 |
Sumber foto Antara: Permasalahan kebebasan pers saat ini bukan dari luar, tapi dari dalam diri perusahaan pers dan wartawannya. Ini yang disebut Atmakusumah sebagai Swa-Sensor. |
Lahirnya
UU No 40 Tahun 1999 tentang pers adalah suatu penghargaan besar atas jerih
payah para praktisi pers di era Orde Baru untuk mendapatkan kebebasan. Tidak
diragukan lagi, dibredelnya Tempo, Detik, Editor, dan sejumlah media massa
naional lainnya seolah menjadi cikal dari implementasi UUD 1945 pasal 28 yang
sepertinya terbendung selama beberapa dekade.
Tentunya
itu tidak didapat dari bonus kedermawanan Soeharto maupun kebaikan Orde Baru. Mereka
mencarinya sendiri. Mendengungkan kebebasan dengan resiko dibungkam. Memastikan
bahwa kebebasan berpendapat adalah hak setiap manusia, meski itu diperoleh
dengan cara ditendang dan menendang.
Wakil
direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal
Suka pada harian Jakarta Post April 2008 bahkan menegaskan bahwa paska lahirnya
kebebasan pers, Indonesia menjadi satu-satunya negara bebas di Asia Tenggara.
“Demokrasi Indonesia sangat berutang kepada eksistensi media pers yang bebas.
Tanpa kebebasan pers, demokrasi kita akan mati sejak awal. Kita harus
mengingatkan diri sendiri, bahwa pers adalah benteng dari demokrasi,” ujarnya.
Hematnya,
di tahun-tahun setelahnya, uforia tentang kebebasan pers pun mendengung ke
angkasa. Dengan hanya berlandaskan UU Pers 1999 pun berbagai elemen masyarakat
dan konglomerat dapat dengan mudah menjadi digdaya atas nama kebebasan. Sekejap
pun ribuan media massa menjamur. Di sepanjang sejarah peradaban pers Indonesia,
Jumlah ini media saat itu sangat fantastis dibanding sebelumnya.
Dikutip
dari Antara, sedikitnya ada lima media massa baru yang terbit dalam sehari.
Akibatnya, pada 2008 saja jumlah media cetak melonjak drastis. Padahal di era
Orde Baru hanya 289 media cetak saja yang berdiri, tiba-tiba melonjak drastis
menjadi 1.687 media cetak dalam beberapa tahun saja.
Ini
hanya contoh jumlah media cetak saja, karena di saat yang sama juga terjadi
lonjakan jumlah media radio, televisi, online, televisi kabel, dan sejumlah
media massa jenis lainnya. Artinya dalam setahun Dewan Pers mencatat ada
pertumbuhan rata-rata 1.389 media massa baru. Jika dihitung dalam bulan, maka
ada sedikitnya 140 media massa baru yang berdiri.
Dari
jumlah media massa yang sebanyak itu, logikanya butuh wartawan seberapa banyak
untuk terus menyuplai berita setiap saat? Dari perkiraan Pengamat Masalah Pers
Nasional, Atmakusumah dalam tulisannya pada 1997, di Indonesia saat Orde Baru
jumlah wartawannya hanya 7.000 jiwa saja. Jumlah ini pun terbagi atas wartawan
paro waktu dan penuh waktu.
Namun
setelah diundangkannya UU tentang Pers dan digelorakannnya kebebasan pers,
sejak era reformasi hingga saat ini jumlah wartawan di Indonesia terus
meningkat. Bahkan diperkirakan saat ini tengah ada sedikitnya 100 hingga 150
ribu wartawan di seluruh Indonesia. Sayangnya, hanya 20 ribu saja yang
terdaftar dan tersertifikasi di Dewan Pers. Jumlah ini jauh dibanding negara
maju seperti Jerman yang memiliki sedikitnya 60 ribu wartawan yang sudah
tersertifikasi.
Artinya
meski jumlah media di tanah air menjamur, akan tetapi tidak menjadi jaminan
bahwa kualitas wartawan juga semakin meningkat. Kompetensi dan kemampuan
profesionalisme seorang wartawan hanya menjadi hierarki antara perusahaan
dengan wartawan dan masyarakat pun tidak tahu bagaimana prosesnya itu.
Sebaliknya, standar profesi yang disuarakan oleh Dewan Pers hanya sebatas
wacana kritis semata dan tidak pernah jelas bagaimana implementasinya.
Bahkan
hal ini pernah mengusik orang nomor satu di Kompas Gramedia, Jakob Oetama yang
mengakui bahwa wartawannya banyak yang belum bisa menulis. Hal lebih menyayat
bahkan diungkapkan oleh salah satu pendiri Tempo, Goenawan Mohamad bahwa selama
30 tahun menjadi redaktur pria yang saat ini sibuk di Salihara ini mengaku
hanya memiliki tidak lebih dari 10 penulis saja. Lalu selebihnya itu?
Tidak
heran jika jumlah pelanggaran kode etik jurnalistik yang berhasil dihimpun oleh
Dewan Pers sangat fantastis. Dewan Pers menyebutkan setidaknya terjadi 98 kasus
pelanggaran kode etik pada 2010, lalu naik menjadi 101 kasus pelanggaran pada
2011, dan menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun menjadi 167 kasus pada
2012 lalu (Laporan Tahunan Dewan Pers Periode 2011-2012).
Disebutkan
pula oleh Dewan Pers, bahwa pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang paling
banyak terjadi lantaran ketidakberimbangan pemberitaan, menghakimi, memihak,
tidak melakukan verifikasi, tidak akurat, dan karena mencampurkan fakta serta
opini menghakimi. Fakta ini menjadi tamparan bagi industri pers tanah air saat
ini.
Sayangnya,
bukannya justru ditempa dan dididik untuk menjadi jurnalis yang kompeten,
kebanyakan media massa justru tidak menuntut wartawannya agar bisa profesional.
Hanya sedikit saja media massa yang melihat ini sebagai perilaku buruk yang
harus diperbaiki. Tentunya sebagian besar lainnya, hanya bisa berupaya menuntut
praktisinya untuk menampilkan berita yang menarik perhatian publik dengan
pengeluaran yang seminimal mungkin.
Kenyataan
ini terbukti ketika menjamurnya budaya amplop hingga wartawan bodreks di
Indonesia. Bukan tidak mungkin, lantaran kesehjateraan yang tidak terjamin
menjadi imbas seorang wartawan melakukan hal itu. Pun sebaliknya, dengan alibi
tidak adanya standar kompetensi jelas, membuat perusahaan media massa
semena-mena dalam menentukan kesehjateraan seorang wartawan.
Seperti
rantai makanan setan, semua pihak hanya saling menyalahkan tanpa melihat akar
permasalahan yang konkret. Di satu sisi wartawan selalu menuntut
profesionalisme dengan upah yang layak, tapi di sisi yang lain wartawan tidak
menyadari bahwa selayaknya profesi harus mempunyai standar tolok ukur agar bisa
disebut sebagai wartawan.
Akhirnya
celah ini dimanfaatkan oleh perusahaan media massa untuk memanfaatkan sumber daya
manusia dari wartawan yang lemah. Hanya dengan gaji murah, bahkan hanya
diberikan selembar kartu pers tanpa digaji perusahaan pers bisa berkuasa banyak
untuk mendekte wartawannya dan mengendalikan berbagai isu nasional.
Ini
yang disebut Jalaluddin Rakhmat bahwa media massa selalu membentuk dirinya
sebagai citra berdasarkan informasi yang setiap saat disajikannya. Setiap
realitas yang ditampilkan media adalah realitas yag sudah diseleksi. Realitas
tangan kedua (second hand reality). Ia mencontohkan, televisi memilih
tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lainnya.
Begitu pun dengan koran dengan melalui proses gatekeeper, menapis berbagai
berita kemudian memuat berita tentang darah dan dada (blood and breast).
Jika
kita sadari, hal tersebut adalah pembodohan dan pemerasan terhadap cara
berpikir wartawan. Dengan atas dasar kebebasan pers, wartawan dengan legawanya
bersedia diperas oleh konglomerat pers. Kita contohkan saja saat Pemilu
Presiden 2014 silam, bagaimana media massa membentuk dirinya untuk membuat
propaganda seolah-olah berita yang mereka sajikan adalah hasil buah pemikiran
wartawannya. Antara satu media dengan media yang lainnya tiba-tiba saling
menyudutkan calon presiden yang tidak sejalan dengan kepentingan praktisnya.
Dan
apa yang bisa dilakukan oleh wartawan? Padahal mereka sadar bahwa saat itu
kemerdekaannnya untuk berpikir telah dikebiri. Bahwa kebebasan pers yang saat
ini ada, hanya milik segelintir orang saja. Ini yang disebut oleh Atmakusumah, bahwa tantangan pers Indonesia ke depan adalah swa-sensor dan profesionalisme.
Tidak
heran meski jumlah media massa di Indonesia ada ribuan tapi toh ternyata hanya
dikuasai oleh 14 grup korporasi swasta raksasa saja. Mereka adalah MNC Group,
Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Mahaka Media, CT Group,
Beritasatu Media Holdings (Lippo Group), Media Group, Visi Media Asia, Jawa Pos
Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media, serta Media Bali Post
Group (KMB), dan Cipta Prima Pariwara (CPP) Radionet. Dikatakan Nugroho, Putri,
dan Laksmi konglomerasi kepemilikan industri media terjadi sebagai konsekuensi
logis yang tak dapat terelakkan dari kepentingan para pemilik modal dalam
mendorong perkembangan industri media di Indonesia.
bersambung.