Sumber Foto Ilustrasi Tempo |
Matanya mulai memerah diseliputi kantung tebal
yang menghitam. Beberapa kali ia memetik senar, tapi tak kunjung nyaring. Ia
ulangi sekali lagi, dengan nada serak di batas tenggorokannya yang parau.
Persis seperti nyanyian terompet kertas. Dentingan senarnya memecah keramaian, sebentar, lirih-lirih syair khas
berbau ranjang pun mengalun terbata-bata.
Dia adalah Sophie Pramita, bocah 9 tahun yang
menghabiskan hampir sepanjang hari di lampu merah perempatan pinggiran kota.
Tubuhnya sedikit kurus, rambut ikal, dengan muka bulat, menenggelamkan hidung
peseknya. Yang paling mengesankan adalah sorot matanya. Pupilnya hitam dengan
kornea yang menyudut, seperti pisau tajam yang menguliti siapa pun yang dilihatnya.
Wajahnya kusam, dekil, dengan bau tak sedap yang menyeruak
di balik keringat dinginnya.
Memang, Sophie jarang mandi. Saban hari, ia hanya mendapatkan jatah satu kali saja. Terkadang, saat
sabun batang habis, ia hanya mengandalkan guyuran air untuk membersihkan
tubuhnya.
Tapi semua itu tak pernah memudarkan
kecantikannya, lebih tepatnya parasnya
cukup manis. Sekilas ia persis
dengan ibunya, Margareth Sondak. Wajah mereka hampir sama, berbentuk bulat dan
bibir menawan. Namun Margareth tak terlihat manis. Untuk satu hal itu, Sophie
mewarisi wajah ayahnya, Mahmud Gofrun yang manis. Sayangnya dia tak mewarisi
mancungnya hidung si-Mahmud.
Gadis itu anak ke empat dari lima bersaudara. Ia
memiliki tiga
kakak laki-laki dan satu adik perempuan. Sophie tinggal
bersama empat saudara bersama ayahnya di sebuah bedeng
tak jauh dari kali, Jakarta Barat.
Mereka tinggal terpisah dari ibunya, setelah orang tuanya memutuskan untuk
cerai.
Untuk saat ini, itu bukan persoalan bagi Sophie.
Ia tidak terlalu memusingkan masalah orang tuanya. Atau bahkan, gadis sekecil
itu, belum bisa mengerti kenapa ia tak bisa bertemu dengan sang ibu.
Satu-satunya pertanyaan yang sering menyelimutinya adalah, kenapa ia tak sekolah.
Sophie memang belum sekolah, lebih tepatnya tak kunjung
sekolah. Apalagi kalau bukan masalah ekonomi. Ayahnya hanya seorang pengepul
sampah. Setiap hari ia memiliki tugas untuk mengumpulkan sampah di dua RW. Dia
digaji setiap bulan Rp 700 ribu. Untuk menyambung kehidupan sehari-hari, ayah dan
kakak sulungnya menambal kekurangan dengan mengumpulkan botol plastik.
Sudahlah, tak bakal cukup waktu semalam untuk mengupas
masalah itu. Malam itu Sophie harus kerja lebih keras. Harus lebih lama memetik
gitar dan lebih banyak menyanyikan puluhan lagu yang tak ia pahami seluruhnya.
Suara mobil dan tumpukan motor saling mendesak,
merangsek bak sapi beringas yang ingin meloncati lampu merah. Setiap kali lampu
merah menyala, ia memiliki kesempatan satu menit untuk mendendangkan sebuah
lagu. Lalu ia berkeliling, antara satu mobil ke mobil lain untuk mendapat recehan.
Sudah hampir lima jam ia berdiri di tempat itu. Ia
duduk di trotoar jalanan, lalu mengeluarkan seluruh recehan di balik kantong
plastik bekas bungkus boks permen. Ia juga merogoh saku roknya.
Ia teliti dalam hal membeda-bagikan uang sesuai dengan
angka nominalnya. Untuk uang recehan ia kantongi dalam tas kresek warna hitam.
Sedangkan uang dengan nominal Rp 5 ribu hingga puluhan ribu ia kantong di dalam
rok warna merah yang sering ia kenakan.
Dia menghitung dengan cermat. Tangannya cekatan untuk merapikan uang
yang kusut. Meski matanya
terasa semakin berat, tak jadi soal baginya. Karena pendapatan
malam itu jauh lebih menggembirakan. Setengah jam kemudian, ia menuliskan ke
dalam catatannya, Sophie mendapat uang Rp 87 ribu.
Dalam hatinya, masih tersisa
Rp 37 ribu untuk ia tabung.
Sementara Rp 50 ribu adalah
kewajibannya untuk memberi setoran ke Mahmud yang selalu galak terhadapnya. Mahmud memang galak dan perhitungan soal uang. Apalagi
jika sudah melihat jumlah pendapatan hasil mengamen Sophie tak mencapai target.
Saat itu, ia tersenyum sumringah.
Terasa lega, karena di sepertiga malam yang tersisa ia tak perlu untuk bersusah
payah berdiri cukup lama di samping lampu merah. Meski demikian, ia tak berani
pulang lebih cepat. Biasanya orang tuanya bakal memarahinya saat melihat Sophie
pulang sebelum tengah malam.
Karena itu ia memutuskan untuk istirahat di tempat
yang sama, pojok lampu merah. Ia duduk menggagahi portal pejalan kaki. Kemudian
tangannya bersender di atas lutut tertekuk sebagai alas agar, kepalanya bisa
rebah seketika. Beberapa saat ia tertidur pulas dengan posisi yang memprihatinkan.
Sesekali ia tampak terjaga karena mendengar kebisingan
kendaraan memenuhi ujung telinganya. Memang saat tengah malam memang bukanlah
jam kritis kemacetan, hanya saja, ulah pengendara yang kebut-kebutan atau balap
liar kerap mengganggu tidurnya.
Ia tak pernah protes akan hal itu, lebih tepatnya
tak berani. Sophie hanya meluapkannya dengan menggerutu sendiri. Beberapa detik
kemudian ia sudah menguap lagi, kepalanya pun sudah tak tertahan untuk tegak.
Tak ada yang mempedulikannya. Terkadang, karena
saking berat kantuk menyelimutinya, ia kerap terjatuh dari posisi duduknya.
Reflek tubuhnya, seketika menuntunnya untuk berada seperti posisi semula.
Dua jam kemudian ia tersadar pelan-pelan, saat
kendaraan sudah mulai bermunculan. Dia sudah pandai menebak, saat itu berarti telah
memasuki pukul 03.00 WIB. Mudah untuk mengetahuinya. Sophie hanya cukup melihat,
jika kendaraan yang berlalu lalang adalah para pedagang sayur-mayur, berarti saat
itu sudah mendekati waktu subuh. Setidaknya, satu jam sebelum kumandang azan
benar-benar terngiang di telinganya.
Ia pun bergegas merapikan diri sekadarnya, dengan
cara mengucek kelopak dan sudut matanya agar bisa cepat mengusir rasa
kantuk. Sophie kemudian pulang ke rumah dengan membawa uang Rp 87 ribu.
Aku asyik
mengamatinya dari kejauahan, lupa bahwa semalaman aku memandanginya. Sebentar
lagi, matahari menyeruak, kepadatan bertambah. Aku pun bergegas pulang, berbeda
arah dengan rumah Sophie. Di dalam perjalanan aku masih membayangkannya. Begitu
pun saat kerja, terkantuk-kantuk aku melamunkan bocah 9 tahun itu.
#Sesi_Pertama_Bagian_3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar