Jumat, 06 November 2015

Goenawan Mohamad dan Seorang Wartawan Parsial

Blogspot


Jakarta- Ekspresi wajah Goenawan Mohamad tiba-tiba berubah drastis. Dahinya mengkerut, menatapku menunjukkan rasa ketidaksenangan. “Lagi-lagi kamu tidak detail, tunjukkan mana buktinya,” kata dia sembari mengangkat jari telunjuknya di hadapanku.

Kejadian tersebut berlangsung singkat, tanpa bisa ku bayangkan sebelumnya. Ini adalah kali kedua aku melihat kemarahannya, setelah pada 1994 lalu ia juga menunjukkan kemarahan yang sama, saat Majalah Tempo dibredel oleh Rezim Soeharto. Tapi kali ini konteksnya berbeda.

Bagiku, ini adalah kali pertama secara langsung, aku melihat Goenawan Mohamad marah. Hebatnya, kemarahannya itu ditumpahkan kepadaku, beruntung barangkali. Jujur, beberapa detik aku sempat tertegun hanya menatapnya tanpa komentar. Sesaat setelah tersadar, aku berusaha mencari bukti yang ia minta. Membongkar-bongkar dokumen tak jelas di dalam smartphone.

Cerita ini berawal saat aku untuk kali kedua bertemu dengannya di sebuah acara di Jakarta, pada Kamis, 9 November 2015. Aku melihat dia berbincang dengan beberapa rekannya sembari menikmati hidangan. Perbincangan mereka tampak renyah dipenuhi tawa dan gaya jenaka Goenawan. Ya, dia memang pria yang humoris dan bersahabat.

Saat acara sedang dimulai, dia tampak duduk bertiga dengan seorang teman. Tepat di samping kanannya, ada deretan kursi kosong yang masih tersisa. Aku pun mengambil kesempatan itu, memulai dengan sebuah sapaan. “Mas Gun, apa kabar?” “Baik, bagaimana kabarmu?” kata dia menjawab dengan sahaja.

Dia banyak bicara tentang berbagai hal dengan temannya. Hal-hal jenaka ia ungkapkan. Kemudian bercerita tentang kedatangannya di acara tersebut. Dia sedang diminta untuk datang menyaksikan saudara dari tanah kelahirannya saat menerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award. Ya, dia memang lahir di Batang, sekitar 74 tahun silam.

Perbincangan meloncat-loncat antara topik yang satu dengan yang lainnya. Terdengar begitu seru, beberapa saat aku ikut larut dalam diskusi singkatnya. Tapi aku tak seluruhnya begitu paham. Mantan pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo itu juga mengomentari saat saudaranya dari Batang, seorang bupati bernama Yoyok Riyo Sudibyo yang sedang mengangkat trofi karena kejujurannya dalam mengelola anggaran negara.

Aku pun mulai sedikit berbasa-basi dengan sebuah pertanyaan kecil untuknya. “Mas Gun, kemarin saya sempat baca di Tempo tanggapan mas soal kritik masyarakat atas Frankfurt Book Fair.”

“Memangnya masyarakat siapa yang mengritik?” “Maksud saya beberapa orang, mas,” kataku meluruskan. “Iya siapa orangnya yang mengritik?” kata dia mencecar. “Saya pernah baca, Sastrawan A.S. Laksana juga ikut mengritik.” “Loh dia ikut ke Frankfurt kok? Kamu kurang detail, itu adalah kritik yang sudah lama, tulisan lama,” katanya seolah sedang menggerutu.

Mendengar itu, saya hanya tertegun kaget, tak siap mengantisipasi cecarnya balik. Padahal niatku hanya membuka sebuah diskusi dengan basa-basi. “Aduh, betapa bodohnya aku,” tuturku dalam hati. Aku baru teringat tentang ungkapan Mantan Wartawan, Ayu Utami bahwa wartawan masa kini sangat parsial setiap kali liputan. “Bahkan ia tak tahu hendak meliput apa,” kata dia, masih kuingat.

Aku tersentak, merasa menjadi bagian dari ciri-ciri wartawan yang disebutkan Ayu Utami, parsial. Khususnya tentang pengetahuan yang detail. Memang jauh berbeda dengan wartawan di era Goenawan Mohamad. Mereka disiplin untuk menyiapkan bahan pertanyaan, bahkan mereka harus tahu segala hal tentang sumber yang diajak bicara. “Saya harus memperbaiki situasi,” kataku dalam hati.

Selang beberapa saat aku pun mengalihkan pembicaraan. Meminta tanggapan tentang pernyataannya di salah satu tulisan yang sempat kubaca. “Katanya, di era Mas Gun, Mas merasa hanya memiliki 10 wartawan yang handal di Tempo?” “Lagi-lagi kamu tidak detail, tunjukkan mana buktinya,” tutur dia mengagetkanku.

Mendengar pertanyaan-pertanyaanku yang tak bermutu itu, membuatnya kesal. Jari tangan kanannya terangkat di hadapan wajahku. Matanya masih menatap tajam. “Saya tidak pernah bilang begitu, coba buktikan, saya tunggu sampai besok. Kalau tidak, awas kamu,” kalimatnya benar-benar membuatku terasa lemas dalam sesaat.

Selama dua jam, aku bongkar semua data-data yang tersimpan di dalam smartphone-ku. Selain itu, saya juga membuka berbagai situs di dunia maya tentang Goenawan Mohamad dan wartawan ideal. “Kemana kalimat itu, munkin keyword-ku tak tepat,” ujarku dalam hati. Aku cari lagi, sampai kemudian menemukan catatan Wartawan Senior, Andreas Harsono tentang pola rekruetment wartawan di sebuah perusahaan.

Tapi di dalam catatan tersebut tidak ada kalimat yang aku inginkan, juga tidak ada nama seoang Goenawan Mohamad. Aku menggeser ke beranda website lain, mencarinya lagi. Sampai keringatku bercucuran. Padahal saat itu, saya berada di dalam gedung dengan suhu udara kira-kira, 20 derajat celcius.

Goenawan Mohamad kemudian menepuk pundakku sesaat. Lalu mengatakan bahwa mungkin Andreas lalai menuliskan namanya. Kemudian dia meyakinkanku, bahwa ia tak pernah mengucapkan pernyataan tersebut. Dia menganggap bahwa semua wartawan Tempo handal. “Kalau tidak bagus, tidak mungkin bisa masuk Tempo,” kata dia melegakanku.

Meski demikian, aku merasa seperti seorang yang sangat dungu dan lalai. Terlebih untuk hal-hal detail, ini sangat menohokku. Tamparan keras dari seorang Goenawan Mohamad di wajahku. Masih sangat kuingat bagaimana jari telunjuknya terangkat tepat di hadapanku. Bibirnya bergumam, matanya menatap tajam, dengan dahi yang mengernyit. Pria itu menunjukkan kebodohanku.

Terima kasih Goenawan Mohamad, sebuah pembelajaran awal yang mengesankan. Sampai tulisan ini dibuat, belum bisa kutemukan bukti pertanyaanku itu. Tapi aku sangat yakin, saya berulang kali membacanya, tapi entah di mana. Kuingat itu catatan Andreas Harsono. Aku sudah menghubunginya, meminta penjelasan. Saat aku telah menemukannya nanti, akan aku tunjukkan padamu. Bukan apa-apa, aku ingin menunjukkan padamu, bahwa aku berusaha agar tak luput dari hal-hal detail.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate