Blogspot |
Jakarta-
Ekspresi wajah Goenawan Mohamad tiba-tiba berubah drastis. Dahinya mengkerut,
menatapku menunjukkan rasa ketidaksenangan. “Lagi-lagi kamu tidak detail,
tunjukkan mana buktinya,” kata dia sembari mengangkat jari telunjuknya di
hadapanku.
Kejadian
tersebut berlangsung singkat, tanpa bisa ku bayangkan sebelumnya. Ini adalah
kali kedua aku melihat kemarahannya, setelah pada 1994 lalu ia juga menunjukkan
kemarahan yang sama, saat Majalah Tempo dibredel oleh Rezim Soeharto. Tapi kali
ini konteksnya berbeda.
Bagiku,
ini adalah kali pertama secara langsung, aku melihat Goenawan Mohamad marah. Hebatnya,
kemarahannya itu ditumpahkan kepadaku, beruntung barangkali. Jujur, beberapa
detik aku sempat tertegun hanya menatapnya tanpa komentar. Sesaat setelah
tersadar, aku berusaha mencari bukti yang ia minta. Membongkar-bongkar dokumen
tak jelas di dalam smartphone.
Cerita
ini berawal saat aku untuk kali kedua bertemu dengannya di sebuah acara di
Jakarta, pada Kamis, 9 November 2015. Aku melihat dia berbincang dengan
beberapa rekannya sembari menikmati hidangan. Perbincangan mereka tampak renyah
dipenuhi tawa dan gaya jenaka Goenawan. Ya, dia memang pria yang humoris dan
bersahabat.
Saat
acara sedang dimulai, dia tampak duduk bertiga dengan seorang teman. Tepat di
samping kanannya, ada deretan kursi kosong yang masih tersisa. Aku pun
mengambil kesempatan itu, memulai dengan sebuah sapaan. “Mas Gun, apa kabar?”
“Baik, bagaimana kabarmu?” kata dia menjawab dengan sahaja.
Dia
banyak bicara tentang berbagai hal dengan temannya. Hal-hal jenaka ia
ungkapkan. Kemudian bercerita tentang kedatangannya di acara tersebut. Dia
sedang diminta untuk datang menyaksikan saudara dari tanah kelahirannya saat
menerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award. Ya, dia memang lahir di
Batang, sekitar 74 tahun silam.
Perbincangan
meloncat-loncat antara topik yang satu dengan yang lainnya. Terdengar begitu
seru, beberapa saat aku ikut larut dalam diskusi singkatnya. Tapi aku tak seluruhnya
begitu paham. Mantan pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan
Tempo itu juga mengomentari saat saudaranya dari Batang, seorang bupati bernama
Yoyok Riyo Sudibyo yang sedang mengangkat trofi karena kejujurannya dalam
mengelola anggaran negara.
Aku
pun mulai sedikit berbasa-basi dengan sebuah pertanyaan kecil untuknya. “Mas
Gun, kemarin saya sempat baca di Tempo tanggapan mas soal kritik masyarakat
atas Frankfurt Book Fair.”
“Memangnya
masyarakat siapa yang mengritik?” “Maksud saya beberapa orang, mas,” kataku
meluruskan. “Iya siapa orangnya yang mengritik?” kata dia mencecar. “Saya
pernah baca, Sastrawan A.S. Laksana juga ikut mengritik.” “Loh dia ikut ke
Frankfurt kok? Kamu kurang detail, itu adalah kritik yang sudah lama, tulisan
lama,” katanya seolah sedang menggerutu.
Mendengar
itu, saya hanya tertegun kaget, tak siap mengantisipasi cecarnya balik. Padahal
niatku hanya membuka sebuah diskusi dengan basa-basi. “Aduh, betapa bodohnya
aku,” tuturku dalam hati. Aku baru teringat tentang ungkapan Mantan Wartawan,
Ayu Utami bahwa wartawan masa kini sangat parsial setiap kali liputan. “Bahkan
ia tak tahu hendak meliput apa,” kata dia, masih kuingat.
Aku
tersentak, merasa menjadi bagian dari ciri-ciri wartawan yang disebutkan Ayu
Utami, parsial. Khususnya tentang pengetahuan yang detail. Memang jauh berbeda
dengan wartawan di era Goenawan Mohamad. Mereka disiplin untuk menyiapkan bahan
pertanyaan, bahkan mereka harus tahu segala hal tentang sumber yang diajak bicara.
“Saya harus memperbaiki situasi,” kataku dalam hati.
Selang
beberapa saat aku pun mengalihkan pembicaraan. Meminta tanggapan tentang
pernyataannya di salah satu tulisan yang sempat kubaca. “Katanya, di era Mas
Gun, Mas merasa hanya memiliki 10 wartawan yang handal di Tempo?” “Lagi-lagi
kamu tidak detail, tunjukkan mana buktinya,” tutur dia mengagetkanku.
Mendengar
pertanyaan-pertanyaanku yang tak bermutu itu, membuatnya kesal. Jari tangan
kanannya terangkat di hadapan wajahku. Matanya masih menatap tajam. “Saya tidak
pernah bilang begitu, coba buktikan, saya tunggu sampai besok. Kalau tidak,
awas kamu,” kalimatnya benar-benar membuatku terasa lemas dalam sesaat.
Selama
dua jam, aku bongkar semua data-data yang tersimpan di dalam smartphone-ku.
Selain itu, saya juga membuka berbagai situs di dunia maya tentang Goenawan Mohamad dan wartawan ideal.
“Kemana kalimat itu, munkin keyword-ku tak tepat,” ujarku dalam hati. Aku cari
lagi, sampai kemudian menemukan catatan Wartawan Senior, Andreas Harsono tentang
pola rekruetment wartawan di sebuah perusahaan.
Tapi
di dalam catatan tersebut tidak ada kalimat yang aku inginkan, juga tidak ada
nama seoang Goenawan Mohamad. Aku menggeser ke beranda website lain, mencarinya
lagi. Sampai keringatku bercucuran. Padahal saat itu, saya berada di dalam
gedung dengan suhu udara kira-kira, 20 derajat celcius.
Goenawan
Mohamad kemudian menepuk pundakku sesaat. Lalu mengatakan bahwa mungkin Andreas
lalai menuliskan namanya. Kemudian dia meyakinkanku, bahwa ia tak pernah
mengucapkan pernyataan tersebut. Dia menganggap bahwa semua wartawan Tempo
handal. “Kalau tidak bagus, tidak mungkin bisa masuk Tempo,” kata dia
melegakanku.
Meski
demikian, aku merasa seperti seorang yang sangat dungu dan lalai. Terlebih
untuk hal-hal detail, ini sangat menohokku. Tamparan keras dari seorang
Goenawan Mohamad di wajahku. Masih sangat kuingat bagaimana jari telunjuknya
terangkat tepat di hadapanku. Bibirnya bergumam, matanya menatap tajam, dengan
dahi yang mengernyit. Pria itu menunjukkan kebodohanku.
Terima
kasih Goenawan Mohamad, sebuah pembelajaran awal yang mengesankan. Sampai
tulisan ini dibuat, belum bisa kutemukan bukti pertanyaanku itu. Tapi aku
sangat yakin, saya berulang kali membacanya, tapi entah di mana. Kuingat itu
catatan Andreas Harsono. Aku sudah menghubunginya, meminta penjelasan. Saat aku
telah menemukannya nanti, akan aku tunjukkan padamu. Bukan apa-apa, aku ingin
menunjukkan padamu, bahwa aku berusaha agar tak luput dari hal-hal detail.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar