Selasa, 17 Februari 2015

Mungkinkah Wartawan Profesional dan Lepas dari Swa-Sensor?

 
Sumber foto Antara: Permasalahan kebebasan pers saat ini bukan dari luar, tapi dari dalam diri perusahaan pers dan wartawannya. Ini yang disebut Atmakusumah sebagai Swa-Sensor.


Lahirnya UU No 40 Tahun 1999 tentang pers adalah suatu penghargaan besar atas jerih payah para praktisi pers di era Orde Baru untuk mendapatkan kebebasan. Tidak diragukan lagi, dibredelnya Tempo, Detik, Editor, dan sejumlah media massa naional lainnya seolah menjadi cikal dari implementasi UUD 1945 pasal 28 yang sepertinya terbendung selama beberapa dekade.

Tentunya itu tidak didapat dari bonus kedermawanan Soeharto maupun kebaikan Orde Baru. Mereka mencarinya sendiri. Mendengungkan kebebasan dengan resiko dibungkam. Memastikan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak setiap manusia, meski itu diperoleh dengan cara ditendang dan menendang.

Wakil direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Suka pada harian Jakarta Post April 2008 bahkan menegaskan bahwa paska lahirnya kebebasan pers, Indonesia menjadi satu-satunya negara bebas di Asia Tenggara. “Demokrasi Indonesia sangat berutang kepada eksistensi media pers yang bebas. Tanpa kebebasan pers, demokrasi kita akan mati sejak awal. Kita harus mengingatkan diri sendiri, bahwa pers adalah benteng dari demokrasi,” ujarnya.

Hematnya, di tahun-tahun setelahnya, uforia tentang kebebasan pers pun mendengung ke angkasa. Dengan hanya berlandaskan UU Pers 1999 pun berbagai elemen masyarakat dan konglomerat dapat dengan mudah menjadi digdaya atas nama kebebasan. Sekejap pun ribuan media massa menjamur. Di sepanjang sejarah peradaban pers Indonesia, Jumlah ini media saat itu sangat fantastis dibanding sebelumnya.

Dikutip dari Antara, sedikitnya ada lima media massa baru yang terbit dalam sehari. Akibatnya, pada 2008 saja jumlah media cetak melonjak drastis. Padahal di era Orde Baru hanya 289 media cetak saja yang berdiri, tiba-tiba melonjak drastis menjadi 1.687 media cetak dalam beberapa tahun saja.

Ini hanya contoh jumlah media cetak saja, karena di saat yang sama juga terjadi lonjakan jumlah media radio, televisi, online, televisi kabel, dan sejumlah media massa jenis lainnya. Artinya dalam setahun Dewan Pers mencatat ada pertumbuhan rata-rata 1.389 media massa baru. Jika dihitung dalam bulan, maka ada sedikitnya 140 media massa baru yang berdiri.

Dari jumlah media massa yang sebanyak itu, logikanya butuh wartawan seberapa banyak untuk terus menyuplai berita setiap saat? Dari perkiraan Pengamat Masalah Pers Nasional, Atmakusumah dalam tulisannya pada 1997, di Indonesia saat Orde Baru jumlah wartawannya hanya 7.000 jiwa saja. Jumlah ini pun terbagi atas wartawan paro waktu dan penuh waktu.

Namun setelah diundangkannya UU tentang Pers dan digelorakannnya kebebasan pers, sejak era reformasi hingga saat ini jumlah wartawan di Indonesia terus meningkat. Bahkan diperkirakan saat ini tengah ada sedikitnya 100 hingga 150 ribu wartawan di seluruh Indonesia. Sayangnya, hanya 20 ribu saja yang terdaftar dan tersertifikasi di Dewan Pers. Jumlah ini jauh dibanding negara maju seperti Jerman yang memiliki sedikitnya 60 ribu wartawan yang sudah tersertifikasi.

Artinya meski jumlah media di tanah air menjamur, akan tetapi tidak menjadi jaminan bahwa kualitas wartawan juga semakin meningkat. Kompetensi dan kemampuan profesionalisme seorang wartawan hanya menjadi hierarki antara perusahaan dengan wartawan dan masyarakat pun tidak tahu bagaimana prosesnya itu. Sebaliknya, standar profesi yang disuarakan oleh Dewan Pers hanya sebatas wacana kritis semata dan tidak pernah jelas bagaimana implementasinya.

Bahkan hal ini pernah mengusik orang nomor satu di Kompas Gramedia, Jakob Oetama yang mengakui bahwa wartawannya banyak yang belum bisa menulis. Hal lebih menyayat bahkan diungkapkan oleh salah satu pendiri Tempo, Goenawan Mohamad bahwa selama 30 tahun menjadi redaktur pria yang saat ini sibuk di Salihara ini mengaku hanya memiliki tidak lebih dari 10 penulis saja. Lalu selebihnya itu?

Tidak heran jika jumlah pelanggaran kode etik jurnalistik yang berhasil dihimpun oleh Dewan Pers sangat fantastis. Dewan Pers menyebutkan setidaknya terjadi 98 kasus pelanggaran kode etik pada 2010, lalu naik menjadi 101 kasus pelanggaran pada 2011, dan menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun menjadi 167 kasus pada 2012 lalu (Laporan Tahunan Dewan Pers Periode 2011-2012).

Disebutkan pula oleh Dewan Pers, bahwa pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang paling banyak terjadi lantaran ketidakberimbangan pemberitaan, menghakimi, memihak, tidak melakukan verifikasi, tidak akurat, dan karena mencampurkan fakta serta opini menghakimi. Fakta ini menjadi tamparan bagi industri pers tanah air saat ini.

Sayangnya, bukannya justru ditempa dan dididik untuk menjadi jurnalis yang kompeten, kebanyakan media massa justru tidak menuntut wartawannya agar bisa profesional. Hanya sedikit saja media massa yang melihat ini sebagai perilaku buruk yang harus diperbaiki. Tentunya sebagian besar lainnya, hanya bisa berupaya menuntut praktisinya untuk menampilkan berita yang menarik perhatian publik dengan pengeluaran yang seminimal mungkin.

Kenyataan ini terbukti ketika menjamurnya budaya amplop hingga wartawan bodreks di Indonesia. Bukan tidak mungkin, lantaran kesehjateraan yang tidak terjamin menjadi imbas seorang wartawan melakukan hal itu. Pun sebaliknya, dengan alibi tidak adanya standar kompetensi jelas, membuat perusahaan media massa semena-mena dalam menentukan kesehjateraan seorang wartawan.

Seperti rantai makanan setan, semua pihak hanya saling menyalahkan tanpa melihat akar permasalahan yang konkret. Di satu sisi wartawan selalu menuntut profesionalisme dengan upah yang layak, tapi di sisi yang lain wartawan tidak menyadari bahwa selayaknya profesi harus mempunyai standar tolok ukur agar bisa disebut sebagai wartawan.

Akhirnya celah ini dimanfaatkan oleh perusahaan media massa untuk memanfaatkan sumber daya manusia dari wartawan yang lemah. Hanya dengan gaji murah, bahkan hanya diberikan selembar kartu pers tanpa digaji perusahaan pers bisa berkuasa banyak untuk mendekte wartawannya dan mengendalikan berbagai isu nasional.

Ini yang disebut Jalaluddin Rakhmat bahwa media massa selalu membentuk dirinya sebagai citra berdasarkan informasi yang setiap saat disajikannya. Setiap realitas yang ditampilkan media adalah realitas yag sudah diseleksi. Realitas tangan kedua (second hand reality). Ia mencontohkan, televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lainnya. Begitu pun dengan koran dengan melalui proses gatekeeper, menapis berbagai berita kemudian memuat berita tentang darah dan dada (blood and breast).

Jika kita sadari, hal tersebut adalah pembodohan dan pemerasan terhadap cara berpikir wartawan. Dengan atas dasar kebebasan pers, wartawan dengan legawanya bersedia diperas oleh konglomerat pers. Kita contohkan saja saat Pemilu Presiden 2014 silam, bagaimana media massa membentuk dirinya untuk membuat propaganda seolah-olah berita yang mereka sajikan adalah hasil buah pemikiran wartawannya. Antara satu media dengan media yang lainnya tiba-tiba saling menyudutkan calon presiden yang tidak sejalan dengan kepentingan praktisnya.

Dan apa yang bisa dilakukan oleh wartawan? Padahal mereka sadar bahwa saat itu kemerdekaannnya untuk berpikir telah dikebiri. Bahwa kebebasan pers yang saat ini ada, hanya milik segelintir orang saja. Ini yang disebut oleh Atmakusumah, bahwa tantangan pers Indonesia ke depan adalah swa-sensor dan profesionalisme.

Tidak heran meski jumlah media massa di Indonesia ada ribuan tapi toh ternyata hanya dikuasai oleh 14 grup korporasi swasta raksasa saja. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings (Lippo Group), Media Group, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media, serta Media Bali Post Group (KMB), dan Cipta Prima Pariwara (CPP) Radionet. Dikatakan Nugroho, Putri, dan Laksmi konglomerasi kepemilikan industri media terjadi sebagai konsekuensi logis yang tak dapat terelakkan dari kepentingan para pemilik modal dalam mendorong perkembangan industri media di Indonesia.

bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate