Sabtu, 22 Maret 2014

Tole Ompong: Indonesia memasuki Era Jokowi

penulis: Senja Hidayat

Sekedar Ompong kosong-- Keputusan PDI Perjuangan mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) bukanlah perkara aji mumpung. bukan juga soal kredibilitas Jokowi sebagai mantan Walikota Solo maupun sebagai Gubernur DKI Jakarta. Lebih dari sekedar itu, Megawati sebagai eang-nya partai banteng itu mempunyai penilaian tersendiri tentang sosok Jokowi. Megawati mempunyai keistimewaan untuk membaca yang istimewa.

Sekedar kilas balik. Berdirinya Indonesia sebagai negara merdeka juga bukan berasal dari wacana sosial yang kemudian lahir di antara wajah kemiskinan bangsa saat itu.  Wacana kemerdekaan mendengung jauh hari dari gerakan kepemudaan semacam Budi Utomo. Hingga pada klimaksnya, Soekarno sebagai tonggak wacana merdeka pada saat itu berhasil memberikan sugesti kepada seluruh lapisan masyarakat Hindia Belanda untuk membangun mimpi sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Tidak heran jika sosok Soekarno sangat kharismatik bagi masyarakat Indonesia, sampai saat ini. lebih tepatnya sebagai tokoh revolusi. Perjuangannya dalam menyatukan ribuan pulau Nusantara menjadi negara Indonesia terwujudkan. tidak dipungkiri, hal itu dikarenakan Soekarno mempunyai figur kepemimpinan yang mampu mendoktrin masyarakat agar melawan penindasan. sayangnya, rezim orde baru yang dibangun selama kurang lebih sepuluh tahun harus kandas dengan memilukan. kabinet Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) terpecah-belah. hingga mengakibatkan krisis besar-besaran pada masa itu. Parahnya partai Komunis Indonesia melakukan agresi militer dengan membunuh tujuh jenderal di lubang buaya.

Dipimpin oleh Letjen Soeharto masa itu, Gerakan yang biasa disebut G30S/PKI mewabah. seluruh kader PKI atau pun orang yang bersentuhan dengan PKI diculik dan dibuang ke pulau buruh. satu di antara contoh yang dialami anggota organisasi Lekra,  Pramoedya Ananta Toer yang harus kehilangan tulisan-tulisannya yang kritis akibat dibakar. tidak hanya itu, Pram juga harus menjalani masa pengasingan tanpa proses peradilan di pulau buruh. hingga akhirnya Soekarno ditetapkan sebagai tahanan politik atas keputusan MPR yang menolak dekritnya sebaga presiden seumur hidup. Rezim orde lama pun runtuh diganti dengan baru.

Dengan dalih Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto membumbungkan wacana pemberangusan PKI sebagai partai terlarang di Indonesia. Dengan dibantu peran pers masa itu yang kelaparan akan rasa kebebasan, Soeharto membangun rezim orde barunya. Sekali lagi, Indonesia mempunyai pemimpin yang mempunyai agenda setting yang dapat mendoktrin di dalam nurani masyarakat. Soeharto dengan lantangnya menjabarkan program P-4 Pancasila hingga ke Sekolah Dasar untuk memberangus akar-akar PKI. Dan Soeharto pun berhasil.

Pembungkaman pers pun mulai dilakukan sejak tahun 1974, saat pecahnya tragedi Malari. tahun berikutnya, puluhan surat kabar termasuk Majalah Tempo dibredel dan dicabut Surat Ijin Terbit-nya (SIT). pembungkaman pers pun terus berlangsung hingga hampir 30 tahun lamanya. Soeharto sekali lagi berhasil membangun rezimnya dengan tangan besinya. Namun itu tidak lama. setelah pada tahun 1994 para wartawan dan aliansi masyarakat pers turun ke jalan untuk mencari kebebasan pers, atas pembredelan majalah tempo dan lainnya.

Hingga pada Mei 1998 itu menjadi tragedi besar dalam hidup Soeharto. tampuk kekuasaannya runtuh akibat masyarakat yang mengatasnamakan kebebasan pers, berpendapat dominasi mahasiswa seluruh tanah air menduduki Senayan. Rezim Soeharto pun runtuh. dan awal reformasi dimulai. meskipun demikian Soeharto tetap dicatut sebagai Bapak Pembangunan serta menganugerahkan dirinya sendiri sebagai Jenderal Besar bintang lima.

Pada masa transisi orde baru hingga reformasi, sosok-sosok pemimpin di tengah masyarakat sulit ditemukan. dengan uforia kebebasan yang ambigu masyarakat lebih skeptis terhadap satu sama lainnya. hingga terpilihnya Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati sebagai presiden ke tiga, empat dan lima Indonesia, masyarakat masih belum sama sekali terdoktrin atas wacana yang dibangun oleh ketiga pemimpin tersebut. Habibie belum bisa meyakinkan masyarakat indonesia dengan kondisi realitas krisis masa itu untuk menjadi negara adidaya pembuat pesawat terbang. atau pun pluralisme Gus Dur yang dianggap omong kosong, dan Megawati atas keputusan agresi militer di Timur Leste. Masyarakat belum bisa menerima itu sebagai suatu wacana yang harus dilakukan bersama.

Sampai pada 2004 lalu, terlahir tokoh baru mantan menteri dalam kabinet Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono yang menjelma dengan rezim demokrasinya. mudah saja bagi SBY saat itu untuk menjadi presiden. diusung partai baru Demokrat, dan di tengah uforia demokrasi masyarakat Indonesia SBY membawa wacana perbaikan perekonomian dalam era global. Liberalisme demokrasi tak terelakkan menjadi produk andalan SBY untuk kembali memenangi pemilu pada tahun 2009. Terbukti ekonomi indonesia di mata dunia, mengalami peningkatan secara signifikan. Namun sekali lagi, rezim tetaplah rezim. entah orde lama, baru, reformai, demokrasi, atau rezim teknokrasi tetaplah sebuah era yang akan terus berganti seiring bergantinya zaman.

setelah banyak politisi demokrat yang menjadi tersangka korupsi di kabinet Indonesia Bersatu jilid II, SBY dengan slogan antikorupsinya tak mampu membendung melubernya popularitas partainya dari pada tahun 2004 sebanyak 30 persen, menjadi hanya 13 persen saja. dan terus merosot hingga tak lebih dari 8 persen saja animo masyarakat terhadap partai demokrat.

Namun di sisi lain, setelah lama kokoh dengan idealisnya sebagai partai oposisi di era rezim demokrasi, PDIP mampu melahirkan kader-kader baru yang mampu menjawab kekecewaan masyarakat atas rezim SBY. munculnya mantan Walikota Solo dengan gaya khas blusukannya mampu membius masyarakat sebagai suatu wacana baru yang mampu mendoktrin masyarakat bahwa pemimpin haruslah loyal, dan melayani rakyat.

Uforia rakyat ditunjukkannya dengan cara menunjuk Jokowi sebagai  pemimpin DKI Jakarta bergandengan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mengalahkan pasangan incumbent yang merajai jakarta masa itu, Fauzi Bowo. Tidak hanya sampai itu, uforia masyarakat yang mudah meletup-letup terus terbangun hingga wacana pencapresan Jokowi di Pemilu Presiden 2014. tak pelak hal itu membuat nama Jokowi membumbung tinggi. Dengan agenda setting sebagai sosok yang kalem, mudah bergaul dengan rakta, ngemong, serta melayani rakyat dengan gaya teknokrasinya, Jokowi mampu menandingi era Soekarno yang mendoktrin warga hindia belanda untuk merdeka, atau era Soeharto dengan rezim orde barunya.

Bahkan kegembiraan rakyat dalam menimang pria kelahiran Solo itu dibuktikan dengan memenangi berbagai survei dari seluruh lembaga survei di indonesia. Jokowi mampu mengalahkan popularitas Prabowo, Abu Rizal Bakrie, Mahfud MD, Jusuf Kalla, bahkan juga mengalahkan eang-nya di PDIP, Megawati Soekarno Putri. Tidak dipungkiri PDIP jauh hari sebelum dilaksanakannya pemilu legislatif pada 9 April 2014 langsung menunjuk Jokowi sebagai capres dari partai PDIP. tidak tanggung-tanggung wacananya, Megawati ingin melihat hasil perolehan suara di kursi senayan dengan melambungkan nama Jokowi. Mega dan Jokowi pun sering melakukan plesir ke seluruh pelosok negeri untuk melakukan kampanye.

dari peta wacana di atas, tidak terelakkan jika Jokow akan menjadi magnet tersendiri pada pemilu presiden 2014. hampir dipastikan Jokowi akan terpilih menjadi presiden. Meskipun demikian, pekerjaan PDIP belum mudah untuk menjadi partai penguasa nantinya. dikarenakan lebih dari 50 persen suara belum menentukan pilihannya, termasuk kepada Jokowi. Pakar Politi, Burhanudin Muhtadi mengakui itu uforia masyarakat indonesia atas munculnya sosok Jokowi begitu dahsyat. meskipun begitu Burhanudin tetap mengingatkan bahwa kredibilitas Jokowi sebagai pemimpin Solo dan DKI Jakarta belum memiliki legitimasi bagi masyarakat. Oleh karena itu lawan politik Jokowi nantinya bukan tokoh dari partai lain, tapi 50 persen suara yang belum menentukan pilihan. Hal ini menentukan nantinya apakah popularitas pria kalem itu mampu menekan angka 50 persen suara yang belum menentukan pilihan.

Namun sah-sah saja, di atas kertas Jokow sudah memenangi berbagai survei. elektabilitas dan popularitasnya sudah tidak diragukan lagi. tinggal kredibilitasnya yang harus dibuktikan kepada rakyat Indonesia. Apakah nantinya rezim teknokrasi, blusukan, atau rezim apalah itu yang digadang-gadang Jokowi mampu menjadi jembatan bagi rakyat untuk pemenuhan hidup lebih layak? atau sebatas rezim-rezim yang lalu, dan terus berlalu seiring lahirnya tokoh-tokoh baru Indonesia.

Selamat menentukan pilihan anda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate