Kamis, 18 Januari 2018

Surat untuk Putri





Putri, saya sering bertanya pada bapak saya, kenapa Irma, adik kedua, tidak berangkat kuliah sendiri saja? Kenapa ia juga masih tinggal di asrama pesantren, bukankah dia mahasiswa? Kenapa dia harus belajar masak? Kenapa dia tidak ikut organisasi kampus? Kenapa dia tidak nakal seperti saya? Kenapa dia tidak bawa motor sendiri ke kampus? Saya bilang padanya, padahal Irma punya hak yang sama seperti yang pernah saya lakukan. Bapak biasanya orasi agama, panjang-lebar membawa nama-nama lapisan surga dan neraka.

Semalam saya mendengar kajian filsafat Betty Friedan, seorang pemikir feminisme Amerika di masa pertengahan abad 20. Pikiran-pikirannya sangat berdampak serius pada kesetaraan gender peradaban dunia, masa kini. Dia orang yang setelah Simone, menuntut keras adanya kesetaraan gender di semua aspek kehidupan. Keterlibatan perempuan dalam politik, sosial, pembangunan negara, dan dalam segala aspek lain. Barangkali pikiran itu sudah populer, dan sekarang kita sepakat akan hal itu.

Tapi sebenarnya saya merasa gagal menyampaikan itu pada bapak. Dogma yang mengakar di keluarga itu lebih kuat ketimbang sekadar bertanya pada Tuhan. Bahkan di antara kami, sudah tak sadar bahwa masing-masing sedang menindas hak-haknya sebagai manusia. Ini bukan kesalahan bapak saya, juga adik-adik saya. Ini adalah bentukan struktur patriarki yang memiliki kesamaan pola di negara manapun itu.

Mari saya tunjukkan bagaimana keluarga saling menjerat untuk menindas, atas nama agama. Pikiran-pikiran tentang anak perempuan dalam Islam sebenarnya sudah diatur dalam fiqih dan hadits dalam mahdzab Maliki. Bahwa sebelum gadis dipinang orang, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua. Berbeda dengan laki-laki, bukan lagi menjadi tanggung jawab orangtua ketika masuk baligh. Pengetahuan ini sudah umum di budaya islam dan diajarkan banyak ulama di desa-desa. Ini satu hal yang juga sering dikritik oleh Siti Mernissi, pemikir feminisme Islam.

Makanya lazim jika bapak bersikukuh untuk mengantarkan adik saya kemanapun. Entah itu bepergian ke kota, beli buku, daftar kuliah, berangkat ke asrama kampusnya, atau dijemput ketika pulang ke rumah. Saya tanya, seberapa yakin bisa menjaga anakmu? Dia menjawab akan terus menjaganya, mencegah dari kenakalan dan kegelapan dunia, sampai ia bertemu suaminya. Saya bilang padanya bahwa anak itu bukan dimasukkan kandang dan diberi makan seperti ternak. Anak itu harus diberi kepercayaan dan kebebasan berpikir merdeka. Sudah lumrah dia marah, ketika saya bicara seperti itu. Biasanya ngambek dua tiga hari.

Jadi apa gunanya dia terdidik tapi jika tak diajarkan untuk berpikir kritis? Apa gunanya dia kuliah tapi tak tahu metode berpikir? Saya bicara juga dengan Irma dan Emak mengenai ini. Mereka tak sepenuhnya menolak atau juga tak terlalu setuju dengan perlakuan seperti itu. Barangkali mereka sendiri tak saling sadar sedang menindas dan tertindas. Laki-laki dan perempuan memang dianggap berbeda jenis, bukan hanya dalam hal sexualitas, tapi juga perilaku dan bahkan identitasnya. Padahal setahu saya, keadilan dan kesetaraan tidak mengenal jenis kelamin.

Musuh kita adalah pandangan perempuan dan laki-laki yang masih berpikir seperti ini. Banyak perempuan terdidik tapi sedikit yang memiliki intelektualitas. Karena masih banyak juga perempuan yang menganggap bahwa dirinya harus bisa mengerjakan hal-hal yang disebut ciri identitas perempuan. Mereka melestarikan hegemoni perempuan pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga, memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, berdandan, sexy, sopan-santun, mendidik anak, sosialita, dan segala macam lainnya. Apa hidup perempuan hanya untuk ini?

Makanya, terus terang saya sarankan, kamu juga tak perlu khawatir gendut, resah disebut berantakan, tak cantik lagi, atau sudah tak menggemaskan seperti anak perempuan. Tak usah khawatirkan semua itu. Sebab yang mencitrakan perempuan harus dandan, harus cantik, harus sexy, adalah laki-laki. Para lelaki yang mengonstruksikan gender bahwa perempuan harus begini dan begitu. Maka sudah saatnya enyahkan semua itu. Lakukan banyak hal sesukamu dan senyaman-nyamannya hidup.

Sudah sejak sebelum masa penjajahan, perempuan ditempatkan sebagai pelengkap lelaki. Perempuan sering tak sadar, apa yang ia lakukan hanya untuk menyenangkan laki-laki. Apalagi laki-laki, mereka sering mementingkan dirinya sendiri. Mengonstruksikan peradaban atas pandangannya sendiri. Coba kita amati industri film porno hanya dibuat untuk laki-laki. Apakah perempuan tak punya berahi? Apa perempuan sudah terkebiri? Apa perempuan sudah tak membutuhkan pornografi? Jika seperti itu, betapa membosankan hidup menjadi perempuan dan betapa enaknya menjadi laki-laki.

Sadar atau tidak, budaya ini menciptakan superioritas laki-laki yang menempatkan perempuan sebagai kaum inferior. Pada akhirnya perempuan sebagai makhluk yang harus dipimpin dalam segala hal oleh laki-laki. Masalah terus terjadi dan terus lestari karena semua rumah tangga menerapkan hal serupa. Bahkan mereka tak sadar itu adalah sebuah masalah penindasan hak manusia.

Pria didikotomi sebagai pemimpin pengambil segala kebijakan, dan perempuan menurutinya. Tidak heran iklan mobil yang ditampilkan perempuan sexy, kerena marketing tahu, dalam rumah tangga yang berperan memutuskan untuk membeli mobil atau tidak, sebagian besar adalah laki-laki. Itu adalah narasi besar diskriminasi gender, kesepakatan masyarakat yang tak perlu diterapkan. Bahkan mungkin sudah tak layak. Kita punya nilai-nilai sendiri yang sedang kita rajut.

Hak perempuan sama dengan laki-laki. Sama-sama memiliki insting, logika, dan perasaan. Ketiga hal itu adalah bawaan manusia, bersifat kodrati. Manusia berhak melakukan apapun. Perempuan boleh menjadi jagoan dan laki-laki juga diperkenankan menangis. Coba kita kenang masa kecil masing-masing. Semasa sekolah dasar anak perempuan biasanya teguh memilih cita-cita. Namun lama-kelamaan cita-cita itu memudar bahkan hilang ditelan budaya patriarki.

Putri, entah seperti apa kita. Sejauh ini yang bisa saya bayangkan, kita adalah partner hidup. Tumbuh dan barangkali mati bersama. Kamu boleh memilih bekerja atau tidak, tapi kamu wajib memperjuangkan impianmu. Berkarya adalah hak setiap manusia, satu-satunya hal yang bisa kita nilai dan banggakan.

Jakarta, 16 Januari 2018
Avit Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate