Selasa, 23 Mei 2017

Kebenaran



Pandangan kita tentang apapun, tak pernah utuh. Selalu parsial atau subyektif. Dua hal ini saling melengkapi namun bertolak-belakang. Anda bisa saja memilih melihat sesuatu dengan cara komprehensif, pada akhirnya hanya sekadar parsialitas. Sebaliknya, saat kita melihat sesuatu dengan sangat dekat, maka lahirlah subyektifitas.

Hal ini juga berlaku pada kebenaran. Anda tak akan mendapatkannya secara utuh. Bisa saja dari sudut pandang anda, eksistensi telur itu lebih dulu ada mendahului ayam. Di satu sisi, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Bahkan mungkin ada yang beranggapan keduanya muncul bersamaan. Entahlah, tanyakan saja pada penciptanya.

Terkadang saya berpikir kenapa kita tak bisa melihat kebenaran itu secara utuh? Saya sering menghadapi masalah terkait pembuktian kebenaran. Itu sangat berat. Karena hal ini bersinggungan langsung dengan pekerjaan saya. Hampir setiap hari saya merumuskan masalah, menentukan sudut pandang, mewancarai sejumlah sumber, verifikasi, verifikasi, dan verifikasi, lalu menulis.

Tapi saya tak pernah puas dengan itu. Karena semua itu tak menghasilkan kebenaran yang komprehensif. Tapi benar, memang tak ada kebenaran mutlak. Kebenaran memiliki nilai relativitas. Dia terikat oleh ruang dan waktu. Kadang juga bercampur dengan ambigu, tabu, kebohongan, dan sangat bergantung pada khalayak.

Hal ini juga mengingatkan saya pada kematian Al-Hallaj. Seorang pemikir Islam yang hidup pada 866 masehi. Dia adalah sufi yang dibesarkan dari kakek beragama Zoroaster dan ayah Islam. Pemikirannya yang sangat tersohor yakni "Akulah Kebenaran". Karena kalimat itu pula ia meninggal mengenaskan, dipenggal pemerintahan masa itu.

Jauh sebelum dia, Socrates sudah merasakan dipenggal karena pemikiran yang sama. Karena sebuah keyakinan, manusia bisa menghakimi sesamanya. Di Indonesia takdir yang sama juga dialami oleh Syeh Siti Jenar.

Pada dasarnya setiap manusia sering berebut kebenaran. Mereka kemudian membentuk koloni yang sepaham, memetakan paham lain dan memusuhinya. Ada juga manusia yang diam menyembunyikan kebenarannya di dalam batin saja.

Manusia kemudian merumuskan metode untuk mengungkap kebenaran. Metodenya bukan like dan share. Bukan juga beropini tanpa memberi ruang berbagai pihak untuk bicara. Biasanya, saya mendapatkan cerita dari satu pihak tentang tuduhan. Kita dituntut untuk validasi cerita itu.

Setiap cerita punya banyak perspektif. Sehingga semua sumber harus diakomodir. Jika sudah valid, anda harus rekonstruksi sebuah cerita dengan sebuah sudut pandang. Nah proses pembentukan sudut pandang bergantung pada siapa anda berpihak. Pada titik ini independensi anda dipertaruhkan.

Berikutnya, kita melakukan pembuktian. Dalam persidangan, pembuktian dilakukan dengan mendatangkan terdakwa, membeberkan bukti yang dimiliki jaksa, saksi, hingga mendengarkan pembelaan terdakwa. Pada dasarnya, prinsip ini wajib kita lakukan dalam keseharian. Ini metode dasar anda untuk menuju kebenaran.

Lalu bagaimana dengan kebenaran sebuah keyakinan? Kebenaran sebuah agama? Apakah kita perlu mendatangkan tuhan, malaikat, para wali tuhan, hingga kitab sucinya? Seharusnya demikian. Kita harus membuktikan kuasa tuhan untuk mendapatkan kebenaran. Masing-masing orang memiliki hasil yang berbeda, tergantung proses pembuktiannya.

Setelah kita membuktikan dan telah menemukan jawaban itu, tugas kita adalah menyampaikan sebuah kebenaran. Maka lahirlah para nabi, para wali, para pemikir, dan lain sebagainya yang menyampaikan sebuah kebenaran. Mereka berani dipenggal karena tahu apa yang diyakini itu telah dibuktikan.

Proses pencarian kebenaran ini seyogyanya kita terapkan dalam keseharian kita. Karena kita tak tahu apa itu kebenaran mutlak, paling tidak kita sudah berusaha membuktikannya. Benar dan salah pada akhirnya menjadi perspektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate