Sumber Foto Tempo: Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini |
Surabaya- Wali Kota
Surabaya Tri Rismaharini menjadi buah bibir ketika memutuskan untuk menutup
prostitusi Dolly. Tindakan ini, tidak hanya populer di kalangan masyarakat
Surabaya, keputusan ibu dua anak ini juga menjadi perbincangan nasional kala
itu.
Meski terjadi
pro-kontra yang luar biasa, dia tetap bersikukuh untuk menutup prostitusi
terbesar di Asia Tenggara tersebut. Hingga pada pertengahan 2014 lalu, ia
benar-benar membuktikan wacana penutupan Dolly. Sebelumnya Risma memang gencar
melakukan penutupan prostitusi di Surabaya. Di antaranya seperti prostitusi
Bangunsari, Kremil, Moroseneng, dan Jarak.
Pasca-penutupan eks
lokalisasi tersebut, Risma pun bergerilya menelurkan berbagai program untuk
membantu migrasi mata pencarihan warganya. Ia mengajak para ibu rumah tangga
untuk ikut kegiatan ekonomi keluarga, memperkerjakan pria sebagai tenaga
honorer di jajaran Pemkot Surabaya, bekerjasama dengan perusahaan sepatu, dan
membuatkan sentra UKM di kawasan Dolly.
Berbagai program
tersebut, memang dari segi pendapatan tidak sebanding dengan pendapatan warga
di saat masa kejayaan Dolly dulu. Setidaknya ini bisa membantu menyambung
ekonomi warga yang terdampak, sementara waktu. Namun apakah Risma bisa menjamin
bahwa prostitusi benar-benar telah musnah?
Kenyataannya,
prostitusi justru telah bermigrasi dari konvensional menjadi transaksi yang
modern. Prostitusi saat ini mengubah wajahnya menjadi e-commerce yang masif
bergerilya di dunia maya. Pangsa pasarnya pun lebih luas dan tidak lagi
terlokalisir.
Memang tidak ada lagi
perempuan yang menjajahkan di sepanjang jalan saat malam hari. Di Surabaya juga
tidak ada lagi tempat yang terlokalisir khusus prostitusi. Namun justru saat
ini penyebaran prostitusi tidak dapat dipetakan. Semua kalangan masyarakat bisa
mengakses, bahkan berbagai penyakit sulit terlokalisir.
Apa yang dikatakan
oleh Profesor Nur Syam dalam Dramaturgi Trasedental Pelacur dan Tuhan tentang
prostitusi perlu dicermati. Dia mengansumsikan prostitusi adalah toilet. Toilet
dibutuhkan setiap rumah, begitu analogi konstruktif yang ia bangun. Karena
tanpa toilet, anggota keluarga akan buang hajat di sembarang tempat dan tidak
terlokalisir. Begitu pun dengan prostitusi, tanpa adanya lokalisir kawasan, maka
dia akan menyusup dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat.
Namun persoalannya
jika dilokalisir, prostitusi justru hidup di tengah lingkungan masyarakat suatu
kawasan. Dampaknya sangat luar biasa. Lingkungan masyarakat menjadi tidak
sehat, anak-anak dipaksa untuk mengikuti arus psikologis lingkungan yang
negatif, dan masih banyak lagi dampak negatif yang akan diterima lingkungan
tersebut.
Hanya saja Nur Syam
tidak secara rinci menggambarkan teori yang ia bangun tersebut. Belakangan,
kasus yang sama juga menimpa DKI Jakarta. Bahkan Gubernurnya, Basuki Tjahaja
Purnama mewacanakan untuk membangun apartemen khusus prostitusi. Maksud pria
yang biasa disapa Ahok ini, bahwa prostitusi idealnya harus terlokalisir dan
dijauhkan dari lingkungan masyarakat.
Nah posisi negara dan
pemerintah harus menjadi penyeimbang. Memberikan pilihan jalan ke
masyarakatnya. Bukan menunjukkan kebenaran dan kesalahan. Karena secara
moralitas, memang diakui bahwa prostitusi dilarang, tapi bagi pelacur yang
menggelutinya, apakah ada pelacur yang bercita-cita menjadi pelacur?
Terlepas dari itu,
memang selama ini terjadi pro-kontra dan belum ada penelitian lebih lanjut
pasca-penutupan lokalisasi. Terpenting adalah problem solving untuk menyelesaikan masalah ini. Karena memang
benar yang dikatakan Risma, bahwa prostitusi telah membawa dampak buruk bagi
warganya. Tapi di kota metropolitan seperti Surabaya, perlu adanya lokalisasi
yang bisa memenuhi hajat warganya.
Itu hanya satu dari
banyak masalah yang pernah dihadapi Risma. Meski begitu, di atas kertas sepak
terjang Risma selama lima tahun terakhir memimpin Surabaya mendapatkan
apresiasi dan perhatian dari banyak kalangan. Di akhir masa pengabdiaannya ini,
dia banyak mendapatkan penghargaan. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Yang paling hebat, perempuan
kelahiran Kediri 53 tahun silam ini pernah dianugerahi sebagai wali kota
terbaik ketiga di dunia versi The World Mayor Prize 2014. Selang beberapa bulan
berikutnya, dia juga dinobatkan oleh Majalah Fortune sebagai tokoh terhebat
ke-24 di dunia. Posisi Risma tepat di atas pendiri Facebook, Mark Zukerbercg
yang berada di urutan ke-25.
Dalam berbagai
kesempatan ia juga sering diundang dalam seminar internasional maupun diskusi
internasional. Namanya saat ini telah menggaung dan banyak dikenal masyarakat di
belahan dunia. Sejumlah negara bahkan melirik dan menjalin kedekatan hubungan
diplomatis antar wilayah.
Di skala nasional,
integritas Risma sudah tidak diragukan lagi sebagai wali kota. Bahkan saat
rezim Presiden Joko Widodo dimulai, Risma pernah digadang-gadang sebagai calon
menteri di kabinet. Secara khusus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminangnya untuk menjadi menteri.
Dalam beberapa
kesempatan bertemu wartawan, Risma pun mengakui itu. Meski tidak dengan cara
buka-bukaan, namun itu bisa dilihat dari guyonannya bersama wartawan. Tapi dia
memutuskan untuk menolak tawaran jabatan menteri dan tetap memimpin Surabaya.
Tidak ada yang tahu,
kenapa dia menolak jabatan strategis itu dan tetap memilih sebagai Wali Kota
Surabaya. Saat ini, di akhir masa jabatannya Risma memiliki kesempatan untuk
maju lagi menjadi Wali Kota Surabaya di periode kedua. Namun sama, sampai saat
ini dia juga tak kunjung memberi keterangan resmi tentang niatnya maju lagi
sebagai wali kota.
Di sepanjang jalan di
Surabaya juga masih terlihat bersih, tanpa satu pun baliho yang mengatasnamakan
Risma akan maju kembali. Ini bertolak belakang dengan sejumlah daerah di Jawa
Timur. Hampir semua kawasan di daerah telah dipenuhi baliho pasangan incumbent,
yang bakal mencalonkan kembali.
Bahkan jika ada
aliansi masyarakat yang mendukung Risma untuk maju lagi sebagai wali kota
melalui berbagai poster dan baliho pun buru-buru Satuan Polisi Pamong Praja
Surabaya membersihkannya. Padahal saat ini proses pemilihan wali kota 2015 mulai
berjalan, namun di mata publik Risma masih terlihat santai.
Di pertengahan Mei
2015 lalu, Risma tampak sering bolak-balik Surabaya-Jakarta. Dalam beberapa
kesempatan ia menjadi pembicara di banyak tempat. Namun yang menarik, ia
dikatakan bertemu dengan Megawati. Ini dibuktikan dengan adanya pendaftaran
nama Risma sebagai Calon Wali Kota Surabaya melalui Dewan Pimpinan Pusat PDIP
di Jakarta.
Ini mengindikasikan
bahwa Risma akan dicalonkan kembali oleh Dewan Pimpinan Cabang PDIP Surabaya
sebagai wali kota. Artinya, kecil kemungkinan Risma akan dicalonkan partai lain
atau bahkan maju secara independen.
Di satu sisi, sejumlah
partai seperti Gerindra, PKB, PKS, PAN, Golkar, dan PPP mengaku telah membentuk
poros koalisi. Tujuannya untuk melawan Risma. Caranya dia menggadang-gadang
musisi nasional, Ahmad Dhani untuk didapuk menjadi Calon Wali Kota yang mereka
usung.
Jika memang benar,
maka pertarungan politik Risma dengan Dhani bakal semakin seru. Mengingat
keduanya juga sama-sama orang Surabaya dan memiliki popularitas yang kuat. Hanya
saja Ahmad Dhani juga belum bicara banyak soal wacana itu. Meski demikian, jika
disimpulkan selama lima tahun terakhir, masihkah masyarakat Surabaya
menghendaki Risma sebagai wali kota?
Harus dicermati, apa
yang ditulis Dan Sperber dan Deirdre Wilson tentang teori relevansi. Bahwa
asumsi-asumsi yang diperoleh dari memori masyarakat itu datang dengan derajat
kepercayaan yang kuat. Asumsi ini dibangun oleh skema-skema asumsi yang lengkap
dan datang dengan cara yang sangat masuk akal.
Ini memiliki
koherensi ketika publik menilai Risma bahwa selama ini berhasil memimpin
Surabaya. Ini dibuktikan dengan adanya penghargaan-penghargaan yang diperoleh
Risma, diyakini sebagai simbol keberhasilan dan kepercayaan publik terhadap dia.
Skema ini juga dibangun dari konsistensi Risma menjaga kredibilitasnya sebagai
wali kota.
Jika teori tersebut juga
diterapkan kepada Ahmad Dhani maka hasilnya akan berbeda. Karena publik
berasumsi bahwa dia adalah musisi. Dia memang orang Surabaya, namun bukan
berarti dia bisa memimpin Surabaya. Integritas Ahmad Dhani dalam memimpin
Surabaya juga sama sekali belum teruji. Kepercayaan-kepercayaan inilah yang
dibangun publik secara berkala dan berkelanjutan.
Secara sederhana Dan
Sperber menggambarkan bahwa perusahaan yang mengeluarkan biaya lebih kecil
dikatakan lebih produktif, dibanding perusahaan yang mengeluarkan biaya lebih
besar. Padahal kedua perusahaan itu menghasilkan jumlah produksi yang sama
(Teori Relevansi, 183:2009).
Artinya jika merujuk
pada pertanyaan sebelumnya, apakah Risma masih dikehendaki warga Surabaya?
Tentu jawaban ini hanya bisa diyakinkan saat selesai pemilihan wali kota pada 9
Desember 2015 mendatang. Namun dilihat dari tolok ukur beberapa elemen teori asumtif
dan relevansi, warga Surabaya belum melihat sosok lain yang lebih hebat dari
Risma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar