. Aku masih sibuk bertumpu pada keserekahan iblis. Di puncak surga kecil tiba-tiba aku tersentak membanting badan. Nyaliku menciut tertindih rengekan bocah kecil, mengiba. Limbung rasanya, tak mampu berdiri.
Rambutnya ikal berantakan menutup sebagian wajahnya. Tangan dan kakinya juga gemetar menahan sakit. Aku berusaha membenarkan kemejanya yang compang-camping. Kuambil gitar kecilnya, dan kugendong ke pinggir jalan.
Dia tak bergeming saat pikiranku berusaha mengerti perasaannya. Gadis kecil itu justru memalingkan muka dan menyahut kembali gitar kesayangannya. Ia tak mengizinkan aku menyentuh sedikit pun. Dalam tangis ia seolah marah besar. Itu sangat terlihat dari wajahnya yang merah padam.
Tak berapa lama, dia menekuk lutut dan menenggelamkan wajahnya di antara sela sela paha. Ia tak mengizinkan siapa pun mengetahui apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Sementara dia sedang bertanding dengan gejolaknya yang merah padam, aku tertahan, tercekat.
Lirih-lirih aku mengelus rambutnya di antara riuh kendaraan yang serakah. Tangisnya masih terdengar, pelan. Sesegukannya tak habis-habis, sepertinya sedang luber semua air matanya. Sementara sudut trotoar yang panas tak sabar untuk menunggu tumpahan air matanya. Aku hanya bisa mengamatinya, berharap ia membutuhkan sesuatu.
Tak lama ia kemudian melihatku sesaat. Dia mengamatiku lebih jauh lagi. Mulai dari rambutku yang lusuh, mata yang menghitam, dan pipiku yang tirus. Aku berusaha membantunya dengan mendekat. Dia tahu, lalu menggeser pantatnya agak jauh kemudian tertunduk lagi. Ia belum menuntaskan dendam tangisnya, gadis itu melanjutkan lagi.
Aku menarik nafas besar, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menenangkan seorang gadis berusia 9 tahun. Tapi sesuatu tiba-tiba terlintas di benak. Aku mendendangkan lagu anak-anak. Lagu itu bercerita tentang kuda yang mendekati pelangi, lalu melompat-lompat saat gerimis menyentuh kulitnya.
Tetapi tak ada tanda-tanda darinya, saya kira dia bosan mendengarkan itu. Beberapa saat saya baru sadar. Bagaimana bisa, seorang yang telah memiliki gitar kesayangan menyukai lagu kanak-kanak seperti itu. Jelas basi baginya. Aku merasa bodoh saja di hadapan bocah ini.
Sementara gadis itu masih tak bosan menangis. Aku berpikir, harus cari cara lain. Cara yang lebih efektif bagi anak seusia dia tapi dengan intrik yang menarik bagi seorang penyuka gitar. Agak lama saya berpikir, memeras otak di antara terik yang menyengat.
Aku masih menerawang, melihat sekeliling. Tiba-tiba tangisnya terhenti. Dia masih terdiam lalu mengangkat wajah bulatnya. Sembari membasuh air mata yang bercampur peluh keringat dan ingus, gadis itu mengamatiku. Tak berapa lama ia berdiri, kemudian secepat kilat ia lari menjauhiku.
Beberapa saat tubuhnya lenyap tak terlihat di antara padatnya tumpukan kendaraan berjejal manusia. Tak sepatah kata pun yang bisa saya ucapkan, tak juga memanggilnya. Aku kemudian bangkit dari duduk sembari mengingat parasnya. Aku belum mengenalnya. Tapi ada rasa penasaran yang begitu hebat untuk mengetahui namanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate