Sabtu, 24 Oktober 2015

#BencanaKabutAsap: Simpanse Terakhir

Sumber Foto Tempo

#BencanaKabutAsap #SaveSatwaIndonesia
Matanya memerah, iritasi. Berulang kali jarinya melalui kelopak mata berusaha mencapai titik perih. Sementara ia terlalu sibuk untuk menyadari air matanya menetes di antara ranting pohon yang mati. Tangan kirinya digelayuti dua bayi simpanse yang malang. Sang induk terus mengelus anaknya, yang memiliki bulu halus tapi berubah jadi keriting dalam sesaat.

Saya tidak mengenalinya, karena ia tak memiliki nama. Ia tak pernah menghisap rokok, atau bahkan membutuhkan minyak goreng, sehingga tak pernah memerlukan kelapa sawit. Sementara tak jauh dari rumahnya yang hampir hangus, manusia tak pernah bisa mengerti kesakitannya. Karena ia hanya bisa meraung, sedangkan telinga manusia sepertinya kedap dipenuhi kabut asap.

Di rimbunnya akar pohon api sudah menjilat, asap semakin tebal. Induk simpanse menggendong kedua bayinya menjauh. Melalui satu pohon ke pohon yang lain. Menganyunkan tangan dan kaki di antara cabang ranting yang belum hangus. Dua bayinya mencengkram erat tubuh induknya.

Sesaat sang induk berhenti mengayun, menapak di sebuah cabang pohon yang lumayan besar. Matanya menerawang berulang kali berkedip menahan perih. Melongok di antara pepohonan yang suram, ia kemudian melolong. Wajah paniknya begitu kentara saat ia tak lagi melihat dan mendengar raungan koloninya. Seekor induk simpanse dan dua bayinya tertinggal dari kawanan.

Sementara sang induk kebingungan, dua bayinya tak mau diam. Mereka meronta-ronta dari gendongan. Jemari kecilnya mencakar-cakar wajah induk simpanse. Seolah hendak protes bahwa matanya perih dan tubuhnya panas dijilat suhu udara yang tinggi di atas rata-rata.

Mereka semakin meraung saat angin berhembus kuat menerpanya, dibarengi kabut pekat. Sang induk dalam sesaat seolah membentak dengan menunjukkan gigi taringnya yang tajam menyeringai. Dia ingin memberi isyarat. "Diam, kita akan keluar dari sini."

Tapi ia tak pernah memiliki tujuan pasti, yang ada dalam pikirannya bagaimana dapat menemukan air dan menghirup oksigen, bukan terpaan asap. Dia juga tak tahu arah mata air, tak mengetahui arah angin kemana akan menerpa, dan tak pernah tahu ke mana mencari tempat perlindungan. Mereka hanya tahu rumahnya terbakar, kawanannya pergi entah kemana, dan api berkobar di mana-mana.

Angin semakin kencang berhembus dari belakang tubuhnya. Suhu panas menyeruak di antara ranting kering dan dedaun yang gugur. Sementara api yang lahap seolah mengejarnya, berseru untuk diam dan meratap seperti pohon mahoni yang malas berlari. Sang induk cepat menyadarinya, ia mengayunkan lagi lengannya.

Ia semakin cepat mengayunkan kaki dan tangannya, berusaha mencapai ranting yang kuat. Tapi kenyataannya tak semua ranting itu kuat, hanya beberapa jenis pohon saja. Beberapa kali ia menggapai ranting rapuh, tapi tubuhnya lebih elastis untuk cepat bergerak menggapai cabang ranting yang lebih kuat.

Satu, dua, tiga, dan lebih banyak lagi ranting lapuk terlewati dengan mudah. Sang induk berusaha keras berlari menjauhi titik api yang menjalar. Tapi keberuntungan selalu di tangan manusia, tak pernah tercipta untuk mereka. Ketika tangannya mencengkram ranting yang paling rapuh dari jenis pohon pualam, tubuh mereka terperosok menggelantung. Dalam sekejap ranting yang tak kuat menahan beban tiga simpanse sekaligus pun patah.

Mereka terjatuh, bergulung-gulung dengan tanah gersang yang dahaga datangnya hujan. Dua anaknya terlempar melesat di antara lereng dataran, tersangkut batang pohon yang doyong ke bibir lereng. Sementara sang induk masih terperosok mengikuti grafitasi menarik tubuhnya hingga batas paling dasar dataran.

Tubuhnya menghantam puluhan pohon bertaring dengan duri yang menyeringai. Kepala dan dadanya terbentur batu cadas, menyerupai gundukan akik. Hantaman yang keras itu membuatnya pingsan sekonyong-konyong. Sementar dua anak simpanse yang tersangkut pohon panik meraung-raung kebingungan, mencari induknya.

Di saat bersamaan, api terus menjalar lebih ganas karena dituntun angin yang memburu. Api memang tak memiliki daya saat terdiam, tapi jauh lebih perkasa saat diberi kekuatan. Energinya berangsur-angsur bertambah saat ranting kering dan pohon yang lapuk menawarkan jasa. Matahari yang tak puas menghisap embun pun turut membantunya. Ditambah angin yang luar biasa sepoi menjadi juru arah ke mana api harus melahap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate