Sejumlah pengamat
ekonomi tanah air maupun luar negeri menyebutkan bahwa negara yang paling
kapital dalam satu dekade terakhir adalah Indonesia. Ini mengalahkan negara
pendiri Kapitalisme, Amerika Serikat. Benarkah demikian?
_____________
Dari catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) tahun ini, komitmen investasi dari Jepang dan Tiongkok ke Indonesi saat
ini sudah mencapai USD 73,46 miliar. Terdiri dari USD 10,06 miliar komitmen
investasi Jepang dan USD 63,4 miliar dari Tiongkok.
Komitmen itu merupakan hasil kunjungan kerja
Prsiden Joko Widodo ke kedua negara tersebut pada Maret 2015 lalu. Semua pasar
yang diminati oleh Jepang dan Tiongkok adalah pasar yang cukup strategis. Di
antaranya adalah pembangunan pabrik otomotif dan Information and Technology
(IT) di Indonesia.
Kesempatan ini adalah peluang emas untuk
meningkatkan nilai PDB Indonesia di level ASEAN. Terlebih pada Desember 2015
mendatang Indonesia akan menghadapi tantang besar berupa ASEAN Economy Comunity
(AEC). Ditambah posisi Indonesia di perdagangan bebas Asia Pasific di masa
mendatang.
Untuk bersaing di kanca pasar bebas yang sangat
ketat itu, Indonesia memang memerlukan uang yang banyak untuk membangun
pelbagai infrastruktur pendukung. Persoalannya pembangunan infrastruktur,
seperti ribuan kilo meter jalan raya, pelabuhan, bandara, dan lain sebagainya
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi caranya, selain mendatangkan
investor asing ke Indonesia.
Sayangnya, meski telah banyak investor yang masuk
Indonesia, tapi mereka tidak melakukan investasi pembangunan apapun. Justru
mereka lebih banyak bermain di pasar finance saja, yang ujung-ujungnya hanya
terlihat besar perputaran uangnya, tapi tidak pernah bermanfaat bagi
masyarakat.
Kwik menyebut bahwa 70 persen pasar financial
Indonesia itu dikuasai oleh perusahaan asing. Tanpa adanya regulasi yang tegas,
mereka lebih suka bermain secara praktis di Bursa Efek Indonesia saja. Jika
rupiah sedang anjlok, maka dengan cepatnya mereka akan menarik seluruh uangnya.
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini adalah
gambaran betapa kapitalnya Indonesia. Ditegaskan oleh salah satu rekan saya,
Ekonom sekaligus pemain Pasar Modal, Doddy Junanto bahwa tidak ada negara lain
yang paling liberal di dunia kecuali Indonesia.
Bahkan ia beranggapan bahwa Indonesia sebagai
negara yang liberal telah mengalahkan Amerika Serikat, China, Jepang,
Singapura, Prancis, atau bahkan Uni Emirat Arab (UEA). Ini karena pemerintah
terlihat lemah dalam hal hubungan bilateral dan mengenai regulasi kebijakan terhadap
ekonomi tanah air.
Tidak adanya, rencana jangka panjang untuk
pembangunan suatu negara membuat Indonesia secara pragmatis menerima segala
investasi yang masuk Indonesia. Bayangkan saja, pada sektor otomotif saja ada
puluhan juta kendaraan baru yang diimpor dari luar negeri. Meski ada yang
diproduksi dalam negeri itu hanya sebatas perakitan saja. Sementara perputaran
uang tetap akan lari ke negara asal importir.
Dengan pasar lebih dari 140 juta warga dari total
250 juta warga negara Indonesia (WNI), pantas saja bila berbagai produsen
otomotif terkemuka di belahan dunia gencar melakukan intervensi investasi
terhadap pemerintah Indonesia. Tidak heran jika setiap tahun pebalab Formula 1
atau pebalab Moto GP akan diboyong untuk bertemu dengan fansnya di Indonesia.
Atau bahkan menerapkan brand dengan bahasa Indonesia di jaket pebalab.
Tapi dari semua itu, adakah upaya pemerintah untuk
benar-benar membangkitkan pasar otomotif di tanah air. Untuk melakukan semua
itu, Indonesia membutuhkan keberanian yang luar biasa. Ini karena semua itu
membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Mulai dari pembangunan smelter untuk pengolahan
hasil galian Tambang B dan C. Mengelola biji besi, emas, logam, dan lain
sebagianya memang membutuhkan smelter. Untuk pengoperasian smelter juga
dibutuhkan energi yang tidak sedikit dan murah. Sementara persoalan energi
masih menjadi permasalahan yang serius di Indonesia.
Jika tidak dianggap sebagai negara paling kapital
di dunia, Indonesia harus berani untuk tegas di mata dunia internasional.
Karena sebenarnya mereka yang membutuhkan pasar kita, bukan kita yang
membutuhkan produk mereka.
Berani untuk mengelolah sumber daya energi dalam
negeri, mulai dari minyak, batubara, dan lain sebagainya. Kemudian membangun
smelter, menyediakan infrastruktur, dan ini membutuhkan rencana jangka panjang
yang tidak bisa diintervensi dari kebijakan politik. Untuk memperoleh semua
itu, tentunya diperlukan pemimpin yang berani ambil resiko untuk melakukan
burgening positition yang berbuah pada win-win solution. Dengan mengacu pada
program visioner pembangunan jangka panjang.
Habis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar