Sabtu, 11 April 2015

Indonesia Negara Paling Kapital di Dunia (Bagian I)

sumber foto: arrahmah.com
Sejumlah pengamat ekonomi tanah air maupun luar negeri menyebutkan bahwa negara yang paling kapital dalam satu dekade terakhir adalah Indonesia. Ini mengalahkan negara pendiri Kapitalisme, Amerika Serikat. Benarkah demikian?
____________
Fluktuasi harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan disparitas harga kebutuhan pokok di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru untuk dibicarakan. Dari masa ke masa, tahun ke tahun, musim berganti musim, itulah siklusnya. Hanya karena ini menyangkut kemaslahatan warga negara dan aktualitas, media massa kemudian mengekspos dengan masifnya.

Lumrah jika hal itu terjadi, ini karena salah satu kewajiban media massa yakni bertugas sebagai anjing penjaga. Sebagai pemantau kekuasaan, sekaligus sebagai tangan kanan kekuasaan. Namun apakah yang telah dilakukan oleh media selama ini sudah masuk pada substansi permasalahan ekonomi yang sering mengguncang negara ini?

Ada hal yang lebih mengkhawatirkan ketimbang membaca hal itu. Sejumlah pengamat ekonomi tanah air maupun luar negeri menyebutkan bahwa negara yang paling kapital dalam satu dekade terakhir adalah Indonesia. Ini mengalahkan negara pendiri Kapitalisme, Amerika Serikat. Benarkah demikian?

Beberapa waktu yang lalu Ekonom Indonesa, Kwik Kian Gie melontarkan statment yang cukup miris. Ia melihat bahwa kemiskinan di Indonesia masuk kategori kronis, melampaui batas kemanusiaan. 

Kondisi ini katanya tidak lepas dari sistem ekonomi Indonesia yang menganut pasar liberal. Ini terjadi akibat persaingan bebas di sektor ekonomi. Misalnya saja, produsen besar yang telah menguasai kebutuhan pokok terus menguasai pasar di seluruh daerah di Indonesia.

Sementara kata Kwik, sampai saat ini tidak ada kontrol dari pemerintah. Dia menganggap, tanpa adanya peraturan dan pengaturan oleh pemerintah, produsen akan memproduksi barang dan jasa yang dianggapnya memberikan laba yang besar.

Padahal untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, dibutuhkan kombinasi sistem ekonomi liberal dan sistem politik otoriter, yang oleh banyak ahli disebut market oriented authoritarianism. Ini yang kemudian membuat Singapura menjadi negara dikdaya di Asia saat ini. Lantaran kesuksesan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew meramu sistem liberal di negara tersebut.

Meski menganut sistem liberal, Lee dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan otoriter. Sebagai pemimpin, ia mengedepankan sikap disiplin dan tegas terhadap penegakan hukum. Kuncinya, ia beranggapan bahwa negara harus menjadikan hukum sebagai panglima, bukannya kebijakan yang bersifat politik.

Salah satu contoh kecil kebijakan disiplin yang diterapkan oleh Lee adalah melarang membuang sampah di sembarang tempat. Mewajibkan pemilik perusahaan untuk menyisihkan 20 persen biaya dari total gaji karyawan untuk dialokasikan sebagai asuransi jiwa para karyawannya. Semua pengusaha wajib menaatinya.

Terlepas dari Singapura memang bukanlah negara demokrasi, namun dapat dipetik pelajaran dari sistem kapital yang diterapkan oleh Singapura justru juga banyak mengedepankan sistem sosialis yang bermanfaat untuk kemaslahatan rakyatnya. Sementara yang terjadi di Indonesia justru kapitalisme berkembang dahsyatnya tanpa diimbangi dengan regulasi dan kebijakan sosialisme yang tepat sasaran.

Dengan kata lain, pertumbuhan modal memang memiliki akselerasi yang sangat cepat, namun ini terjadi pada segelintir orang saja. Ibaratnya si kaya makin kaya. Padahal hal ini perlu diimbangi dengan rezim politik otoriter, begitu kata Kwik.

Dijelaskan Kwik, salah satu sebab mengapa pemerintah tidak peduli dengan adanya kesenjangan sosial, karena pemerintah terobsesi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saja. Padahal mereka tidak mengetahui persis apa arti PDB secara filosofis. Sekilas jika dipahami secara sederhana, PDB adalah barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia tanpa peduli siapa yang membuat PDB dan siapa yang memilikinya.

Akibatnya, sampai saat ini potret kesenjangan menghiasi wajah kota besar, termasuk Ibukota Jakarta. Orang miskin tidak hanya di pedalaman atau pedesaan saja, justru lebih banyak ditemukan di kota besar. Kemiskinannya sudah melampaui batas-batas kemanusiaan. Ini harus segera diatasi oleh negara, kalau tidak kondisi ekonomi Indonesia akan makin terpuruk.

Meski begitu, kelihatannya pemerintahan Jokowi-JK saat ini juga akan lebih konsentrasi untuk meningkatkan PDB tanah air. Ini dibuktikan dengan lawatannya ke sejumlah negara beberapa waktu yang lalu. Kemudian menghasilkan kerjasama bilateral antar negara, dan bahkan berhasil memboyong investor Jepang dan China agar masuk di Indonesia.

Bersambung ke bagian II

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate