![]() |
Batik adalah salah satu bagian dari kebudayaan Jawa yang terus dilestarikan. Sumber: Blogspot |
Jika
dibandingkan dengan budaya Eropa, maupun budaya timur tengah, hingga Ethiopia,
kebudayaan Jawa bisa disebut memiliki ke-khasan. Namun meski demikian, budaya
Jawa tidak serta merta bisa disebut sebagai budaya yang khas dan unik. Justru
sebaliknya, apa yang dimiliki dari budaya Jawa bisa jadi contoh dunia.
Inilah
yang menjadi penegasan seorang Guru Besar Filsafat dari STF Driyakara Jakarta,
Franz Magnis Suseno S.J. bahwa budaya Jawa memiliki cara tersendiri dalam
memandang dunia ini. Orang-orang Jawa, kata dia lebih mementingkan kerukunan di
atas segalanya. Tidak heran jika Rohaniawan ini menyebut jika Budaya Jawa bisa
menjadi contoh kerukunan dunia.
Franz
sendiri bukanlah asli Indonesia, pria yang mengaku pernah debat kusir dengan
Soeharto ini tertarik dengan Indonesia karena kebudayaan di Jawa. Bukannya
Franz tidak tertarik dengan budaya lainnya, namun baginya untuk mempelajari
budaya Jawa ia membutuhkan waktu yang banyak, sehingga ia memutuskan untuk
melabuhkan hidupnya dan menetap di Indoensia.
Filsuf
ini sebelumnya mengaku belajar bahasa Jawa. Awalnya dia sedikit heran,
bagaimana bisa dalam satu kebudayaan bisa memiliki tiga bahasa yang berbeda.
Yang disebutkannya tentang tiga bahasa yang berbeda itu adalah bahasa ngoko,
kromo, dan bahasa jawa kromo inggil.
Meski
demikian, Franz tidak berharap masyarakat memahami etika Jawa suatu hal yang
eksklusif. Karena bisa saja, budaya lain di Indonesia juga memiliki keunikan
yang berbeda. Tapi yang jelas baginya budaya Jawa dikatakannya memiliki sosok
yang khas untuk menunjak hidup.
Dia
menyebut orang Jawa punya cara tersendiri dalam memandang secara komprehensif
dunia ini. Dikatakannya ada ciri-ciri khas yang dimiliki orang Jawa. Namun itu
tidak lagi ketika terjadi pergeseran peradaban dan budaya internasional yang
sudah bebas keluar-masuk Indonesia.
Franz
pun mengutip teori Max Weber bahwa menggambarkan orang Jawa itu semestinya
harus menggunakan cara pandang yang real. Ini yang Franz sebut sebagai etika
keselarasan yang dibentuk kebudayaan Jawa. Bagi orang Jawa nilai-nilai
keselarasan hidup harus terus diterapkan dengan disiplin yang amat tinggi.
Keselarasan
hidup orang-orang Jawa dalam kesimpulan Franz adalah harmoni. Kebudayaan Jawa
secara tidak langsung membentuk sebuah peradaban yang mengedepankan estetika
dan kepantasan. Biasanya kebudayaan Jawa selalu menganjurkan untuk pertama;
selaras dengan masyarakat, kedua selaras dengan alam, dan ketiga keselarasan
dengan alam gaib.
Etika
yang paling dijunjung oleh orang jawa adalah suatu keyakinan bahwa jika hidup
dilakukan dengan selaras tanpa menyinggung (merusak dan mengganggu) satu sama
lainnya maka hidup akan menjadi tenteram. Bahkan jika itu sudah dilakukan, ada
keyakinan bahwa manusia akan akan menjadi terlindung dari bahaya dan kerasan
(betah) untuk menetap.
Bagi
orang jawa ada dua tanda keselarasan yang sejati. Pertama hidup dalam anggota
masyarakat dan hidup damai dengan batinnya. Dalam masyarakat itu tanda
keselarasan tidak ada konflik terbuka dan terjalin kerukunan yang erat.
Kerukunan ini berarti tidak ada perkelahian dan antara manusia satu dengan yang
lainnya sangat menjunjung masing-masing hak. Lebih penting lagi, dalam prinsip
hidup orang Jawa, tidak ada keresahan di dalam hati.
Jadi
absensi dari konflik itu kata Franz yang membuat hidup orang jawa semakin
selaras. Ini yang juga dimaksud oleh Aristoteles bahwa dalam kehidupan sosial
dan dalam batin diri perlu adanya perdamaian yang harus dibina dan diredamkan.
Untuk
mencapai sebuah keselarasan, Franz mendeskripsikan kebudayaan Jawa akan tercapai
dari tiga cara, di antaranya. Pertama menghindari konflik terbuka. Prinsipnya
rukun meski terjadi ketidak-sepahaman dalam menghadapi sebuah permasalahan.
"Orang Jawa akan menjawab dengan kata nggih (iya) jika mereka menghormati
pendapat orang lain yang menurutnya tidak sepaham dengannya," ujarnya.
Kedua,
orang jawa diharapkan menghormati orang lain. Berarti menyapa orang lain yang
dikenal saat bertemu. lalu memperlakukan orang lain sesuai dengan kedudukan
sosialnya dan tentu ini paling langsung tercermin dalam bahasa Jawa. "Saya
kira bahasa lain juga punya tingkatan. Tapi di Jawa sangat khas. biasanya anak
muda akan memakai bahasa kromo kepada orang tua. Sedangkan orang tua akan
memakai bahasa ngoko kepada anak muda," jelasnya.
Di
dalam bahasa Jawa Kromo Inggil kata Franz memiliki kekayaan kata yang luar
biasa. Meski di sejumlah negara memiliki beberapa bahasa ganda sebagai estetika
hidup tapi kata Franz setiap suku katanya tidak sebanyak milik Jawa. Di jawa
kata Franz ada ribuan kata di Kromo Inggil. "Dan penggunaan ini pun
berlangsung otomatis, seperti sebuah estetika dan harmonisasi hidup,"
bebernya.
"Ketiga
dan yang terpenting, kemampuan orang Jawa yang luar biasa dalam menangani
emosi. Tidak mungkin kita rukun, tidak mungkin menaruh hormat dengan orang lain
kalau kita terbawa oleh emosi kita. Saya memastikan orang Jawa biasanya
mengendalikan emosi tertentu seperti kecewa, kegembiraan, bahkan ketika marah.
Saya ingat, pada tahun 80-an tiga bulan jadi pastor di Jawa. Saya punya seorang
rohaniawan muda. Orang tuanya tinggal di Sumatera, suatu hari datang ibu dan
kakak perempuannya berkunjung setelah dua tahun tidak bertemu. Yang paling
mencolok, biasanya anak mencium dan memeluk ibunya. Saya heran kenapa itu tidak
dilakukannya, mungkin tidak terlalu emosi. Padahal saya tahu betapa rindunya
rohaniawan itu pada orang tuanya," jlentrehnya dalam sebuah diskusi
publik.
Bagamaina
orang Jawa bisa menyelaraskan ini? Kata Franz ada tiga sarana penunjang di
antaranya tekanan dari masyarakat. Masyarakat Jawa tidak mengizinkan kelakukan
yang mengganggu kerukunan. Cinta Damai. Dari masyarakat ada tekanan kuat sekali
untuk membawa diri sebaik mungkin agar tidak terjadi konflik dan perpecahan.
Kedua,
internalisasi. Berarti bahwa kelakuan sopan, rukun, tenang, dan hormat itu
harus diterapkan dan dicerminkan oleh orang Jawa. Hal ini sangat kental dan
tercermin di kehidupan rumah tangga orang Jawa. Anak kecil dalam kebudayaan
Jawa selalu dididik untuk membawa kelakuan kerukunan. Dia belajar bahwa
kerukunan itu adalah persatuan keluarga sebagai sumber keamanan psikis.
Anak
jawa belajar ini dengan tiga langkah. Pertama, biasanya untuk mendidik anak
kecil yang berbuat salah orang Jawa justru tidak menyalahkan perbuatannya. Tapi
anak tersebut dibuat takut dari ancaman di luar kehidupan. Seperti awas ada
anjing, awas ada hantu, dan lain sebagainya. Meski begitu, sebenarnya kunci
pendidikannya bukan rasa takut. Melainkan rasa malu, merasa isin, dan mengerti
isin.
"Malu
sendiri diartikan sebagai tanda kedewasaan bagi orang Jawa. Orang yang tidak
malu, itu memalukan. Tidak dewasa, kasar, tidak mencapai kemanusiaan yang
sebenarnya itu memalukan," tambahnya.
Karena
itu, sejak kecil anak sudah belajar dengan cara tidak berboleh berbuat ini dan
itu. sehingga kelakuan yang menimbulkan rasa malu sulit dilakukan. Ini seperti
sosio-kontrol yang sengaja dibentuk secara otomatis dalam kebudayaan Jawa.
Karena itu, dalam tataran kedewasaan orang jawa dididik untuk mempunyai rasa
yang disebut sungkan (isin).
"Nur
Cholis Majid pada tahun 1998 diutus untuk mengatakan kepada Pak Harto bahwa
harus turun dari Presiden. Tapi bagi Nur Cholis, tugas ini berat untuk
dilakukannya. Katanya adalah sungkan, tapi akhirnya dia tetap mengatakan karena
terpaksa. Menurut saya, padahal dalam komunikasi rasa malu dan sungkan bisa
mempersulit terjadinya sebuah komunikasi. Tentu juga ada cara-cara untuk
mengatasinya. Jadi saya sendiri misalnya memakai metode dari pengalaman
saya," imbuhnya.
Nilai-nilai
kebudayaan inilah yang dirasa telah tergerus dan semakin hilang seiring dengan
perkembangan proses demokrasi dewasa ini. Tentunya ini tidak serta-merta
menghapus sebuah kebudayaan Jawa, karena masih banyak ditemui oleh Franz masih
banyak orang Jawa yang memegang teguh prinsip-prinsip ini. Salah satu contoh
lainnya adalah budaya membedakan bahasa verbal antara teman dengan orang tua,
tidak melupakan kekerabatan dengan selalu menjalin silahturahmi, mengedepankan
kepentingan orang lain, dan tidak melupakan jasa-jasa orang yang terpenting
dalam hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar