Senin, 01 Juni 2015

Kekuatan Risma Dibalik Penutupan Dolly dan Kepercayaan Warga

Sumber Foto Tempo: Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
Surabaya- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi buah bibir ketika memutuskan untuk menutup prostitusi Dolly. Tindakan ini, tidak hanya populer di kalangan masyarakat Surabaya, keputusan ibu dua anak ini juga menjadi perbincangan nasional kala itu.
Meski terjadi pro-kontra yang luar biasa, dia tetap bersikukuh untuk menutup prostitusi terbesar di Asia Tenggara tersebut. Hingga pada pertengahan 2014 lalu, ia benar-benar membuktikan wacana penutupan Dolly. Sebelumnya Risma memang gencar melakukan penutupan prostitusi di Surabaya. Di antaranya seperti prostitusi Bangunsari, Kremil, Moroseneng, dan Jarak.
Pasca-penutupan eks lokalisasi tersebut, Risma pun bergerilya menelurkan berbagai program untuk membantu migrasi mata pencarihan warganya. Ia mengajak para ibu rumah tangga untuk ikut kegiatan ekonomi keluarga, memperkerjakan pria sebagai tenaga honorer di jajaran Pemkot Surabaya, bekerjasama dengan perusahaan sepatu, dan membuatkan sentra UKM di kawasan Dolly.
Berbagai program tersebut, memang dari segi pendapatan tidak sebanding dengan pendapatan warga di saat masa kejayaan Dolly dulu. Setidaknya ini bisa membantu menyambung ekonomi warga yang terdampak, sementara waktu. Namun apakah Risma bisa menjamin bahwa prostitusi benar-benar telah musnah?
Kenyataannya, prostitusi justru telah bermigrasi dari konvensional menjadi transaksi yang modern. Prostitusi saat ini mengubah wajahnya menjadi e-commerce yang masif bergerilya di dunia maya. Pangsa pasarnya pun lebih luas dan tidak lagi terlokalisir.
Memang tidak ada lagi perempuan yang menjajahkan di sepanjang jalan saat malam hari. Di Surabaya juga tidak ada lagi tempat yang terlokalisir khusus prostitusi. Namun justru saat ini penyebaran prostitusi tidak dapat dipetakan. Semua kalangan masyarakat bisa mengakses, bahkan berbagai penyakit sulit terlokalisir.
Apa yang dikatakan oleh Profesor Nur Syam dalam Dramaturgi Trasedental Pelacur dan Tuhan tentang prostitusi perlu dicermati. Dia mengansumsikan prostitusi adalah toilet. Toilet dibutuhkan setiap rumah, begitu analogi konstruktif yang ia bangun. Karena tanpa toilet, anggota keluarga akan buang hajat di sembarang tempat dan tidak terlokalisir. Begitu pun dengan prostitusi, tanpa adanya lokalisir kawasan, maka dia akan menyusup dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat.
Namun persoalannya jika dilokalisir, prostitusi justru hidup di tengah lingkungan masyarakat suatu kawasan. Dampaknya sangat luar biasa. Lingkungan masyarakat menjadi tidak sehat, anak-anak dipaksa untuk mengikuti arus psikologis lingkungan yang negatif, dan masih banyak lagi dampak negatif yang akan diterima lingkungan tersebut.
Hanya saja Nur Syam tidak secara rinci menggambarkan teori yang ia bangun tersebut. Belakangan, kasus yang sama juga menimpa DKI Jakarta. Bahkan Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama mewacanakan untuk membangun apartemen khusus prostitusi. Maksud pria yang biasa disapa Ahok ini, bahwa prostitusi idealnya harus terlokalisir dan dijauhkan dari lingkungan masyarakat.
Nah posisi negara dan pemerintah harus menjadi penyeimbang. Memberikan pilihan jalan ke masyarakatnya. Bukan menunjukkan kebenaran dan kesalahan. Karena secara moralitas, memang diakui bahwa prostitusi dilarang, tapi bagi pelacur yang menggelutinya, apakah ada pelacur yang bercita-cita menjadi pelacur?
Terlepas dari itu, memang selama ini terjadi pro-kontra dan belum ada penelitian lebih lanjut pasca-penutupan lokalisasi. Terpenting adalah problem solving untuk menyelesaikan masalah ini. Karena memang benar yang dikatakan Risma, bahwa prostitusi telah membawa dampak buruk bagi warganya. Tapi di kota metropolitan seperti Surabaya, perlu adanya lokalisasi yang bisa memenuhi hajat warganya.
Itu hanya satu dari banyak masalah yang pernah dihadapi Risma. Meski begitu, di atas kertas sepak terjang Risma selama lima tahun terakhir memimpin Surabaya mendapatkan apresiasi dan perhatian dari banyak kalangan. Di akhir masa pengabdiaannya ini, dia banyak mendapatkan penghargaan. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Yang paling hebat, perempuan kelahiran Kediri 53 tahun silam ini pernah dianugerahi sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia versi The World Mayor Prize 2014. Selang beberapa bulan berikutnya, dia juga dinobatkan oleh Majalah Fortune sebagai tokoh terhebat ke-24 di dunia. Posisi Risma tepat di atas pendiri Facebook, Mark Zukerbercg yang berada di urutan ke-25.
Dalam berbagai kesempatan ia juga sering diundang dalam seminar internasional maupun diskusi internasional. Namanya saat ini telah menggaung dan banyak dikenal masyarakat di belahan dunia. Sejumlah negara bahkan melirik dan menjalin kedekatan hubungan diplomatis antar wilayah.
Di skala nasional, integritas Risma sudah tidak diragukan lagi sebagai wali kota. Bahkan saat rezim Presiden Joko Widodo dimulai, Risma pernah digadang-gadang sebagai calon menteri di kabinet. Secara khusus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminangnya untuk menjadi menteri.
Dalam beberapa kesempatan bertemu wartawan, Risma pun mengakui itu. Meski tidak dengan cara buka-bukaan, namun itu bisa dilihat dari guyonannya bersama wartawan. Tapi dia memutuskan untuk menolak tawaran jabatan menteri dan tetap memimpin Surabaya.
Tidak ada yang tahu, kenapa dia menolak jabatan strategis itu dan tetap memilih sebagai Wali Kota Surabaya. Saat ini, di akhir masa jabatannya Risma memiliki kesempatan untuk maju lagi menjadi Wali Kota Surabaya di periode kedua. Namun sama, sampai saat ini dia juga tak kunjung memberi keterangan resmi tentang niatnya maju lagi sebagai wali kota.
Di sepanjang jalan di Surabaya juga masih terlihat bersih, tanpa satu pun baliho yang mengatasnamakan Risma akan maju kembali. Ini bertolak belakang dengan sejumlah daerah di Jawa Timur. Hampir semua kawasan di daerah telah dipenuhi baliho pasangan incumbent, yang bakal mencalonkan kembali.
Bahkan jika ada aliansi masyarakat yang mendukung Risma untuk maju lagi sebagai wali kota melalui berbagai poster dan baliho pun buru-buru Satuan Polisi Pamong Praja Surabaya membersihkannya. Padahal saat ini proses pemilihan wali kota 2015 mulai berjalan, namun di mata publik Risma masih terlihat santai.
Di pertengahan Mei 2015 lalu, Risma tampak sering bolak-balik Surabaya-Jakarta. Dalam beberapa kesempatan ia menjadi pembicara di banyak tempat. Namun yang menarik, ia dikatakan bertemu dengan Megawati. Ini dibuktikan dengan adanya pendaftaran nama Risma sebagai Calon Wali Kota Surabaya melalui Dewan Pimpinan Pusat PDIP di Jakarta.
Ini mengindikasikan bahwa Risma akan dicalonkan kembali oleh Dewan Pimpinan Cabang PDIP Surabaya sebagai wali kota. Artinya, kecil kemungkinan Risma akan dicalonkan partai lain atau bahkan maju secara independen.
Di satu sisi, sejumlah partai seperti Gerindra, PKB, PKS, PAN, Golkar, dan PPP mengaku telah membentuk poros koalisi. Tujuannya untuk melawan Risma. Caranya dia menggadang-gadang musisi nasional, Ahmad Dhani untuk didapuk menjadi Calon Wali Kota yang mereka usung.
Jika memang benar, maka pertarungan politik Risma dengan Dhani bakal semakin seru. Mengingat keduanya juga sama-sama orang Surabaya dan memiliki popularitas yang kuat. Hanya saja Ahmad Dhani juga belum bicara banyak soal wacana itu. Meski demikian, jika disimpulkan selama lima tahun terakhir, masihkah masyarakat Surabaya menghendaki Risma sebagai wali kota?
Harus dicermati, apa yang ditulis Dan Sperber dan Deirdre Wilson tentang teori relevansi. Bahwa asumsi-asumsi yang diperoleh dari memori masyarakat itu datang dengan derajat kepercayaan yang kuat. Asumsi ini dibangun oleh skema-skema asumsi yang lengkap dan datang dengan cara yang sangat masuk akal.
Ini memiliki koherensi ketika publik menilai Risma bahwa selama ini berhasil memimpin Surabaya. Ini dibuktikan dengan adanya penghargaan-penghargaan yang diperoleh Risma, diyakini sebagai simbol keberhasilan dan kepercayaan publik terhadap dia. Skema ini juga dibangun dari konsistensi Risma menjaga kredibilitasnya sebagai wali kota.
Jika teori tersebut juga diterapkan kepada Ahmad Dhani maka hasilnya akan berbeda. Karena publik berasumsi bahwa dia adalah musisi. Dia memang orang Surabaya, namun bukan berarti dia bisa memimpin Surabaya. Integritas Ahmad Dhani dalam memimpin Surabaya juga sama sekali belum teruji. Kepercayaan-kepercayaan inilah yang dibangun publik secara berkala dan berkelanjutan.
Secara sederhana Dan Sperber menggambarkan bahwa perusahaan yang mengeluarkan biaya lebih kecil dikatakan lebih produktif, dibanding perusahaan yang mengeluarkan biaya lebih besar. Padahal kedua perusahaan itu menghasilkan jumlah produksi yang sama (Teori Relevansi, 183:2009).
Artinya jika merujuk pada pertanyaan sebelumnya, apakah Risma masih dikehendaki warga Surabaya? Tentu jawaban ini hanya bisa diyakinkan saat selesai pemilihan wali kota pada 9 Desember 2015 mendatang. Namun dilihat dari tolok ukur beberapa elemen teori asumtif dan relevansi, warga Surabaya belum melihat sosok lain yang lebih hebat dari Risma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate