Sumber Foto Ilustrasi Tempo |
“Ketika masa sudah berubah. Di
mana pujangga telah berganti era, saat gelap menjadi terang, saat hijau menjadi
kelabu, dan kelabu menjadi gelap, aku ingin menemukanmu di kesunyian. Mengecup
keningmu dan mengucapkan maaf.”
Selesai
pulang kerja, aku tak sabar menuju rumah. Mandi, mengganti baju, dan pergi
menemuinya. Sudah terbesit dalam benak apa yang ingin aku lakukan. Ya, entah
mengapa sejak kejadian itu ada rasa penasaran dengannya. Melihat tatapan
matanya yang nakal, darah terasa mendidih, sudut telinga berdesir karena suara
lidah menyelinap.
Ah
sudahlah jangan dibahas lagi. Toh pada akhirnya harus limbung, gelagapan karena
anti-kemapanan. Setibanya di rumah, aku ingin membawakan sesuatu untuknya. Tapi
apa yang ia suka? Dari mana cara mengetahui kesukaannya?
Sebentar
aku berselancar di layar smartphone, mencari-cari sesuatu dari dirinya di dalam
akun Facebook. Mudah untuk mencarinya, dengan mengetik nama depannya, aku bisa
melihat parasnya yang sedu sedang menatapku tajam.
Foto
profilnya menunjukkan suatu isyarat. Rambutnya yang lebat ia lipat dijadikan
sanggul. Telinganya terlihat sempurna dengan leher yang sedikit menggoda saat
dilihat. Lehernya sedikit gemuk dengan guratan lemak di antara tenggorokannya. Selain
itu, Ada sebuah tanda lahir pada lehernya.
Senyumnya
terlihat mengembang dengan bibir merah kayu manis. Saat melihat hidungnya yang
pesek, pancaran aura perempuan Asia menyemburat. Ia seolah mewakili citra
perempuan yang pernah saya temui di seluruh Indonesia.
Tak
bosan-bosannya mata ini menjamahnya. Tapi aku harus selesaikan segera, sebelum
matahari tergelincir. Di dalam profilnya ada sebuah nama kota tempat ia dilahirkan.
Kemudian tanggal dan bulan saat ia lahir. Beberapa saat Google sudah tahu apa
yang harus dilakukan, mencari zodiaknya.
Dia
terlahir sebagai seorang perempuan Cancer, yang cantik. Dari satu di antara
laman website ramalan zodiak merinci, seorang perempuan dengan zodiak cancer
adalah sosok yang sensitif. Penuh dengan emosi, sehingga suasana hatinya selalu
fluktuatif. Dia adalah perempuan yang setia, dan menyukai hal-hal yang istimewa
bagi hidupnya.
Dengan
cepat saya mulai menginterpretasikan kepribadiannya itu. Saya kira dia adalah
penyuka seni. Mungkin sebuah lagu tentang jiwa akan memainkan suasana hatinya
yang mudah berubah itu. Di dalam smartphone, kebetulan aku memiliki lagu puitis
dari penyanyi slengekan.
“Jangan dengarkan orang bicara.
Jangan ikuti orang, mereka cuma sirik sama kita,”
begitu grup band, Slank menyairkan arti dari jiwanya. Jujur ini adalah
saat-saat yang menguras banyak hal. Waktu, pikiran, tenaga, termasuk perasaan.
“Ketika masa sudah berubah. Di
mana pujangga telah berganti era, saat gelap menjadi terang, saat hijau menjadi
kelabu, dan kelabu menjadi gelap, aku ingin menemukanmu di kesunyian. Mengecup
keningmu dan mengucapkan maaf.”
Aku
menuliskan sajak itu di sebuah kertas tissu, yang akan kuberikan padanya. Aku
ingin mengingatkannya tentang masa depan. Di saat-saat dia tidak akan mengenal
lagi lagu sumbang yang ia nyanyikan, tumpukan sampah, dan rumah bedeng yang
menghimpitnya. Meskipun toh saat ini, ia hanya seorang bocah perempuan, usia 9
tahun. Aku ingin ia menyimpannya untuk waktu yang akan lama.
Sementara
itu aku melaju menuju perempatan biasanya, untuk kembali melihatnya. Kali itu
ada niatan untuk menatapnya lebih dekat. Mengobrol tentang dunia kanak-kanaknya
yang tidak menyenangkan. Kemudian mengajarinya berbagai hal tentang kehidupan
yang akan ia jalani di masa mendatang. Karena aku sangat mengerti masa lalu dan
masa yang tak pernah ia bayangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar