Sabtu, 06 Mei 2017

Laki-laki Sederhana



Gulungan ombak itu menggulungku, aku terseret ke dalam arus. Sedangkan sahabatku, Nur Didid sudah terseret jauh. Ketika ombak datang tubuhnya tenggelam, hilang. Sesaat kemudian muncul. Tangannya melambai, air laut sudah banyak masuk ke lambungnya. Suasana panik itu masih jelas terkenang.

Didid hilang beberapa menit ke dasar laut. Ketika ombak menerjang, tubuhnya kian terseret menuju tengah laut. Jaraknya denganku makin jauh, lebih dari 15 meter. Sementara aku tak bisa bergerak, hanya berpegangan batu karang, karena tak bisa berenang.

“Mas Zen, Didid mas, Didid kelelep,” kataku mengisyaratkan agar Muhammad Zainuri _kami bertiga sahabat_ menolongnya. Zainuri sempat mengira lambaian tangannya hanya gurauan, karena sebenarnya Didid bisa berenang. Aku minta perahu didekatkan, tapi pak tua, si pemilik sampan tak bisa mengendalikan perahunya di arus yang deras.

Tapi Zainuri lebih cekatan. Dia berenang cepat, menghampiri Didid. Dia adalah orang pesisir yang memahami sifat laut. Sudah menjadi kebiasaannya dari kecil menerjang ombak

“Tenang bro, jangan panik,” ujar Zainuri.

Tak lama Didid muncul ke permukaan, dia masih terlihat syok, kami semua syok kala itu. Kepanikan itu mulai mereda saat Pak tua itu masih berteriak racau. “Situ sih nakal dari tadi, nakal,” kata dia memarahi Didid. Kami pun terbahak-bahak seketika.

Itu adalah pengalaman kecil dari sekian banyaknya peristiwa yang aku alami bersama para sahabat saya, Zainuri dan Didid. Berlibur di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, sekalian liputan bareng. Mereka berdua mengorbankan waktunya bersama keluarga saat Lebaran, demi jalan-jalan ke pulau itu.

Perjalanan mereka berdua penuh drama, menguras energi, uang, dan kekonyolan. Ini gara-gara Didid lagi. Seharusnya hanya Didid yang berangkat ke Jakarta. Sore itu ia seharusnya sudah bersiap ke Stasiun Babat, Lamongan. Tapi, kata dia, Zainuri mengajaknya ke Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menghadiri sebuah acara.

“Wis toh gak popo, engko tak terno nang stasiun,” kata Zainuri meyakinkan ke Didid. Dia pun menyanggupi permintaan itu. Selepas pukul 21.00, mereka berangkat ke Stasiun Babat dan tiba tepat waktu. Kereta dijadwalkan berangkat pukul 22.00, tepat ketika malam takbir berkumandang.

Karena merasa masih cukup senggang, mereka ngopi di depan stasiun. Mungkin terlalu asyik ngobrol banyak hal, katanya. Sampai silap kereta telah berlalu melewatkannya. “Mau ke mana mas?” seorang pengangkut barang di stasiun bertanya pada Didid.

Dia enteng menjawab, “ke Jakarta pak.”

“Keretanya sudah berangkat, mas.”

Didid hanya menebar senyum satir, tanpa menyadari kereta sudah berlalu. Ia melenggang masuk gerbang stasiun dan mendapati satpam. Petugas itu bertanya lagi ke dia.

“Mas, kereta ke Jakarta sudah berangkat, 10 menit yang lalu.” 

Nanti, dia bercerita padaku bahwa kala itu badannya lemas. Tak percaya bahwa benar-benar ketinggalan kereta. Didid bilang, suara speaker musala sangat bising, sehingga tak mendengar pengumuman datangnya kereta dari Surabaya menuju Jakarta.

Zainuri menenangkannya, berkelakar mengajak berangkat ke Jakarta mengendarai motor. Berpikir sejenak, Didid mendadak menyanggupi. Zainuri agak kaget mendengar itu.

Namun mereka kemudian menghubungiku, bilang ketinggalan kereta. Justru mereka berdua meminta agar memesankan tiket pesawat ke Jakarta. Malam itu juga mereka bertolak ke Bandara Juanda, Surabaya naik motor. Dinihari pesawat terbang ke Jakarta.

Mereka tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma pagi, menjelang siang, tepat saat Lebaran tahun lalu. Aku tak langsung bisa menjemput, karena harus liputan pagi ke rumah tokoh dan pejabat yang sedang merayakan hari raya Idul Fitri. Aku menyarankan mereka naik taksi atau ojek online ke Mampang, Jakarta Selatan. Mereka lama tak mengabari hingga sore, mendadak mereka sudah tiba di Mampang.

Akhirnya aku tahu bahwa mereka jalan kaki, memanggul tas carrier, dari Bandara Halim hingga tempat kost-ku. Benar-benar jalan kaki. Padahal jaraknya mungkin lebih dari 15 kilometer. Mereka memang konyol. Itu hanya bagian kecil dari petualangan kami.

Jauh sebelum ke Pulau Pari, kami juga punya proyek kecil. Bertani cabai rawit dan buah naga di dalam hutan, desaku. Mereka berdua tinggal di rumahku selama beberapa bulan. Mengingat orangtuaku sedang merawat kakek di Merakurak yang sendirian, sepeninggal nenek. Tapi sayangnya, proyek kami gagal. Semua cabai mati, dan kaktus itu, entah rimbanya.

Kami menghabiskan waktu untuk banyak hal. Suatu ketika Zainuri membawa bebek. Itu adalah bekal kami menginap di hutan yang penuh nyamuk. Siangnya, kami menjelajah hutan, menerjang semak. Dia orang yang tak pernah gentar, pemberani yang sahaja.

Dia orang sederhana, santun, dan sabar. Aku jarang mendapati Zainuri marah. Mungkin level kesabarannya sudah menyamai kata sabar itu sendiri. Bahkan sekalipun orang mengejeknya atau cari gara-gara dengannya, dia tetap menjadi sederhana. Dia sering menolong saya dalam keadaaan apapun. Sejauh yang saya tahu, ia mencintai pekerjaannya, di Nurul Hayat. Sebuah yayasan zakat nasional, membantu orang-orang tak mampu. Hal yang paling penting, ia rajin salat.

Zainuri juga seorang sutradara sekaligus aktor teater yang hebat. Terakhir, saya dengar ia sedang menggarap karya milik Almarhum Pak Har. Kata temanku, Komed, karya itu sudah dipentaskan beberapa waktu lalu. Teman-teman kami juga mengakui kecintaannya pada dunia teater, seni, dan kesusastraan.

“Esok, kita mungkin akan mejadi daun berguguran, hujan yang jatuh di halaman, atau layang-layang yang terlepas dari genggaman, hidup bukan hanya sekedar melihat dan dilihat. Tapi hidup mempunyai arti untuk diri nya sendiri dan berguna untuk orang lain..
Muhammad Zainuri

Malam ini, orang-orang terdekatnya sedang berkumpul. Mereka datang sebagai saksi kesederhanannya. Kehadiranmu di dunia sudah banyak membawa kebaikan. Dia banyak menolong orang, tak terhitung dan memiliki budi yang luhur. Masih banyak kisah lain, dari banyak orang terdekatnya, yang tak habis untuk diceritakan.

Saya percaya, kelak, kebaikan akan selalu dibalas kebaikan. Wujudnya memang tak ada di sini lagi, tapi ia selalu di hati semua insan yang mengenalnya. Selamat menghuni hidup baru di pelukan Tuhan, sobat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate