Selasa, 06 Januari 2015

Hobi Booking dan Transaksional Anggota Dewan


blogspot

Stigma buruk masyarakat terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan sekedar isapan jempol belaka. Stigma tersebut melekat di dinding memori otak masyarakat seolah-olah akan menjadi notifikasi dan pengingat jika suatu saat didapati salah satu oknum anggota kedapatan korupsi maupun melanggar etika.

Paradigma masyarakat ini terbentuk jauh sebelum Orde Baru dilahirkan. Sejak era orde Lama, Orde Baru, maupun reformasi, hingga Demokrasi sampai saat ini berjalan, stigma itu yang terus melekat pada masyarakat. Ini yang kemudian membuat masyarakat antipati dan cenderung pasif dalam berdemokrasi.

Jauh dari itu, sebelum membicarakan pemaknaan demokrasi saat ini, pemahaman tentang fungsi dan peran DPR terhadap masyarakat juga perlu dilakukan. Menghilangkan paradigma bahwa anggota DPR itu koruptor, tikus kantor, suka transaksional, hedonis, atau lain sebagainya perlu dilakukan. Ini yang luput dari Benjamin Franklin bahwa revolusi tidak sekedar menggerakkan rakyat, melainkan harus menggerakkan birokrasi ke hal yang lebih baik.

Seperti yang dikatakan Pakar Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Kresnayana Yahya bahwa untuk memantapkan proses berdemokrasi masyarakat dan terwujudnya ekonomi yang mandiri, masyarakat perlu dididik untuk terhindar dari proses birokrasi yang transaksional. Transformasi diperlukan dari transaksional ke hal yang produktif. Artinya apa yang dikatakan Kresnayana ini adalah upaya untuk menghapus stigma birokrasi yang berbelit dan transaksional ke percepatan pembangunan untuk hal yang lebih produktif.

Ini mengapa terjadi pergolakan, khususnya selama sepuluh tahun terakhir di Thailand. Gelombang gerakan terus bergerilya dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, dan dari pemimpin satu ke pemimpin lainnya. Dapat kita baca, karena people power yang dimiliki oleh Thailand tidak digunakan untuk membawa bangsa dan negaranya dalam memenuhi sistem neggara yang kondusif.

Artinya, perpecahan dan gerakan yang terjadi terus ditunggangi dari pemimpin satu dengan yang lainnya atas dasar transaksional semata. Setelah people power bergerak, dari massa yang segitu banyaknya dapat mengguncangkan Thailand ternyata tidak dikondisikan untuk membuat struktur negara yang baik. Begitu juga yang terjadi di Indonesia pada 1998. Sampai saat ini, peran dan fungsi DPR belum dimanifestasikan sebagai kekuatan people power dan hanya sebagai kekuatan kelompok dan golongan untuk kepentingan dan transaksional.

*****

Konsep ini mungkin terlalu berlebihan untuk kita dengar, tapi inilah yang kita lakukan sampai sekarang. Budaya transaksional. Saya perkecil gambaran menjadi yang lebih sederhana lagi. Ini bukan tentang konsep, melainkan tentang bagaimana kehidupan seorang anggota dewan dan masyarakat yang transaksional. Saya tidak menunjukkan contoh ini menjadi sterotip tentang anggota dewan, tapi inilah yang saya ketahui tentang mereka.

Di suatu malam, dalam perjamuan seorang teman sekantor yang sedang meramaikan hajatan anaknya yang dikhitan ada diskusi kecil yang menarik. Di rumah teman saya itu saya berjumpa dengan banyak rekanan yang baru saya kenal. Teman saya mengundang banyak koleganya.

Karena dia adalah seorang jurnalis senior tentunya banyak koleganya yang ia undang. Salah satunya yang saya lihat waktu itu Ketua DPRD dari salah satu kota di Indonesia. Kemudian lainnya, anggota DPRD, pengusaha, wartawan senior, dan saya jurnalis muda. Saya katakan jurnalis muda, karena saya terlihat lebih muda dibanding dengan para tamu yang menghadiri hajatan rekan saya tersebut juga saya minim pengalaman dibanding mereka.

Sekitar jam 16.00 WIB saya sudah merapat (datang ke rumahnya) untuk membantu rekan saya mempersiapkan segala sesuatu. Karena tempat itu rumah baru dan keluarganya belum diajak pindahan, tentunya saya juga ikut menyingsingkan lengan membantu. Mulai dari angkat-angkat kursi, membeli makanan, hingga membuatkan kopi untuk para tamunya. Maklum karena saya rekan kerjanya yang paling junior. Terlebih kami sangat akrab dan dia baik kepada saya.

Sebelum perbincangan dimulai, saya mempersiapkannya dengan membeli makanan dan kopi untuk persiapan begadang sampai pagi. Dan benar saja, belum magrib berkumandang salah satu rekan jurnalisnya juga rekan saya tiba di kompleks perumahan baru itu.

Setelah magrib tiba baru rekannya yang lain datang menyusul. Mereka seperti sahabat yang lama tidak bertemu dan di meja kecil itu suasana tampak mencair. Agar lebih mantap begadangnya, saya pun membuatkan kopi untuk menghangatkan diskusi.

Benar saja, mereka ternyata sudah sangat akrab. Saat itu hanya saya saja yang terlihat konyol berdiam dan hanya mendengarkan pembicaraan mereka, lalu ikut tertawa di saat momen lucu. Terkadang juga membahas problem-problem serius seperti cagar budaya, musik, dan lain sebagainya yang tidak saya pahami.

Waktu itu ada sekitar 12 orang yang hadir dalam hajatan sederhana tersebut. Mereka duduk melingkar di sofa panjang, kemudian sofa kecil, kursi lipat, dan tengahnya terdapat meja panjang dan kecil yang ditempati banyak kue, rokok, kopi, dan air mineral.

Dari 12 rekannya tersebut, saya melihat berbagai karakter dan sifat. Ada salah satu rekannya yang berapi-api ketika menceritakan sesuatu. Terlihat mimiknya sangat fasih bak aktor ulung ketika menceritakan pengalaman jurnalistiknya dari satu tokoh ke tokoh yang lainnya.

Dalam perbincangan tersebut, salah seoarang jurnalis senior menceritakan pengalamannya menjadi wartawan. Waktu itu ia sedang meliput kasus reklame dari salah satu perusahaan reklame terbesar di kota tersebut. Dengan berapi-api, pria yang belakangan menjadi pengusaha ini mengenang masa-masanya menjadi seorang jurnalis muda.

Sebagai jurnalis di harian lokal terbesar di kota tersebut, jurnalis itu menargetkan tulisannya akan masuk Adiwarta (Organisasi untuk memberi Penghargaan karya jurnalistik). Ia menargetkan dapat menjadi pemenang. Namun niatnya itu terganjal karena ada tawaran Rp 5 juta dari perusahaan reklame tersebut sebagai ganti untuk tidak meneruskan tulisannya.

Dia pun menolak, dengan alibi tulisannya dapat memenangkan Adiwarta senilai Rp 18 juta dan bisa ia gunakan untuk melunasi kredit rumahnya. Makanya dia menolak tawaran Rp 5 juta yang diberikan perusahaan reklame. Tapi mengenaskan baginya, karena perusahaan reklame justru mendatangi kantor Redaksi dan meminta Pemimpin Redaksinya (Pemred) untuk menghentikan pelaporan jurnalistik tersebut.

Alih-alih dapat duit Rp 18 juta, jurnalis senior itu mengenang bahwa ia hanya kaget dengan swa-sensor dari redaksinya sendiri. Namun belakangan ia menceritakan, tulisannya yang sudah ia muat ia kirimkan ke Adiwarta dan akhirnya ia mendapatkan hadiahnya.

Begitu perbincangan tampak sangat mengalir, satu sama lainnya menimpali pembicaraan dengan guyonan dan gelagat yang membuat perut terpingkal-pingkal. Sampai pada hal yang baru saya dengar dari kebiasaan anggota dewan. Salah satu ketua dewan yang hadir tersebut menceritakan pengalamannya membantu pramugari cantik dari salah satu maskapai terkenal di Indonesia.

Berhubung saat itu, sedang membicarakan jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, jadi perbincangan mengerucut ke bidang penerbangan. Banyak di antara orang tersebut berbagi pengalamannya tentang dunia penerbangan. Kecuali saya, karena saya tidak pernah naik pesawat.

Ketua dewan itu melanjutkan, bahwa suatu kali ada salah satu pramugari cantik yang baru ia kenal meminta bantuan karena pramugari tersebut terbelit masalah dengan perusahaan dan akan segera dikeluarkan. "Jangan khawatir, biar saya tangani," begitu katanya.

Ia pun menghubungi maskapai tempat pramugari tersebut bekerja. Niatnya adalah mengurungkan perusahaan yang akan memberhentikan pramugari tersebut. "Itu keponakan saya, kenapa harus resign, biar di situ saja. Kalau sampai keponakanku  dipecat, saya panggil maskapai kalian, bisa saya rekomendasikan dicabut," tegasnya menceritakan.

Akhir ceritanya pun, ketua dewan tersebut mengaku kalau perusahaan tersebut kecut dan mengurungkan niatnya untuk memberhentikan keponakan barunya itu. Suasana pun tampak riuh ketika, salah seorang rekan lainnya menimpali bahwa ketua dewan tersebut mendapatkan ke-enakan dari keponakan palsunya itu. "Kepenekan dhisik, lagek kepenakan (Memanjat di ranjang dulu, baru merasa enak)," sahut rekan lainnya dengan gelak tawa.

Dalam sekejap saya pun mengartikan bahwa ini yang disebut masyarakat bahwa anggota dewan ahli dalam bidang transaksional. Benar saja dengan ceritanya yang membabi-buta memanfaatkan jabatannya untuk kepentingannya sendiri.

Ketua dewan itu pun melanjutkan ceritanya lagi. Kali itu ceritanya semakin menjurus, tentang tema perempuan, transaksional, dan kepenaken (ke-enakan). Maklum saja, saat itu malam semakin larut, suasana juga mendukung dengan keintiman para sahabat lama yang baru bertemu.

Dia membeberkan tentang budaya jajan (istilah lain dari mencari hiburan malam dan perempuan). Di kalangan anggota dewan, ia membuka bahwa kegiatan jajan sudah menjadi hiburan lumrah bagi mereka untuk sekedar berfoya-foya. Bahkan tidak hanya anggota dewan laki-laki. Para anggota dewan perempuan pun doyan jajan dan tentunya secara berkala mereka menjadwalkan rutin untuk dugem.

Tidak sembarang tempat yang ia pakai untuk dugem. Para wakil rakyat tersebut mengaku pilih-pilih kalau mau memakai tempat hiburan malam. Ia mempertimbangkan bahwa hiburan malam harus high class dan special purelnya (perempuannya). Tapi tidak semua anggota dewan yang suka high class, ia menceritakan banyak anggota dewan yang memilih kelas premium. Khususnya bagi anggota dewan di daerah, diajak masuk tempat karaoke pinggiran saja sudah kegirangan.

Karena saking pengalamannya, bahkan ketua dewan tersebut bisa mengklasifikasikan selera anggota dewan di seluruh Indonesia. Maklum saja, ia sudah tiga periode menjadi anggota dewan dan sudah keliling di berbagai tempat hiburan di Indonesia.

Ia membedakan atas klasfikasi perkembangan sebuah wilayah. Jika anggota dewan tersebut dari sebuah kota besar terlebih DPR RI maknya tempat hiburannya dipastikan high class. Tapi jika anggota dewan daerah, maka tempat hiburannya kelas premium. "Masuk di hall hiburannya masyarakat ecek-ecek saja mereka sudah suka," ceritanya.

Diakuinya, aktivitas jajan ini sering ia lakukan bersama teman-temannya. Terlebih saat kunjungan kerja (kunker) di luar kota atau luar negeri. Sasaran utama para anggota dewan adalah tempat hiburan dan fasilitas hotelnya yang menarik. "Sekarang banyak perempuan yang pakai silikon pemancung hidung. Saya nggak suka. Saya lebih suka yang natural aja biar nggak rewel. Takutnya kalau saat disuruh ini-itu nanti hidungnya penyok kita juga yang susah."

Suatu kali saat ia sedang kunker di Thailand ia masuk di salah satu tempat hiburan terbesar di negara yang melegalkan prostitusi tersebut. Ketua dewan itu bersama rekannya sesama anggota dewan langsung saja masuk di lantai dua. Ia melihat semua orang berwajah cantik oriental. Tentunya sangat seksi bagi kebanyakan perempuan di Indonesia.

Sebelum transaksi para anggota dewan asal Indonesia itu pun memilih-pilih dan mengamati perempuan yang sesuai selera. Saat ia mencoba mengajak bicara para perempuan cantik tersebut, tidak ada yang menyahuti. Ia pun merasa aneh, kenapa enggan diajak bicara. Apa karena tidak mengerti dengan bahasa inggris.

Ia bersama rekannya pun mengamati lebih seksama lagi liuk tubuh perempuan cantik di tempat itu. Baru akhirnya ia sadar saat melihat salah seorang perempuan yang memiliki kaki berotot. "Ternyata di lantai dua itu khusus prostitusi kaum homo," akunya lalu disertai gelak tawa yang riuh.

Baru kemudian ia bertanya dan naik di lantai empat untuk menikmati perempuan tulen. Tapi justru sayangnya, perempuan tulen di Thailand kalah cantik dibanding perempuan jadi-jadian yang berotot kakinya. Suara gelak tawa pun kembali riuh karena, mucikari di tempat tersebut juga menawarkan perempuan luar negeri asal Indonesia. "Awalnya saya pikir luar negeri itu Eropa, lakok dari Indonesia. Itu tetap saja lokal bagi saya."

Tidak hanya menceritakan hobi mereka yang membudayakan jajan di kalangan anggota dewan, deal-deal transaksional juga sering dilakukannya untuk menambah pendapatan mereka. Seperti memanfaatkan pertikaian antara satu individu dengan yang lainnya. "Sekarang itu korupsi tidak hanya di negara, di gereja pun penuh korupsi dan bahkan orangnya salin bunuh untuk mendapatkan uang," bebernya.

Di salah satu gereja terbesar di kota tersebut, ketua dewan itu menceritakan bahwa ia dimintai tolong untuk mengusut kasus pertikaian antara ayah dan anak di perkumpulan pendeta. "Di situ jamaah gereja di akhir tahun kan biasa mendonasikan uang untuk gereja. Dan itu tidak ada audit. Ternyata dikorupsi oleh di anak pendeta. Tapi ayahnya marah-marah karena tidak dapat jatah tapi dituduh tersangka, akhirnya mereka salin membunuh. Saya dimintai tolong ya saya lihat saja mana yang menjanjikan surga (uang) mana yang tidak," entengnya.

Itu hanya salah satu contoh kecil yang ia tangani. Banyak contoh kasus lainnya yang saat itu tidak ia sebutkan. Tentunya sebagai pribadi, ia mengaku tidak mengambil pusing. Prinsipnya asal ada uang, ia jalan. Pastinya ini telah mengabaikan fungsi dewan sebagai wakil rakyat. Inilah contoh sederhananya tentang konsep transaksional demokrasi kita.

Tapi jangan lalu kita menyebut budaya jajan dan transaksional sebagai stereotip tentang jati diri wakil rakyat yang didanai APBN tersebut. Mungkin itu hanya sebatas oknum yang tidak harus kita sebutkan jati dirinya, tapi perlu kita ketahui untuk pembelajaran dan telaah bersama. Karena setiap profesi pasti ada oknum di baliknya. Asalkan tidak semuanya lalu beramai-ramai jadi oknum di balik meja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate