Selasa, 20 Oktober 2015

Melihat Cermin: Menuntun Sophie Melihat Masa Depan

Sumber Foto Ilustrasi Tempo


“Ketika masa sudah berubah. Di mana pujangga telah berganti era, saat gelap menjadi terang, saat hijau menjadi kelabu, dan kelabu menjadi gelap, aku ingin menemukanmu di kesunyian. Mengecup keningmu dan mengucapkan maaf.”


Selesai pulang kerja, aku tak sabar menuju rumah. Mandi, mengganti baju, dan pergi menemuinya. Sudah terbesit dalam benak apa yang ingin aku lakukan. Ya, entah mengapa sejak kejadian itu ada rasa penasaran dengannya. Melihat tatapan matanya yang nakal, darah terasa mendidih, sudut telinga berdesir karena suara lidah menyelinap.

Ah sudahlah jangan dibahas lagi. Toh pada akhirnya harus limbung, gelagapan karena anti-kemapanan. Setibanya di rumah, aku ingin membawakan sesuatu untuknya. Tapi apa yang ia suka? Dari mana cara mengetahui kesukaannya?

Sebentar aku berselancar di layar smartphone, mencari-cari sesuatu dari dirinya di dalam akun Facebook. Mudah untuk mencarinya, dengan mengetik nama depannya, aku bisa melihat parasnya yang sedu sedang menatapku tajam.

Foto profilnya menunjukkan suatu isyarat. Rambutnya yang lebat ia lipat dijadikan sanggul. Telinganya terlihat sempurna dengan leher yang sedikit menggoda saat dilihat. Lehernya sedikit gemuk dengan guratan lemak di antara tenggorokannya. Selain itu, Ada sebuah tanda lahir pada lehernya.

Senyumnya terlihat mengembang dengan bibir merah kayu manis. Saat melihat hidungnya yang pesek, pancaran aura perempuan Asia menyemburat. Ia seolah mewakili citra perempuan yang pernah saya temui di seluruh Indonesia.

Tak bosan-bosannya mata ini menjamahnya. Tapi aku harus selesaikan segera, sebelum matahari tergelincir. Di dalam profilnya ada sebuah nama kota tempat ia dilahirkan. Kemudian tanggal dan bulan saat ia lahir. Beberapa saat Google sudah tahu apa yang harus dilakukan, mencari zodiaknya.

Dia terlahir sebagai seorang perempuan Cancer, yang cantik. Dari satu di antara laman website ramalan zodiak merinci, seorang perempuan dengan zodiak cancer adalah sosok yang sensitif. Penuh dengan emosi, sehingga suasana hatinya selalu fluktuatif. Dia adalah perempuan yang setia, dan menyukai hal-hal yang istimewa bagi hidupnya.

Dengan cepat saya mulai menginterpretasikan kepribadiannya itu. Saya kira dia adalah penyuka seni. Mungkin sebuah lagu tentang jiwa akan memainkan suasana hatinya yang mudah berubah itu. Di dalam smartphone, kebetulan aku memiliki lagu puitis dari penyanyi slengekan.

“Jangan dengarkan orang bicara. Jangan ikuti orang, mereka cuma sirik sama kita,” begitu grup band, Slank menyairkan arti dari jiwanya. Jujur ini adalah saat-saat yang menguras banyak hal. Waktu, pikiran, tenaga, termasuk perasaan.

“Ketika masa sudah berubah. Di mana pujangga telah berganti era, saat gelap menjadi terang, saat hijau menjadi kelabu, dan kelabu menjadi gelap, aku ingin menemukanmu di kesunyian. Mengecup keningmu dan mengucapkan maaf.”

Aku menuliskan sajak itu di sebuah kertas tissu, yang akan kuberikan padanya. Aku ingin mengingatkannya tentang masa depan. Di saat-saat dia tidak akan mengenal lagi lagu sumbang yang ia nyanyikan, tumpukan sampah, dan rumah bedeng yang menghimpitnya. Meskipun toh saat ini, ia hanya seorang bocah perempuan, usia 9 tahun. Aku ingin ia menyimpannya untuk waktu yang akan lama.


Sementara itu aku melaju menuju perempatan biasanya, untuk kembali melihatnya. Kali itu ada niatan untuk menatapnya lebih dekat. Mengobrol tentang dunia kanak-kanaknya yang tidak menyenangkan. Kemudian mengajarinya berbagai hal tentang kehidupan yang akan ia jalani di masa mendatang. Karena aku sangat mengerti masa lalu dan masa yang tak pernah ia bayangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate