Gulungan ombak itu menggulungku, aku terseret ke dalam arus. Sedangkan sahabatku,
Nur Didid sudah terseret jauh. Ketika ombak datang tubuhnya tenggelam, hilang.
Sesaat kemudian muncul. Tangannya melambai, air laut sudah banyak masuk ke
lambungnya. Suasana panik itu masih jelas terkenang.
Didid
hilang beberapa menit ke dasar laut. Ketika ombak menerjang, tubuhnya kian
terseret menuju tengah laut. Jaraknya denganku makin jauh, lebih dari 15 meter.
Sementara aku tak bisa bergerak, hanya berpegangan batu karang, karena tak bisa
berenang.
“Mas
Zen, Didid mas, Didid kelelep,” kataku mengisyaratkan agar Muhammad Zainuri _kami
bertiga sahabat_ menolongnya. Zainuri sempat mengira lambaian tangannya hanya
gurauan, karena sebenarnya Didid bisa berenang. Aku minta perahu didekatkan,
tapi pak tua, si pemilik sampan tak bisa mengendalikan perahunya di arus yang
deras.
Tapi
Zainuri lebih cekatan. Dia berenang cepat, menghampiri Didid. Dia adalah orang
pesisir yang memahami sifat laut. Sudah menjadi kebiasaannya dari kecil
menerjang ombak
“Tenang
bro, jangan panik,” ujar Zainuri.
Tak
lama Didid muncul ke permukaan, dia masih terlihat syok, kami semua syok kala
itu. Kepanikan itu mulai mereda saat Pak tua itu masih berteriak racau. “Situ
sih nakal dari tadi, nakal,” kata dia memarahi Didid. Kami pun terbahak-bahak
seketika.
Itu
adalah pengalaman kecil dari sekian banyaknya peristiwa yang aku alami bersama
para sahabat saya, Zainuri dan Didid. Berlibur di Pulau Pari, Kepulauan Seribu,
sekalian liputan bareng. Mereka berdua mengorbankan waktunya bersama keluarga
saat Lebaran, demi jalan-jalan ke pulau itu.
Perjalanan
mereka berdua penuh drama, menguras energi, uang, dan kekonyolan. Ini gara-gara
Didid lagi. Seharusnya hanya Didid yang berangkat ke Jakarta. Sore itu ia seharusnya
sudah bersiap ke Stasiun Babat, Lamongan. Tapi, kata dia, Zainuri mengajaknya
ke Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menghadiri sebuah acara.
“Wis
toh gak popo, engko tak terno nang stasiun,” kata Zainuri meyakinkan ke Didid. Dia
pun menyanggupi permintaan itu. Selepas pukul 21.00, mereka berangkat ke
Stasiun Babat dan tiba tepat waktu. Kereta dijadwalkan berangkat pukul 22.00,
tepat ketika malam takbir berkumandang.
Karena
merasa masih cukup senggang, mereka ngopi di depan stasiun.
Mungkin terlalu asyik ngobrol banyak hal, katanya. Sampai silap kereta telah berlalu
melewatkannya. “Mau ke mana mas?” seorang pengangkut barang di stasiun bertanya
pada Didid.
Dia
enteng menjawab, “ke Jakarta pak.”
“Keretanya
sudah berangkat, mas.”
Didid
hanya menebar senyum satir, tanpa menyadari kereta sudah berlalu. Ia melenggang
masuk gerbang stasiun dan mendapati satpam. Petugas itu bertanya lagi ke dia.
“Mas,
kereta ke Jakarta sudah berangkat, 10 menit yang lalu.”
Nanti,
dia bercerita padaku bahwa kala itu badannya lemas. Tak percaya bahwa
benar-benar ketinggalan kereta. Didid bilang, suara speaker musala sangat bising, sehingga tak mendengar pengumuman datangnya kereta dari Surabaya menuju Jakarta.
Zainuri menenangkannya, berkelakar mengajak berangkat ke Jakarta mengendarai motor. Berpikir sejenak, Didid mendadak menyanggupi. Zainuri agak kaget mendengar itu.
Zainuri menenangkannya, berkelakar mengajak berangkat ke Jakarta mengendarai motor. Berpikir sejenak, Didid mendadak menyanggupi. Zainuri agak kaget mendengar itu.
Namun
mereka kemudian menghubungiku, bilang ketinggalan kereta. Justru mereka
berdua meminta agar memesankan tiket pesawat ke Jakarta. Malam itu juga mereka
bertolak ke Bandara Juanda, Surabaya naik motor. Dinihari pesawat terbang ke
Jakarta.
Mereka
tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma pagi, menjelang siang, tepat saat Lebaran
tahun lalu. Aku tak langsung bisa menjemput, karena harus liputan pagi ke rumah
tokoh dan pejabat yang sedang merayakan hari raya Idul Fitri. Aku menyarankan
mereka naik taksi atau ojek online ke Mampang, Jakarta Selatan. Mereka lama tak
mengabari hingga sore, mendadak mereka sudah tiba di Mampang.
Akhirnya
aku tahu bahwa mereka jalan kaki, memanggul tas carrier, dari Bandara Halim
hingga tempat kost-ku. Benar-benar jalan kaki. Padahal jaraknya mungkin lebih dari 15
kilometer. Mereka memang konyol. Itu hanya bagian kecil dari petualangan kami.
Jauh
sebelum ke Pulau Pari, kami juga punya proyek kecil. Bertani cabai rawit dan
buah naga di dalam hutan, desaku. Mereka berdua tinggal di rumahku selama
beberapa bulan. Mengingat orangtuaku sedang merawat kakek di Merakurak yang
sendirian, sepeninggal nenek. Tapi sayangnya, proyek kami gagal. Semua cabai mati, dan kaktus itu, entah rimbanya.
Kami
menghabiskan waktu untuk banyak hal. Suatu ketika Zainuri membawa bebek. Itu
adalah bekal kami menginap di hutan yang penuh nyamuk. Siangnya, kami
menjelajah hutan, menerjang semak. Dia orang yang tak pernah gentar, pemberani
yang sahaja.
Dia orang sederhana, santun, dan sabar. Aku
jarang mendapati Zainuri marah. Mungkin level kesabarannya sudah menyamai kata
sabar itu sendiri. Bahkan sekalipun orang mengejeknya atau cari gara-gara
dengannya, dia tetap menjadi sederhana. Dia sering menolong saya dalam keadaaan
apapun. Sejauh yang saya tahu, ia mencintai pekerjaannya, di Nurul Hayat.
Sebuah yayasan zakat nasional, membantu orang-orang tak mampu. Hal yang paling
penting, ia rajin salat.
Zainuri
juga seorang sutradara sekaligus aktor teater yang hebat. Terakhir, saya dengar
ia sedang menggarap karya milik Almarhum Pak Har. Kata temanku, Komed, karya
itu sudah dipentaskan beberapa waktu lalu. Teman-teman kami juga mengakui
kecintaannya pada dunia teater, seni, dan kesusastraan.
“Esok, kita mungkin akan mejadi daun berguguran, hujan yang
jatuh di halaman, atau layang-layang yang terlepas dari genggaman, hidup bukan
hanya sekedar melihat dan dilihat. Tapi hidup mempunyai arti untuk diri nya
sendiri dan berguna untuk orang lain..”
Muhammad Zainuri
Muhammad Zainuri
Malam
ini, orang-orang terdekatnya sedang berkumpul. Mereka datang sebagai saksi
kesederhanannya. Kehadiranmu di dunia sudah banyak membawa kebaikan. Dia banyak
menolong orang, tak terhitung dan memiliki budi yang luhur. Masih banyak kisah lain, dari banyak orang terdekatnya, yang tak habis untuk diceritakan.
Saya percaya,
kelak, kebaikan akan selalu dibalas kebaikan. Wujudnya memang tak ada di sini lagi,
tapi ia selalu di hati semua insan yang mengenalnya. Selamat menghuni hidup baru di pelukan Tuhan, sobat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar