Minggu, 01 Februari 2015

Budaya Jawa Jadi Contoh Kerukunan Dunia

 
Batik adalah salah satu bagian dari kebudayaan Jawa yang terus dilestarikan. Sumber: Blogspot
Jika dibandingkan dengan budaya Eropa, maupun budaya timur tengah, hingga Ethiopia, kebudayaan Jawa bisa disebut memiliki ke-khasan. Namun meski demikian, budaya Jawa tidak serta merta bisa disebut sebagai budaya yang khas dan unik. Justru sebaliknya, apa yang dimiliki dari budaya Jawa bisa jadi contoh dunia.

Inilah yang menjadi penegasan seorang Guru Besar Filsafat dari STF Driyakara Jakarta, Franz Magnis Suseno S.J. bahwa budaya Jawa memiliki cara tersendiri dalam memandang dunia ini. Orang-orang Jawa, kata dia lebih mementingkan kerukunan di atas segalanya. Tidak heran jika Rohaniawan ini menyebut jika Budaya Jawa bisa menjadi contoh kerukunan dunia.

Franz sendiri bukanlah asli Indonesia, pria yang mengaku pernah debat kusir dengan Soeharto ini tertarik dengan Indonesia karena kebudayaan di Jawa. Bukannya Franz tidak tertarik dengan budaya lainnya, namun baginya untuk mempelajari budaya Jawa ia membutuhkan waktu yang banyak, sehingga ia memutuskan untuk melabuhkan hidupnya dan menetap di Indoensia.

Filsuf ini sebelumnya mengaku belajar bahasa Jawa. Awalnya dia sedikit heran, bagaimana bisa dalam satu kebudayaan bisa memiliki tiga bahasa yang berbeda. Yang disebutkannya tentang tiga bahasa yang berbeda itu adalah bahasa ngoko, kromo, dan bahasa jawa kromo inggil.

Meski demikian, Franz tidak berharap masyarakat memahami etika Jawa suatu hal yang eksklusif. Karena bisa saja, budaya lain di Indonesia juga memiliki keunikan yang berbeda. Tapi yang jelas baginya budaya Jawa dikatakannya memiliki sosok yang khas untuk menunjak hidup.

Dia menyebut orang Jawa punya cara tersendiri dalam memandang secara komprehensif dunia ini. Dikatakannya ada ciri-ciri khas yang dimiliki orang Jawa. Namun itu tidak lagi ketika terjadi pergeseran peradaban dan budaya internasional yang sudah bebas keluar-masuk Indonesia.

Franz pun mengutip teori Max Weber bahwa menggambarkan orang Jawa itu semestinya harus menggunakan cara pandang yang real. Ini yang Franz sebut sebagai etika keselarasan yang dibentuk kebudayaan Jawa. Bagi orang Jawa nilai-nilai keselarasan hidup harus terus diterapkan dengan disiplin yang amat tinggi.

Keselarasan hidup orang-orang Jawa dalam kesimpulan Franz adalah harmoni. Kebudayaan Jawa secara tidak langsung membentuk sebuah peradaban yang mengedepankan estetika dan kepantasan. Biasanya kebudayaan Jawa selalu menganjurkan untuk pertama; selaras dengan masyarakat, kedua selaras dengan alam, dan ketiga keselarasan dengan alam gaib.

Etika yang paling dijunjung oleh orang jawa adalah suatu keyakinan bahwa jika hidup dilakukan dengan selaras tanpa menyinggung (merusak dan mengganggu) satu sama lainnya maka hidup akan menjadi tenteram. Bahkan jika itu sudah dilakukan, ada keyakinan bahwa manusia akan akan menjadi terlindung dari bahaya dan kerasan (betah) untuk menetap.

Bagi orang jawa ada dua tanda keselarasan yang sejati. Pertama hidup dalam anggota masyarakat dan hidup damai dengan batinnya. Dalam masyarakat itu tanda keselarasan tidak ada konflik terbuka dan terjalin kerukunan yang erat. Kerukunan ini berarti tidak ada perkelahian dan antara manusia satu dengan yang lainnya sangat menjunjung masing-masing hak. Lebih penting lagi, dalam prinsip hidup orang Jawa, tidak ada keresahan di dalam hati.
Jadi absensi dari konflik itu kata Franz yang membuat hidup orang jawa semakin selaras. Ini yang juga dimaksud oleh Aristoteles bahwa dalam kehidupan sosial dan dalam batin diri perlu adanya perdamaian yang harus dibina dan diredamkan.

Untuk mencapai sebuah keselarasan, Franz mendeskripsikan kebudayaan Jawa akan tercapai dari tiga cara, di antaranya. Pertama menghindari konflik terbuka. Prinsipnya rukun meski terjadi ketidak-sepahaman dalam menghadapi sebuah permasalahan. "Orang Jawa akan menjawab dengan kata nggih (iya) jika mereka menghormati pendapat orang lain yang menurutnya tidak sepaham dengannya," ujarnya.

Kedua, orang jawa diharapkan menghormati orang lain. Berarti menyapa orang lain yang dikenal saat bertemu. lalu memperlakukan orang lain sesuai dengan kedudukan sosialnya dan tentu ini paling langsung tercermin dalam bahasa Jawa. "Saya kira bahasa lain juga punya tingkatan. Tapi di Jawa sangat khas. biasanya anak muda akan memakai bahasa kromo kepada orang tua. Sedangkan orang tua akan memakai bahasa ngoko kepada anak muda," jelasnya.

Di dalam bahasa Jawa Kromo Inggil kata Franz memiliki kekayaan kata yang luar biasa. Meski di sejumlah negara memiliki beberapa bahasa ganda sebagai estetika hidup tapi kata Franz setiap suku katanya tidak sebanyak milik Jawa. Di jawa kata Franz ada ribuan kata di Kromo Inggil. "Dan penggunaan ini pun berlangsung otomatis, seperti sebuah estetika dan harmonisasi hidup," bebernya.

"Ketiga dan yang terpenting, kemampuan orang Jawa yang luar biasa dalam menangani emosi. Tidak mungkin kita rukun, tidak mungkin menaruh hormat dengan orang lain kalau kita terbawa oleh emosi kita. Saya memastikan orang Jawa biasanya mengendalikan emosi tertentu seperti kecewa, kegembiraan, bahkan ketika marah. Saya ingat, pada tahun 80-an tiga bulan jadi pastor di Jawa. Saya punya seorang rohaniawan muda. Orang tuanya tinggal di Sumatera, suatu hari datang ibu dan kakak perempuannya berkunjung setelah dua tahun tidak bertemu. Yang paling mencolok, biasanya anak mencium dan memeluk ibunya. Saya heran kenapa itu tidak dilakukannya, mungkin tidak terlalu emosi. Padahal saya tahu betapa rindunya rohaniawan itu pada orang tuanya," jlentrehnya dalam sebuah diskusi publik.

Bagamaina orang Jawa bisa menyelaraskan ini? Kata Franz ada tiga sarana penunjang di antaranya tekanan dari masyarakat. Masyarakat Jawa tidak mengizinkan kelakukan yang mengganggu kerukunan. Cinta Damai. Dari masyarakat ada tekanan kuat sekali untuk membawa diri sebaik mungkin agar tidak terjadi konflik dan perpecahan.

Kedua, internalisasi. Berarti bahwa kelakuan sopan, rukun, tenang, dan hormat itu harus diterapkan dan dicerminkan oleh orang Jawa. Hal ini sangat kental dan tercermin di kehidupan rumah tangga orang Jawa. Anak kecil dalam kebudayaan Jawa selalu dididik untuk membawa kelakuan kerukunan. Dia belajar bahwa kerukunan itu adalah persatuan keluarga sebagai sumber keamanan psikis.

Anak jawa belajar ini dengan tiga langkah. Pertama, biasanya untuk mendidik anak kecil yang berbuat salah orang Jawa justru tidak menyalahkan perbuatannya. Tapi anak tersebut dibuat takut dari ancaman di luar kehidupan. Seperti awas ada anjing, awas ada hantu, dan lain sebagainya. Meski begitu, sebenarnya kunci pendidikannya bukan rasa takut. Melainkan rasa malu, merasa isin, dan mengerti isin.

"Malu sendiri diartikan sebagai tanda kedewasaan bagi orang Jawa. Orang yang tidak malu, itu memalukan. Tidak dewasa, kasar, tidak mencapai kemanusiaan yang sebenarnya itu memalukan," tambahnya.

Karena itu, sejak kecil anak sudah belajar dengan cara tidak berboleh berbuat ini dan itu. sehingga kelakuan yang menimbulkan rasa malu sulit dilakukan. Ini seperti sosio-kontrol yang sengaja dibentuk secara otomatis dalam kebudayaan Jawa. Karena itu, dalam tataran kedewasaan orang jawa dididik untuk mempunyai rasa yang disebut sungkan (isin).

"Nur Cholis Majid pada tahun 1998 diutus untuk mengatakan kepada Pak Harto bahwa harus turun dari Presiden. Tapi bagi Nur Cholis, tugas ini berat untuk dilakukannya. Katanya adalah sungkan, tapi akhirnya dia tetap mengatakan karena terpaksa. Menurut saya, padahal dalam komunikasi rasa malu dan sungkan bisa mempersulit terjadinya sebuah komunikasi. Tentu juga ada cara-cara untuk mengatasinya. Jadi saya sendiri misalnya memakai metode dari pengalaman saya," imbuhnya.

Nilai-nilai kebudayaan inilah yang dirasa telah tergerus dan semakin hilang seiring dengan perkembangan proses demokrasi dewasa ini. Tentunya ini tidak serta-merta menghapus sebuah kebudayaan Jawa, karena masih banyak ditemui oleh Franz masih banyak orang Jawa yang memegang teguh prinsip-prinsip ini. Salah satu contoh lainnya adalah budaya membedakan bahasa verbal antara teman dengan orang tua, tidak melupakan kekerabatan dengan selalu menjalin silahturahmi, mengedepankan kepentingan orang lain, dan tidak melupakan jasa-jasa orang yang terpenting dalam hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate