sumber foto: arrahmah.com |
Sejumlah pengamat ekonomi tanah air
maupun luar negeri menyebutkan bahwa negara yang paling kapital dalam satu
dekade terakhir adalah Indonesia. Ini mengalahkan negara pendiri Kapitalisme,
Amerika Serikat. Benarkah demikian?
____________
Fluktuasi harga bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan
disparitas harga kebutuhan pokok di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru
untuk dibicarakan. Dari masa ke masa, tahun ke tahun, musim berganti musim,
itulah siklusnya. Hanya karena ini menyangkut kemaslahatan warga negara dan
aktualitas, media massa kemudian mengekspos dengan masifnya.
Lumrah jika hal itu
terjadi, ini karena salah satu kewajiban media massa yakni bertugas sebagai
anjing penjaga. Sebagai pemantau kekuasaan, sekaligus sebagai tangan kanan
kekuasaan. Namun apakah yang telah dilakukan oleh media selama ini sudah masuk
pada substansi permasalahan ekonomi yang sering mengguncang negara ini?
Ada hal yang lebih
mengkhawatirkan ketimbang membaca hal itu. Sejumlah pengamat ekonomi tanah air
maupun luar negeri menyebutkan bahwa negara yang paling kapital dalam satu
dekade terakhir adalah Indonesia. Ini mengalahkan negara pendiri Kapitalisme,
Amerika Serikat. Benarkah demikian?
Beberapa waktu yang
lalu Ekonom Indonesa, Kwik Kian Gie melontarkan statment yang cukup miris. Ia
melihat bahwa kemiskinan di Indonesia masuk kategori kronis, melampaui batas
kemanusiaan.
Kondisi ini katanya
tidak lepas dari sistem ekonomi Indonesia yang menganut pasar liberal. Ini terjadi
akibat persaingan bebas di sektor ekonomi. Misalnya saja, produsen besar yang
telah menguasai kebutuhan pokok terus menguasai pasar di seluruh daerah di
Indonesia.
Sementara kata Kwik,
sampai saat ini tidak ada kontrol dari pemerintah. Dia menganggap, tanpa adanya
peraturan dan pengaturan oleh pemerintah, produsen akan memproduksi barang dan
jasa yang dianggapnya memberikan laba yang besar.
Padahal untuk menuju
pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, dibutuhkan kombinasi sistem ekonomi
liberal dan sistem politik otoriter, yang oleh banyak ahli disebut market
oriented authoritarianism. Ini yang kemudian membuat Singapura menjadi negara
dikdaya di Asia saat ini. Lantaran kesuksesan mantan Perdana Menteri Singapura,
Lee Kuan Yew meramu sistem liberal di negara tersebut.
Meski menganut sistem
liberal, Lee dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan otoriter. Sebagai
pemimpin, ia mengedepankan sikap disiplin dan tegas terhadap penegakan hukum.
Kuncinya, ia beranggapan bahwa negara harus menjadikan hukum sebagai panglima,
bukannya kebijakan yang bersifat politik.
Salah satu contoh
kecil kebijakan disiplin yang diterapkan oleh Lee adalah melarang membuang
sampah di sembarang tempat. Mewajibkan pemilik perusahaan untuk menyisihkan 20
persen biaya dari total gaji karyawan untuk dialokasikan sebagai asuransi jiwa
para karyawannya. Semua pengusaha wajib menaatinya.
Terlepas dari
Singapura memang bukanlah negara demokrasi, namun dapat dipetik pelajaran dari
sistem kapital yang diterapkan oleh Singapura justru juga banyak mengedepankan
sistem sosialis yang bermanfaat untuk kemaslahatan rakyatnya. Sementara yang
terjadi di Indonesia justru kapitalisme berkembang dahsyatnya tanpa diimbangi
dengan regulasi dan kebijakan sosialisme yang tepat sasaran.
Dengan kata lain, pertumbuhan
modal memang memiliki akselerasi yang sangat cepat, namun ini terjadi pada
segelintir orang saja. Ibaratnya si kaya makin kaya. Padahal hal ini perlu
diimbangi dengan rezim politik otoriter, begitu kata Kwik.
Dijelaskan Kwik,
salah satu sebab mengapa pemerintah tidak peduli dengan adanya kesenjangan
sosial, karena pemerintah terobsesi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saja.
Padahal mereka tidak mengetahui persis apa arti PDB secara filosofis. Sekilas
jika dipahami secara sederhana, PDB adalah barang dan jasa yang diproduksi di
Indonesia tanpa peduli siapa yang membuat PDB dan siapa yang memilikinya.
Akibatnya, sampai
saat ini potret kesenjangan menghiasi wajah kota besar, termasuk Ibukota
Jakarta. Orang miskin tidak hanya di pedalaman atau pedesaan saja, justru lebih
banyak ditemukan di kota besar. Kemiskinannya sudah melampaui batas-batas
kemanusiaan. Ini harus segera diatasi oleh negara, kalau tidak kondisi ekonomi
Indonesia akan makin terpuruk.
Meski begitu,
kelihatannya pemerintahan Jokowi-JK saat ini juga akan lebih konsentrasi untuk
meningkatkan PDB tanah air. Ini dibuktikan dengan lawatannya ke sejumlah negara
beberapa waktu yang lalu. Kemudian menghasilkan kerjasama bilateral antar
negara, dan bahkan berhasil memboyong investor Jepang dan China agar masuk di
Indonesia.
Bersambung ke bagian II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar